Oleh: Muhammad Faudzil Adzim
MALAM ini saya gelisah. Anganku melayang, lalu mengais-ngais kenangan, menemukan beberapa di antaranya.
Sabtu kemarin aku menyampaikan kepada adik-adik yang memiliki semangat dakwah. Mereka datang dari berbagai latar belakang suku maupun asal organisasi keislaman yang dilibati oleh orangtua mereka.
Tetapi aqidah mereka sama, syahadat mereka sama, dan pegangan sucinya sama. Airmataku jatuh ketika itu, melihat anak-anak muda yang cerdas. Aku bersemangat dan sekaligus takut. Anak-anak muda yang cerdas penuh semangat akan dapat menegakkan kehormatan Islam ini di muka bumi. Tetapi semua itu akan runtuh, bahkan tanpa perlu dirobohkan pun tak akan sanggup tegak dan kokoh jika ‘ashabiyah (fanatisme kelompok) menghunjam ke dada mereka.
‘Ashabiyah itu wujudnya beragam; bisa menyeru kepada suku, ras, kelompok harakah ataupun Ormas (organisasi kemasyarakatan). Yang menyamakan adalah, ‘ashabiyah itu melumpuhkan dakwah, meskipun tampaknya penuh semangat. Jika dakwah itu menyeru kepada Allah Ta’ala semata, maka ‘ashabiyah justru menyeru kepada kelompok, meskipun seolah mengajak menuju Allah Ta’ala.
Tak perlu jauh-jauh untuk berbeda. Tetapi bukankah kita dapat duduk bersama, ta’awun (saling menolong) dalam kebaikan, meluruskan kesalahan apabila kita mendapati kesalahan pada saudara kita dengan tetap berhati-hati tidak gegabah menyalahkan apa yang kita belum memahami ilmunya, dan tabayyun untuk hal yang belum jelas?
Kita sangat menghajatkan diri untuk mati dalam keadaan sungguh-sungguh sebagai muslim dan jalan untuk itu adalah berpegang pada tali Allah Ta’ala yang sangat kokoh serta tidak berpecah belah. Tali Allah itu adalah Al-Qur’an. Tak mungkin kita bersatu jika kita tidak berpegang pada Al-Qur’an. Maka jika benar engkau membela agama ini, tengoklah apakah engkau sungguh berpegang pada Al-Qur’an.
Adapun yang telah berpegangan pada Al-Qur’an, pegangan itu akan lemah jika kita berpecah-belah. Yang dipegangi kuat, tetapi kita yang tidak memegangi dengan kuat.
Renungilah sejenak, Kawan. Renungi firman Allah Tabaraka wa Ta’ala ini:
ﻳَٰٓﺄَﻳُّﻬَﺎ ٱﻟَّﺬِﻳﻦَ ءَاﻣَﻨُﻮا۟ ٱﺗَّﻘُﻮا۟ ٱﻟﻠَّﻪَ ﺣَﻖَّ ﺗُﻘَﺎﺗِﻪِۦ ﻭَﻻَ ﺗَﻤُﻮﺗُﻦَّ ﺇِﻻَّ ﻭَﺃَﻧﺘُﻢ ﻣُّﺴْﻠِﻤُﻮﻥَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran, 3: 102).
Kemudian tengoklah pesan Allah ‘Azza wa Jalla berikutnya:
ﻭَٱﻋْﺘَﺼِﻤُﻮا۟ ﺑِﺤَﺒْﻞِ ٱﻟﻠَّﻪِ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ ﻭَﻻَ ﺗَﻔَﺮَّﻗُﻮا۟ ۚ ﻭَٱﺫْﻛُﺮُﻭا۟ ﻧِﻌْﻤَﺖَ ٱﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺇِﺫْ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺃَﻋْﺪَآءً ﻓَﺄَﻟَّﻒَ ﺑَﻴْﻦَ ﻗُﻠُﻮﺑِﻜُﻢْ ﻓَﺄَﺻْﺒَﺤْﺘُﻢ ﺑِﻨِﻌْﻤَﺘِﻪِۦٓ ﺇِﺧْﻮَٰﻧًﺎ ﻭَﻛُﻨﺘُﻢْ ﻋَﻠَﻰٰ ﺷَﻔَﺎ ﺣُﻔْﺮَﺓٍ ﻣِّﻦَ ٱﻟﻨَّﺎﺭِ ﻓَﺄَﻧﻘَﺬَﻛُﻢ ﻣِّﻨْﻬَﺎ ۗ ﻛَﺬَٰﻟِﻚَ ﻳُﺒَﻴِّﻦُ ٱﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻜُﻢْ ءَاﻳَٰﺘِﻪِۦ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﻬْﺘَﺪُﻭﻥَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran, 3: 103).
