HATIM, sang penyair itu, mengatakan, “Jika engkau pemilik unta muda, jangan biarkan sahabatmu berjalan di belakangnya tanpa kendaraan. Rendahkan kendaraanmu dan naikkan ia jika bisa terbawa. Itu baik adanya. Jika tidak, bergantianlah.”
Hatim juga pernah berkata kepada seorang pelayannya dalam sebuah rangkaian bait syair yang sangat indah, agar mencari seorang tamu.
Ia berkata, “Nyalakan api, sesungguhnya malam ini sangat dingin, jika ada tamu yang datang, engkau akan bebas merdeka. Hatim juga berkata kepada isterinya demikian, Jika selesai membuat makanan, carilah orang yang akan makan, sebab aku tidak akan sanggup memakannya seorang diri.”
Dia juga pernah berkata seperti ini, “Ketahuilah, sesungguhnya harta itu akan pergi dan sirna. Yang tersisa dari harta itu hanyalah pembicaraan dan kenangan. ‘Ketahuilah, kekayaan itu tidak ada faedahnya bagi seseorang, yakni kala nafas di tenggorokan dan dada tak lagi mampu memuat’.”
Pada kesempatan yang lain dia mengatakan, “Kekayaan tak menambah kebanggaan atas kaum kerabat dan kami tidaklah merasa terhina dengan kefakiran.”
Ibnul Mubarak pernah memiliki tetangga seorang Yahudi. Namun, ia selalu lebih dahulu memberi makan tetangganya itu sebelum anak-anaknya sendiri. Bahkan, ia selalu memberi pakaian padanya sebelum memberi pakaian anak-anaknya.
Ketika orang-orang menawar rumah si Yahudi itu, “Jual saja tempat tinggalmu itu kepada kami!”
Yahudi itu berkata, “Saya akan jual rumahku ini dengan harga dua ribu dinar. Seribu dinar untuk harga rumahku dan seribu lagi karena aku bertetangga dengan Ibnul Mubarak.”
Mendengar jawaban itu, Ibnul Mubarak dalam doanya selalu memohon demikian, “Ya Allah, tunjukilah ia ke dalam Islam.” Dan beberapa saat kemudian, si Yahudi itu pun, dengan izin Allah, akhirnya masuk Islam.
Saat hendak berangkat haji, Ibnul Mubarak bertemu satu rombongan yang bermaksud sama. Dalam rombongan itu, ia melihat seorang wanita yang mengambil bangkai burung gagak dari sebuah tong sampah. Kemudian dia menyuruh pembantunya untuk melihat apa yang dilakukan wanita itu.
“Orang suruhannya itu bertanya kepada si wanita tentang apa yang dilakukannya tadi. Si wanita itu menjawab, “Selama tiga hari kami hanya makan dari sisa-sisa makanan yang dibuang ke dalam tong sampah.”
Karena iba mendengar jawaban itu, Ibnul Mubarak meneteskan air mata. Ia pun memerintahkan agar semua perbekalannya dibagikan kepada rombongan itu. Dan, karena sudah tidak punya bekal lagi maka ia pun pulang. Ia menangguhkan hajinya tahun itu. Dalam tidurnya, ia bermimpi ada orang berkata kepadanya, “Haji yang mabrur, sebuah tindakan yang harus diganjar, dan dosa(mu) telah terampunkan.”
“Dan, mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu,” (QS. Al-Hasyr: 9).
Seorang penyair mengatakan, “Walaupun aku jauh dari sahabatku, laksana bumi dan langit. Aku akan mengirimkan pertolanganku dan menghapuskan kesulitannya. Aku akan jawab seruan dan panggilan suaranya. Jika dia memakai pakaian yang indah maka aku tidak akan mengatakan, ‘Seandainya aku diberi pakaian yang baik dari yang ia pakai’.”
Ya Allah, sungguh sebuah perilaku yang sangat indah. Sungguh sebuah karunia yang sangat agung. Sungguh sebuah budi pekerti yang sangat mengharukan. Orang yang senang melakukan kebajikan, tak akan pernah menyesal meski sangat banyak kebajikan yang telah dikerjakannya. Tetapi ia justru akan menyesal manakala melakukan kesalahan, meski hanya sebuah kesalahan kecil.
Seorang penyair berkata, “Kebaikan itu lebih abadi, walaupun itu dilakukan sekali dan kejahatan adalah bekal terburuk yang engkau usahakan.” []
HABIS
Referensi:E-book La Tahazan Jangan Bersedih!/DR. ‘Aidh al-Qarni/Aisyah Press