Oleh : Anna Nur F
SAAT kita ditanya, “Apakah engkau mencintai Allah dan RasulNya?” Maka akan banyak diantara kita yang menjawab “iya.” Apa buktinya? “Ketaatanku pada Allah dan apa-apa yang Rasulullah bawa.”
Jawaban yang amat indah dan manis. Hampir semua orang akan berucap seperti itu. Namun berapa banyak diantara kita yang menyadari bahwa jawaban-jawaban atas pertanyaan itu masih hanya sebatas di mulut saja?
Ketaatan kita masih penuh dengan syarat. Ketaaatan kita pada Allah masih menggunakan banyak logika hanya jika. “Sami’na wa Atho’na” masih sekadar janji-janji.
BACA JUGA:Â Keuntungan Jadi Orang Bertakwa
Fenomena di kehidupan masyarakat, banyak sekali menggambarkan kondisi ini. Untuk berinfaq atau membelanjakan harta di jalan Allah misalnya. Banyak diantara kita mau melakukannya hanya jika ada rizqi.
Gaji atau penghasilan yang diterima tiap bulan masih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sendiri saja. Masih fokus pada masalah isi perut dan urusan duniawi lainnya.
Mau berinfaq, shodaqoh, membantu orang lain dan membelanjakan harta di jalan Allah, hanya jika ada sisa rizqi. Hanya jika masih ada kelebihan setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan seputar makanan, fashion, rumah, biaya kesehatan dan pendidikan, dan sebagainya yang melulu urusan seputar memenuhi keinginan hawa nafsu.
Takut jika berinfaq dan membelanjakan harta di jalan Allah, kebutuhannya tak terpenuhi. Seolah lupa bahwa rizqi datangnya dari Allah semata.
Miris, bukankah Allah telah memberi kita potensi akal untuk berpikir? Memang hanya manusia cerdas saja yang bisa memilih untuk menyisihkan penghasilan di awal untuk digunakan di jalan Allah sebelum memikirkan kebutuhan dan keinginan sendiri. Menjadi dermawan memang tak mudah. Dan manusia seperti itu tak banyak.
Demikian juga tentang kewajiban menutup aurat dengan sempurna bagi seorang muslimah. Untuk menaati syariat yang ini, memiliki daftar panjang syarat hanya jika, meski sudah sangat tahu menutup aurat adalah perintah Allah. Mau berjilbab dan berkerudung tanpa menonjolkan bentuk tubuh, hanya jika menguntungkan dirinya saja.
Jadi jika di tempat kerja bajunya seragam, tidak boleh sempurna menutup aurat seperti yang Allah kehendaki, dan ini dituruti, maka sejatinya ketaatan masih hanya di bibir saja. Masih teori. Takut kehilangan pekerjaan, dan cemas dipermasalahkan pimpinan masih dominan menghinggapi. Seolah lupa, bahwa kita hanya boleh takut pada Allah.
BACA JUGA:Â Bagi Orang Bertakwa, Sehat Lebih Baik Ketimbang Kaya
Lebih miris lagi, ketika keengganan menutup aurat dengan benar masih berdalih “Allah Maha Tahu kemampuan hamba, Islam agama yang mudah, tak mungkin menyulitkan umatNya”. Masih mencari pembenaran atas pilihannya untuk tidak taat menutup aurat, seolah lupa bahwa Allah yang menciptakan lebih tahu kemampuan manusia.
Mustahil bagi Allah menetapkan aturan yang manusia tak mampu melakukannya. Tak mungkin bagi Allah mewajibkan muslimah berhijab, jika wanita tak mampu mengenakannya. Sekali lagi ketaatan masih sebatas di mulut. Ketika diuji, dengan seenaknya berdalih macam-macam dengan hebatnya.
Ada pula, muslimah yang mau berjilbab dan berkerudung sempurna hanya jika sudah dekat dengan jodohnya. Hanya jika jodoh sudah mulai menyapa. Hanya jika calon/ suami sudah di hadapan mata.
Jadi andai jodoh tak kunjung Allah anugerahkan mungkin tidak akan pernah mau memilih menutup aurat dengan sempurna. Sekali lagi, ternyata untuk taat padaNya penuh dengan berbagai syarat. Astaghfirullah.
Belum lagi masalah lain di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, pergaulan dan lain -lain seluruh aspek kehidupan. Untuk menaati Allah agar meninggalkan riba, syaratnya pun begitu komplek. Bahkan lebih cenderung diabaikan.
Lihatlah di sekitar kita. Betapa banyak manusia yang berlomba-lomba memenuhi kebutuhan dan keinginannya dengan cara hutang pada rentenir besar bernama bank yang sarat dengan riba. Rumah dibeli dengan KPR riba, mobil dan motor juga.
Pendeknya hampir seluruh harta yang dimiliki berasal dari cara riba. Seoalah bukan manusia merdeka, yang memiliki kebebasan memilih dalam melakukan suatu perbuatan. Memilih menaatiNya atau mengabaikanNya.
BACA JUGA:Â Melepas Jerat Hidup dengan Takwa
Begitu juga dalam pergaulan antar lawan jenis. Berdua-duaan dengan lawan jenis bukan hal yang aneh lagi. Hamil di luar nikah sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Perselingkuhan pun menjadi hal yang biasa. Duhai manusia, andai engkau tahu betapa perhitungan Allah amat cermat, tertawa pun engkau tak mampu.
Semoga kita termasuk hamba yang dilindungi Allah dari sifat tidak bersyukur atas segala karuniaNya yang tak terhitung. Agar kita terbebas dari keadaan menaatiNya dengan penuh syarat.
Semoga kita termasuk manusia cerdas yang senantiasa memikirkan kehidupan setelah kematian. Agar ketaatan kita pada Allah tak di mulut saja. Agar ketaatan kita penuh kepasrahan tanpa syarat apapun. Agar ketaatan kita penuh keikhlasan dan penyerahan diri sepenuhnya padaNya. Aamiin. []