MENJADI pemimpin bukan hal mudah. Karena setiap kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban kelak di hari kiamat di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Para sahabat yang diangkat untuk menjadi amir di masanya, banyak yang menolak. Penolakan yang mereka lakukan bukan tak berdasar. Mereka khawatir tidak mampu memikul kepemimpinan yang telah diamanahkan karena godaan akan senantiasa hadir baik dalam segi harta ataupun pujian-pujian.
BACA JUGA: Pemimpin di Hari Kiamat
Miqdad bin ‘Amr, merupakan sahabat yang termasuk dalam orang-orang yang pertama memeluk Islam. Bila dihitung, dia orang ketujuh yang menyatakan keislaman secara terbuka dan terus terang. Akibatnya, dia harus menanggung penderitaan dari kekejaman Kaum Quraisy.
Miqdad adalah seorang ahli pikir ulung. Dia memiliki pikiran cemerlang dan hati yang tulus.
Suatu hari, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Miqdad sebagai amir di suatu daerah. Tatkala dia kembali dari tugasnya, Rasulullah bertanya, “Bagaimanakah pendapatmu tentang menjadi amir?”
“Anda telah menjadikanku menganggap diri berada di atas semua manusia sedangkan mereka semua di bawahku. Demi yang telah mengutus Anda membawa kebenaran, sejak saat ini, aku tidak berkeinginan lagi menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya,” jawab Miqdad jujur.
BACA JUGA: Jadi Pemimpin Persia, Salman Al Farisi Hidup dengan Uang 3 Dirham per Hari
Memang, sejak dia menjabat sebagai amir, dirinya diliputi oleh kemegahan dan puji-pujian. Miqdad menyadari sepenuhnya kelemahan ini. Karena itu, dia bertekad untuk menghindari jabatan dan menolak bila diangkat sebagai amir lagi. []
Sumber: 60 Kisah Seru Sahabat Rasul/ Penulis: Ummu Akbar/September, 2007