BEBERAPA bulan setelah perjanjian dihapus, Rasulullah kembali mengalami ujian besar. Kali ini bukan penyiksaan dari pihak lawan, melainkan berupa wafatnya dua kekasih Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Abu Thalib Kekasih Rasulullah
Karena sudah lanjut usia dan menderita kehidupan berat di pengasingan selama tiga tahun, Abu Thalib jatuh sakit. Saat itu usianya sudah delapan puluh tahun.
Mengetahui Abu Thalib sakit keras, orang-orang Quraisy khawatir akan terjadi perang antara kaum Quraisy dan Rasulullah beserta para pengikutnya. Apalagi di pihak Rasulullah, ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras. Selama ini, Abu Thalib selalu bisa menjadi penengah kedua belah pihak.
Para pemuka Quraisy menemui Abu Thalib di pembaringan dan berkata,
“Abu Thalib, engkau adalah keluarga kami juga. Sekarang ini, keadaan antara kami dan kemenakanmu sudah sangat mencemaskan kami. Panggilah dia. Kami dan dia akan saling memberi dan menerima. Biarlah dia dengan agamanya dan kami dengan agama kami pula”.
BACA JUGA: Ciri Kenabian Rasulullah Terungkap saat Dibawa Abu Thalib Berdagang ke Negeri Syam
Rasulullah kemudian datang. Mengetahui maksud kedatangan mereka, Rasulullah bersabda,
“Sepatah kata saja saya minta yang akan membuat mereka merajai semua orang Arab dan bukan Arab.”
“Katakanlah, demi ayahmu,” kata Abu Jahal, “sepuluh kata sekali pun, silakan!”
Rasulullah bersabda, “Katakan, tidak ada ada Tuhan selain Allah dan tinggalkan segala penyembahan selain Allah.”
“Muhammad,” seru mereka, “maksudmu tuhan-tuhan itu dijadikan satu saja?”
Para pembesar Quraisy saling pandang dengan kecewa menghadapi keteguhan Rasulullah.
“Pulanglah,” kata mereka satu sama lain, “orang Ini tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Pergilah kalian!”
Rasulullah duduk di sisi pembaringan pamannya. Dengan sedih, ditatapnya wajah bijaksana orang tua itu. Hati Rasulullah dipenuhi rasa duka, tidak hanya karena melihat sakit sebelum maut yang diderita Abu Thalib, tetapi juga karena sampai saat itu, pamannya belum juga membuka hatinya kepada Islam.
Rasulullah menggenggam tangan pamannya dengan lembut. Inilah Abu Thalib yang dulu mengajaknya berdagang ke Syam karena tidak tega berpisah dengannya. Inilah pamannya yang dulu merawatnya penuh kasih sayang, bahkan mencintainya melebihi kecintaan kepada anak-anaknya sendiri.
Inilah Abu Thalib yang membuka jalan pertemuannya dengan Khadijah dan mendorongnya menjadi pemimpin kafilah dagang Khadijah. Inilah Abu Thalib yang selalu menjadi pelindungnya sejak dirinya menjadi yatim sampai menjadi utusan Allah.
Abu Thalib membuka matanya yang sayu dan memandang Rasulullah, “Demi Allah, wahai anak saudaraku, aku tidak melihatmu menawarkan sesuatu yang berat kepada para pemuka kaummu.”
Sejenak timbul harapan Rasulullah akan keislaman pamannya itu,
“Wahai pamanku, ucapkanlah satu kalimat maka dengan kalimat tersebut engkau berhak mendapat syafaatku pada Hari Kiamat.”
BACA JUGA: Abu Thalib Meminta Doa dengan Wajah Nabi
Akan tetapi, Abu Thalib tetap enggan menerima ajakan tersebut. Kemudian wafatlah ia. Kini, hilang sudah seorang pelindung Rasulullah. Mulai saat ini, Rasulullah harus menghadapi semuanya sendiri.
Ketika Rasulullah mengajak Abu Thalib mengucapkan syahadat pada saat-saat terakhirnya, Abu Thalib berkata,
“Kalau saja aku tidak khawatir nasib keluargaku akan dianiaya setelah kepergianku dan kaum Quraisy bakal mengatakan, bahwa aku berucap karena gentar menghadapi sakaratul maut, aku tentu mengucapkannya. Kalau pun kuucapkan, itu sekadar menyenangkan hatimu.”
Baca Juga: Kisah Rasulullah saw saat Berdakwah secara Terang-terangan
Wafatnya Khadijah, Kekasih Tercinta
Selepas Abu Thalib meninggal, berselang dua bulan atau tiga hari kemudian (menurut pendapat ulama lain), wafatlah sang Ummul Mukminin, Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Peristiwa itu terjadi pada bulan Ramadhan, tahun kesepuluh masa kenabian.
Kala itu, umur beliau mencapai 65 tahun, berdasarkan pendapat yang paling kuat. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah berumur 50 tahun.
Ketika Rasulullah kembali ke rumah, beliau melihat Khadijah jatuh sakit. Rasulullah menggenggam tangan Khadijah yang kini terasa panas. Dari hari ke hari, wajah Khadijah semakin pucat dan gemetar, Rasulullah amat terharu.
Pada saat-saat seperti ini, istrinya itu tetap berusaha menguatkan hatinya. Seolah-olah Khadijah tahu bahwa perjuangan suaminya masih sangat panjang dan berliku, sedangkan perjuangannya sendiri sudah mencapai titik akhir.
Ummul Mukminin, Khadijah, pun mengembuskan nafas terakhirnya di pangkuan suami tercinta, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Khadijah pun didekap dengan perasaan pilu dan sedih yang teramat sangat.
Ketika Khadijah wafat, Rasulullah amat terpukul. Dua peristiwa terjadi dalam jangka waktu yang tidak terpaut lama sehingga menorehkan perasaan duka lara di hati Rasulullah.
Rasulullah kehilangan dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Paman yang mengasuh dan melindunginya serta istri yang setia mendampingi dalam menempuh semua suka dan duka, terutama setelah beliau diangkat menjadi Rasul selama sepuluh tahun terakhir kehidupan mereka.
BACA JUGA: Salam dari Malaikat Jibril untuk Khadijah
Masa-masa duka ini dikenal dengan nama ‘Amul Huzni (tahun kesedihan).
Saat itu, seolah-olah semua kegembiraan di hati Rasulullah pudar. Indahnya kehidupan seolah-olah ikut terkubur bersama jasad dua orang kesayangan itu. Rasulullah tertunduk di samping pusara Khadijah. Air mata beliau mengalir tanpa tertahan.
Beliau ingat, betapa besar penderitaan pamannya dan kesengsaraan yang dipikul istrinya saat mereka bertindak melindungi beliau. Rasanya, hidup Khadijah lebih banyak dilalui dengan menanggung begitu berat beban perjuangan dibanding menikmati manisnya kehidupan.
Keluarga dan sahabat merasakan betul kesedihan Rasulullah. Sekuat tenaga, mereka berusaha menghibur Rasulullah. Inilah saat-saat ketika para pengikut, yang biasanya dihibur dan dikuatkan hatinya oleh Rasulullah, berganti menghibur dan menguatkan hati Rasulullah.
Sungguh pada saat yang mengharukan, tetap ada keindahan yang tampak dalam persaudaraan mereka. []