KITAB “Li Yatafaqqahu Fi Ad-Diin”, karya ulama Syaf’iyyah dari Ahsa, Saudi Arabia, Dr. ‘Abdul Ilah bin Husain Al-‘Arfaj, merupakan satu dari sekian kitab fiqih madzhab Syafi’i yang ditulis di era kontemporer.
Dan sebagaimana kitab kontemporer lain yang mustaqil (bukan penjelasan dari kitab lain), seperti kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Mu’tamad Fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, Al-Fiqh Asy-Syafi’i Al-Muyassar, dan lainnya, ia menyajikan fiqih dengan ungkapan yang lugas, jelas, tidak berbelit-belit, dan menyajikan dalil dengan penjelasan wajhul istidlal (sisi pendalilan) secara ringkas.
Namun kitab karya Dr. ‘Abdul Ilah Al-‘Arfaj ini punya keistimewaan, yaitu ia memberikan perhatian pada tiga hal, yaitu:
1. Menyebutkan pernyataan Imam Asy-Syafi’i yang ada di kitab “Al-Umm.”
BACA JUGA: Apa Hukum Mempelajari 4 Mazhab Hanya Baca Kitabnya?
Ini sangat berharga, karena penjelasan Dr. ‘Abdul Ilah seakan menjadi syarah (penjelasan) dari nash Imam Asy-Syafi’i, karena maklum bagi kalangan pelajar, nash Imam Asy-Syafi’i, sulit diungkap kandungannya oleh orang-orang yang lemah bahasa Arabnya dan minim ilmu syar’i-nya.
Penjelasan Dr. ‘Abdul Ilah, yang kemudian didukung oleh nash Imam Asy-Syafi’i, membantu kita memahami kandungan nash sang imam tersebut.
Di sisi lain, kita juga terbantu dan diyakinkan, bahwa madzhab Syafi’i yang kita pelajari saat ini, itu tidak lepas hubungan dan kaitan dengan sang imam pendiri madzhab, seperti yang dituduhkan oleh sebagian kalangan.
Meski tentu kita juga paham, bahwa madzhab fiqih dengan maknanya yang luas, saat ini tak lagi terbatas pada nash dan qaul imam pendiri madzhab.
Contoh kutipan dari Al-Umm, saat Dr. ‘Abdul Ilah menjelaskan syarat sah wudhu, bahwa tidak boleh ada penghalang pada anggota wudhu, yang menghalangi sampainya air ke anggota wudhu tersebut:
وإن كان عليه عِلك أو شيء ثخين فيمنع الماء أن يصل إلى الجلد لم يُجزِه وضوء ذلك العضو حتى يزيل عنه ذلك
Contoh lain, saat menjelaskan wajibnya takbiratul ihram saat shalat menggunakan bahasa Arab bagi yang mampu mengucapkannya dalam bahasa Arab, dan bagi yang tidak mampu, boleh membaca terjemahnya dengan bahasa yang ia pahami, dikutip pernyataan Asy-Syafi’i:
ولو أن رجلا عرف العربية وألسنةً سواها فأتى بالتكبير نفسه بغير العربية لم يكن داخلا في الصلاة، إنما يُجزيه التكبير بلسانه ما لم يحسنه بالعربية، فإذا أحسنها لم يجزه التكبير إلا بالعربية
2. Menyebutkan kaidah fiqih (qawa’id fiqhiyyah) yang berkaitan dengan satu tema pembahasan
Ini juga sangat berharga, karena membantu kita menghubungkan qawa’id fiqhiyyah dengan masail fiqih (bahasan-bahasan fiqih) di kitab fiqih secara langsung.
Biasanya, kita menemukannya di kitab qawa’id fiqhiyyah, saat penulis menyebutkan satu kaidah, kemudian dia menyebutkan contoh penerapan kaidah tersebut dalam fiqih.
Atau dalam kitab fiqih, kita temukan penyebutan qawa’id atau dhawabith (seperti qawa’id tapi lebih sempit cakupannya), namun tidak secara lugas, sehingga kadang tidak diperhatikan oleh pembaca.
Dr. ‘Abdul Ilah menyebutkan kaidah-kaidah fiqih secara jelas di kitab ini, yang benar-benar membantu dan memudahkan pelajar melihat hubungan antara kaidah fiqih tersebut dengan masail fiqihnya.
