“Di antara tanda dari baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.” (HR Tirmidzi)
PARA ulama menegaskan, kedudukan hadits ini sangat utama, karena ia mejelaskan tentang etika, membangun level kebaikan seorang muslim. Karena itu, Imam an-Nawawi pun memasukan hadits ini di antara hadits-hadits pilihan Arba’in an-Nawawi.
Ada beberapa kata yang perlu kita pahami pada hadits tersebut.
BACA JUGA: Iringilah perbuatan Dosa dengan Amal Kebaikan
Pertama, maksud dari kebaikan keislaman atau kebaikan seorang muslim adalah nilai, pahala, indikasi kuat dan lemahnya iman seseorang. Sementara “baik” pada hadits ini bermakna baik dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya, dan baik selaras dengan prinsip kebaikan manusia. Ada juga yang menyebutkan “baik” bermakna jika sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya, dan prinsip kebaikan manusia. Sementara “tak bermanfaat”, dapat diartikan sia-sia, tidak ada kebaikan, tidak berguna, tidak bernilai baik untuk kehidupan dunia dan tidak berguna untuk akhirat, atau aktivitas yang bernilai menyia-nyikan waktu.
Makna tersirat di balik hadits ini, bahwa sejatinya sifat utama seorang muslim adalah selalu sibuk dengan hal yang mulia dan bermanfaat, menjauhi segala yang hina, sia-sia, tak berguna. Demikian pula, merawat diri dalam keislaman yang sejati di antaranya dengan meninggalkan segala yang tidak bermanfaat dunia dan akhirat. Karena itu, sibuk atau melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat merupakan di antara tanda lemah iman atau kriteria kurang baiknya keislaman seseorang.
Kedua, kita juga dapat memahami dari hadits tersebut, bahwa kebaikan Islam seseorang bertingkat-tingkat, ada level tinggi, menengah dan rendah. Tidak sama nilai keislaman Nabi, sahabat, tabi’in dengan generasi selanjutnya. Sama halnya, tidak sama keislaman yang selalu aktif dengan kegiatan sia-sia, tak berguna untuk dunia dan akhirat, dengan keislaman mereka yang menyibukan diri dengan amal shaleh, yang berprinsip “al-wajibatu aktsam min al-awqat”, kewajiban sebagai seorang muslim lebih banyak dari waktu yang tersedia.”
Namun pemahaman hadits ini jangan sampai dibawa pada kesimpulan Islam adalah agama “yang menegangkan”, agama yang kaku, anti hiburan, santai dan relaksasi. Pasalnya, sejatinya hiburan diperbolehkan dalam Islam. Mengingat, Islam hadir sebagai agama realistis, tidak tenggelam dalam dunia khayal dan lamunan. Tetapi Islam berjalan bersama manusia di atas dunia realita dan alam kenyataan. Dalam arti, Islam tidak memperlakukan manusia, para pengikutnya sebagai Malaikat. Tetapi Islam memperlakukan manusia sebagai manusia yang suka makan, minum, bersantai, bercanda, berjalan-jalan, dan hiburan.
Islam tidak mengharuskan manusia supaya dalam seluruh percakapannya itu berupa zikir, diamnya itu berarti berfikir, seluruh pendengarannya hanya kepada al-Quran dan seluruh waktu senggangnya harus di masjid. Tapi, Islam mengakui fitrah dan insting manusia sebagai makhluk yang dicipta Allah, yang dijadikan sebagai makhluk yang suka bergembira, bersenang-senang, ketawa dan bermain-main, sebagaimana mereka dicipta suka makan dan minum.
BACA JUGA: Kebaikan dan Dosa dalam Diri Manusia
Benar, meningkatnya dunia dan akhirat, kesungguhan yang membulat dan ketekunan beribadah haruslah menjadi kebiasaan. Namun, marilah kita dengarkan kisah seorang sahabat yang mulia, namanya Handzalah al-Asidi, dia termasuk salah seorang penulis wahyu untuk Nabi saw.
Ia mengeluhkan kondisi keislamannya yang meningkat saat bersama Nabi, berada di majelis pengajian, tapi begitu pulang ke rumah, berkumpul bersama istri dan anak-anaknya gelora semangat itu pun menurun.
Mendengar keluhan sahabatnya ini, Rasulullah saw pun bersabda, “Demi Zat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya jika engkau disiplin terhadap apa yang pernah engkau dengar ketika bersama aku dan juga tekun dalam zikir, niscaya Malaikat akan bersamamu di tempat tidurmu dan di jalan-jalanmu. Tetapi hai Handzalah, ‘saa’atan, saa’atan’ (perlahan-lahan, dan berguraulah sewajarnya). Diulanginya ucapan itu sampai tiga kali.” (HR. Muslim). []