Oleh: Eneng Susanti
SETIAP manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk melaksanakan tugas dakwah. Allah SWT berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An Nahl: 125)
Tugas dakwah sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, mesti dilaksanakan. Salah satu cara yang daat ditempuh adalah dengan dakwah bil qalam atau dakwah melalui tulisan.
BACA JUGA: Menulislah, agar Kebaikanmu terus Menemanimu
Dakwah dengan tulisan dapat memenuhi ketentuan dakwah yang disebutkan dalam ayat tersebut, yakni dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Bahkan, suatu bantahan pun dapat disampaikan melalui tulisan (بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ).
Sayangnya, tidak semua penulis memahami hal ini. Berita hoaks dan cerita vulgar yang bertebaran di media atau platform menulis digital saat ini, menjadi salah satu fenomena yang membuktikan bahwa tidak semua penulis bergerak bersama misi dakwah bil hikmah.
Sebagai penulis muslim, masalah ini menjadi tanggung jawab kita. Sebab, sebagaimana pesan kebaikan dalam dakwah yang disebarkan dapat membawa kebaikan bagi pembaca, keburukan yang disebarkan pun dapat berdampak buruk pula. Apalagi mengingat perkembangan teknologi yang memungkinkan kemudahan akses informasi, pengaruh negatif dalam tulisan yang mulai masif tersebar tentu bisa berdampak global.
Lantas, bagaimana seorang penulis muslim menyikapinya?
Sebagai penulis muslim, kita tidak boleh mundur selangkah pun untuk memperbaiki ‘kerusakan’ yang ada. Sebab, kendati berbenturan dengan trend yang ada, kita tetap punya kewajiban untuk menyampaikan kebenaran. Misi dakwah tetap harus diemban.
Ada lubang yang harus ditutup dan diisi dengan pencerahan untuk umat sebagai penerang di antara gempuran konten ‘suram’ tanpa pesan moral yang bertebaran. Itulah tugas yang mesti dijalankan para penulis muslim, yakni menjadi cahaya di tengah kegelapan.
BACA JUGA: 4 Manfaat Menulis dengan Tangan yang Mungkin Belum Kamu Ketahui
Bagaimana seorang penulis muslim mampu menjalankan misi tersebut?
Berdasarkan penjelasan Ustaz Mukhlisin BK, pembina FLP Gresik, seorang penulis muslim harus lah berpegang pada karakteristik keislamannya. Hal itu tak akan lepas dari 3 unsur, yakni Islam, Iman, dan Ihsan. Ibarat kereta, ketiga unsur ini adalah relnya.
1 Islam
Pakem yang harus digenggam erat oleh seorang penulis muslim adalah Islam. Tentu saja ini merujuk pada kelima rukunnya, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.
Syahadat merupakan nafas seorang penulis muslim. Dalam setiap konten yang ditulisnya ‘Laa ilaha ilallah, Muhammadu Rasulullah’ adalah nyawanya. Maka, bukan harta, bukan popularitas, bukan fasilitas dunia, bukan pujian manusia yang menjadi niat dan tujuannya, melainkan ‘lillahi ta’ala’.
Setelahnya, tak lupa persoalan ibadah baik personal maupun sosial, mulai dari shalat hingga haji. Seorang penulis muslim dituntut untuk senantiasa memperbaiki kualitas dirinya, termasuk ibadahnya. Baik itu hubungannya dengan Allah mapun dengan sesamanya. Itu akan menjadi kunci-kunci keberkahan di setiap langkahnya, termasuk dalam setiap karya yang dihasilkannya.
2 Iman
Landasan yang utama dan tak boleh dilepas oleh seorang penulis muslim adalah iman. Keenam rukunnyamenjadi kerangka dalam setiap langkah, mengiringi setiap guratan pena penulis muslim.
Keenam rukun iman tersebut adalah iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada nabi dan rasul, iman kepada hari akhir, serta iman kepada qada dan qadar.
Dengan berpegang pada iman, penulis muslim akan menuliskan pemikiran atau ide ide yang sejalan dengan kerangka tersebut. Dia tidak akan melenceng atau menuliskan sesuatu yang berlawanan dengan rel keimanan ini.
3 Ihsan
Inilah yang menjadi alarm bagi penulis muslim. Ya, Ihsan yang memiliki 2 rukun yakni melakukan ibadah atau perbuatan apapun seakan melihat Allah dan dilihat atau diawasi oleh-Nya.
Ihsan juga bermakna Itqan. Ini juga merujuk kepada profesionalitas, sehingga seorang penulis muslim senantiasa bekerja penuh kesungguhan, tekun, dan bertanggung jawab.
Ketika ketiga hal ini melekat dengan kuat dalam diri seorang penulis, maka ruh keislaman itulah yang senantiasa akan menuntunnya dalam berkarya,menghasilkan tulisan-tulisan bermakna.
BACA JUGA: Menulis Tanpa Tapi, Menulis Tanpa Nanti
Ketika seorang penulis muslim bergerak dengan ruh keislamannya, langkahnya akan senantiasa dibingkai oleh rambu-rambu iman dan dibentengi alarm Ihsan. Insya Allah, tiada yang dihasilkan olehnya melainkan sebaran-sebaran kebaikan.
Kebaikan inilah yang Insya Allah mendatangkan rahmat. Kebaikan ini pula yang Insya Allah mampu mencerahkan umat.
Ingat, Rasulullah SAW pernah besabda:
“Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR Muslim, no. 2674)
Bayangkan jika kebaikan itu berdampak secara global! []