Contohnya, saat beliau menjelaskan bahwa mandi wajib itu sudah cukup untuk mengangkat hadats, tak perlu wudhu lagi setelahnya, dan dengan mandi wajib itu terangkat dua hadats sekaligus, hadats besar dan hadats kecil, beliau menyebutkan kaidah fiqih:
إذا اجتمع أمران من جنس واحد، ولم يختلف مقصودهما، دخل أحدهما في الآخر غالبا
Artinya: “Jika dua perkara yang berasal dari satu jenis yang sama bertemu, dan tujuan keduanya tidak berbeda, maka pada umumnya yang satu masuk ke dalam perkara yang satu lagi.”
Contoh lain, saat menjelaskan kewajiban zakat fitri, bahwa jika seorang muslim hanya mampu mengeluarkan zakat untuk sebagian orang yang ditanggungnya, dan tidak mampu untuk sebagian yang lain, maka ia harus mendahulukan mengeluarkan zakat fitri untuk dirinya.
Jika masih ada yang bisa dikeluarkan, ia keluarkan untuk istrinya, lalu untuk anaknya yang belum baligh, dan seterusnya, beliau menyebutkan kaidah fiqih:
الميسور لا يسقط بالمعسور
Artinya: “Sesuatu yang mudah dan bisa dilakukan tidak gugur kewajibannya karena ada hal yang sulit atau tidak bisa dilakukan.”
3. Menyebutkan sebagian perkara nawazil (perkara fiqih kontemporer)
Ini sangat bermanfaat, karena ia adalah persoalan yang kita hadapi saat ini, dan belum pernah dibahas oleh ulama klasik karena faktanya belum mereka temukan di masa mereka.
Dr. ‘Abdul Ilah menyebutkan beberapa bahasan fiqih kontemporer,. mengikuti ketentuan dalam madzhab Asy-Syafi’i.
Misal, saat membahas kesunnahan siwak, beliau menyatakan bahwa dalam konteks fiqih kontemporer, sikat gigi modern itu sama dengan siwak atau bisa menggantikan posisi siwak.
Contoh lain, pakaian atau badan yang terkena kencing anak kecil laki-laki yang mengonsumsi susu formula, tidak cukup diperciki air saja, tapi wajib dibasuh atau disiram air, karena susu formula tersebut tidak hanya berisi air susu, tapi juga berisi bahan-bahan lainnya.
Contoh lain, saat membahas hal-hal yang membatalkan puasa, beliau menyebutkan bahwa merokok itu membatalkan puasa, karena rokok itu asap, dan ia zat yang memiliki fisik, sehingga jika ia masuk ke dalam rongga tubuh melalui lubang tubuh yang terbuka, batal puasanya.
Inilah tiga hal yang istimewa pada kitab “Li Yatafaqqahu Fi Ad-Diin”, sehingga tak layak bagi seorang pelajar yang memiliki kelapangan harta dan mampu mengumpulkan kitab-kitab karya ulama, klasik maupun kontemporer, mengabaikan kitab ini.
BACA JUGA: Mengenal Kitab Kuning; Warisan Semangat Belajar para Ulama Terdahulu
Oh ya, kitab ini hanya berisi bab-bab ibadat saja, atau dalam ungkapan lain, berisi rukun-rukun Islam setelah syahadat.
Tidak ada penjelasan dari Dr. ‘Abdul Ilah, mengapa kitab ini hanya memuat bab-bab ibadat saja, juga tidak ada penjelasan apakah beliau berencana menulis kitab dengan cara penyajian yang sama untuk bab-bab muamalat, munakahat dan jinayat.
Tapi yang jelas, meskipun hanya berisi bab-bab ibadat, kitab ini penuh manfaat dan tidak layak dilewatkan. Selain itu, bab-bab ibadat, utamanya thaharah, shalat dan puasa, adalah hal yang sangat urgen dipelajari oleh setiap muslim mukallaf, fardhu ‘ain bagi mereka mempelajarinya, agar shalat dan puasa mereka sah dan diterima oleh Allah ta’ala.
Dan bagi orang yang berharta, wajib mempelajari fiqih zakat. Bagi yang memiliki kemampuan, wajib mempelajari manasik haji. Dan kitab ini salah satu yang sangat layak untuk dijadikan rujukan.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara