“DI,” ujar saya pada Udi, karib saya waktu kecil suatu sore jelang buka, “Nanti malam beli mie ayam dua mangkok yuk!”
“Hah, benar nih?”
Saya mengangguk. “Aku sudah ngumpulin uang sejak kemarin. Ga jajan-jajan.”
“Hayulah,” sambut Udi.
BACA JUGA: Ramadhan di Pasar Rebo
Udi itu teman satu kampung. Tinggi. Pinter. Ganteng seperti Fedy Nuril sekarang. Kakaknya perempuan menikah dengan kakak laki-laki saya. Kami berdua sangat menyukai lagu-lagu Obie Mesakh dan Deddy Dores.
Malam itu, usai tarawih, kami melewati sawah dan malam gelap menuju jalan raya, satu-satunya tukang mie ayam yang ada di Simpang.
Dua mie ayam itu dibungkus. Kami bawa pulang. Di pinggir sungai dan sawah dan cahaya bulan, kami menyantap mie. Sembunyi karena takut diminta oleh teman-teman kami. Kalau sudah ada ponsel pintar, bisa jadi kami menghabiskan mie ayam sambil mendengarkan Obie atau Deddy Dores.
Satu mangkuk habis, saya sudah berhenti. “Nggak kuat, euy…” ujar saya. Saya sodorkan satu mangkuk yang tersisa ke Udi.
“Rezeki mah jangan ditolak,” ujar Udi.
Saya menemani dia menghabiskan tiga mangkuk mie ayam sambil bicara soal apa saja. Jam sembilan, kami nonton teve di salah satu juragan tempe di kampung kami. Tapi jam sepuluh, Udi meminta saya untuk mengantarnya ke sungai. “Mules,” ujar dia. Tahun 1988, masih banyak yang menggunakan sungai sebagai kakus.
BACA JUGA: Saat Sulit
Sampai jam 12 malam, Udi sudah bolak balik tiga atau empat kali ke sungai. Saya tentu saja cuma mau mengantarkan sekali saja.
Besoknya dua hari Udi tidak puasa karena diare. Saus mie ayam tampaknya menyerang perutnya. Sepekan kemudian ketika saya mengajaknya beli mie ayam lagi, Udi menolak. “Jangan dua mangkuk lagi,” sambil meringis. []