SELAMA hidup yang sebentar di Jatinangor, saya tak akan pernah melupakan sebuah nama. Saya menyebutnya “Si Busuk”. Saya kurang begitu ingat bagaimana awal kami berteman. Ia di jurusan Prancis, dan tiba-tiba saya dan dia begitu akrab ketika ospek sastra berakhir.
BACA JUGA: Kalau Gaul sama Orang yang Suka Ngomongin Orang …
Si Busuk adalah hal pertama yang saya ingat setiap kali kemalaman di Jatinangor. Jika berangkat sore dari Purwakarta, maka tempat kos-nya yang terletak tidak jauh di jalan utama adalah tempat saya tidur. Si Busuk adalah tempat pertama yang saya datangi jika saya lapar dan tak punya uang. Tak terhitung berapa kali saya pinjam uang darinya ketika itu.
Si Busuk juga adalah mahasiswa yang asyik untuk tidak diajak diskusi soal mata kuliah (seingat saya, dia tak pernah terlihat belajar) atau ngomongin gebetan mahasiswi di kampus–terutama karena tidak ada satupun yang naksir kami berdua. Bila sore tiba, kami berdua nongkrong di pinggir lapangan Pakuan, di bawah masjid Ibnu Sina, membawa gitar dan bernyanyikan lagu-lagu Bush, Dewa 19, dan Padi. Si Busuk adalah salah satu orang di Jatinangor yang tak pernah mengecewakan saya.
BACA JUGA: Ramadhan di Pasar Rebo
Orangnya tinggi besar, hitam, kriting, tidak tampan. Tapi hatinya putih bagai mutiara. Satu-satunya yang saya sesali soal si Busuk adalah, saya tak pernah punya foto berdua dengannya. Kapan-kapan kalau ketemu, saya pasti akan foto selfi dengannya. Well. []