Oleh: DIta Oktaria
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. ath Thalaq :7)
DIRIWAYATKAN ketika Rasulullah ﷺ baru tiba dari perang Tabuk, beliau berjumpa dengan seorang tukang batu. Ketika itu Rasulullah ﷺ melihat tangan buruh tukang batu tersebut melepuh, kulitnya merah kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari.
Rasulullah ﷺ bertanya, “Kenapa tanganmu kasar sekali?” Si tukang batu menjawab, “Ya Rasulullah, pekerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar.”
BACA JUGA: Suami Tidak Berikan Nafkah untuk Istri Jadi Utang?
Rasul pun menggenggam tangan itu, dan menciumnya seraya bersabda,
“Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada”, ‘inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya‘.
Itulah sedikit kisah mengenai kemuliaan mencari nafkah untuk keluarga. Maka, sebelum kita lebih jauh mengurusi hal lainnya di dunia, tengoklah dulu kewajiban yang dekat. Apa kita sudah melaksanakannya dengan baik?
Sudahkah bersungguh-sungguh di bidang kita masing-masing? Jika belum, mengapakah kita malah sibuk mengurus yang lainnya, sedangkan yang dekat terlantarkan? Berkacalah, kuman di seberang laut tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.
“Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla.” (HR. Ahmad)
“Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah.” (HR. Ahmad)
BACA JUGA: Nafkah Istri dan Uang Belanja, Apa Bedanya?
“Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat”. Maka para sahabat pun bertanya: “Apakah yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Bersusah payah dalam mencari nafkah.”” (HR. Bukhari)
“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal.” (HR. Ad-Dailami)
“Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan hendaknya dilakukannya secara itqon (profesional)”. (HR Baihaqi dari Siti Aisyah RA). []