Tidakkah engkau lihat jalan agar Allah Ta’ala berikan petunjuk kepada kita? Berpeganglah pada tali Allah dan jangan berpecah-belah.
Tiap tahun kami yang biasa tiap Selasa berkumpul bersama di garasi, meniatkan diri melakukan perjalanan di bulan Syawal, berkunjung ke beberapa orang yang telah memiliki jasa sangat besar bagi dakwah ini, untuk menimba ilmu, memohon do’a dan nasehat serta berusaha memahami. Orang-orang mulia itu beragam latar-belakangnya dan beragam kiprahnya. Banyak yang berbeda, tetapi diri yang sangat miskin ilmu inilah yang paling banyak kekurangannya.
Kami datang ke KH. Maimoen Zubair di Sarang, KHR. Syamsul ‘Arifin di Banyuanyar Pamekasan, Ustadz ‘Abdullah Hadhrami di Malang, Ustadz Athian Ali Dai maupun KH. Miftah Faridl di Bandung serta berbagai tokoh lainnya. Ada yang tak kesampaian karena perjalanan ternyata kadang lebih lambat dibandingkan perhitungan semula sehingga tidak sempat bertamu berombongan kepada Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawaz maupun Buya Yahya. Tetapi serangkaian perjalanan itu memberi pelajaran kepada kami tentang perlunya mendengar dari sumber pertama, keharusan untuk senantiasa menghajatkan nasehat seraya terus belajar.
Banyak pelajaran kami petik. Dari KH. Nawawi Abdul Jalil dari Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan kami banyak belajar tentang kesederhanaan, ketegasan dan keteguhan dalam bersikap. Beliau juga sangat menjaga diri. Konon termasuk hal yang sulit adalah meminta perkenan beliau untuk foto bersama. Maka terkejutlah saya ketika akhirnya dipanggil untuk berfoto bersama beliau karena rupanya rekan-rekan sudah siap di sisi kiri kanan beliau. Dan betapa beliau memang tampak kesederhanaannya dalam urusan ini. Sangat berhati-hati.
Kita tidak akan bisa menjadi Ummat terbaik, kecuali hanya jika memenuhi syaratnya, yakni menegakkan amru bil ma’ruf, menunaikan nahyu ‘anil munkar dan beriman kepada Allah Ta’ala. Amru bil ma’ruf; menyeru kepada yang ma’ruf dengan cara yang ma’ruf pula. Bukan dengan cara yang munkar.
Di masa lalu, kita mendapati banyak ulama yang memiliki perbedaan sangat tajam, bahkan antara guru dan murid. Tetapi banyaknya perbedaan tak menjadikan Imam Syafi’i kehilangan adab kepada Imam Malik selaku guru. Bahkan beliau amat sangat luhur adab dan akhlaknya.
Tetapi… Yang mengaku mengikuti Imam Syafi’i belum tentu mengenal Imam Syafi’i. Bahkan boleh jadi ada yang sangat asing dengan sikap dan pendirian Imam Syafi’i, meskipun merasa benar-benar mengikuti pendapat Imam Syafi’i. Atau jangan-jangan bahkan tak pernah lagi menyebutkan nama guru Imam Ahmad bin Hanbal ini ketika berpendapat?
Malam ini…, gelisah jiwaku mendengar sahabat yang penuh semangat dalam dakwah, Ustadz Felix Yanuar Siauw mendapat ujian dakwah. Saya mengenalnya, cukup dekat, termasuk bagaimana beliau amat terbuka terhadap nasehat. Terlebih jika hujjahnya kuat. Beliau bersahabat dengan Ustadz Musthofa Umar dari Pekanbaru, Ustadz Mu’inuddinillah Basri, Ustadz ‘Abdullah Hadhrami dan para Ustadz lainnya yang bukan HTI. Beliau sangat akrab, terlebih dengan Ustadz Salim A. Fillah.
Ada perbedaan? Banyak. Inilah yang dapat kita diskusikan dengan hangat diselingi canda tanpa dusta sembari menyeruput kopi bersama.
Tidakkah ini yang seharusnya kita perbuat? Berpegang-teguhlah pada tali Allah dan jangan berpecah-belah. Jika saudaramu keliru, ingatkan dan nasehati. Jika tak paham, ajarkan ilmunya. []
Sumber: Akun Facebook Penulis dengan ditambahkan judul oleh redaksi.