Oleh: Muhammad Abduh Negara
Jika amal seseorang zhahirnya baik, jika perkataan seseorang zhahirnya baik, kita harus husnuzhzhan bahwa itu memang baik dan ikhlas karena Allah ta’ala. Urusan hatinya bukan urusan kita. Kita hanya menilai zhahir amal dan perkataannya saja.
Sebaliknya, jika amal dan perkataannya terbukti buruk (terbukti, bukan sekadar tuduhan), maka kita menilainya buruk, sesuai zhahirnya.
BACA JUGA: Jangan Lewatkan Kesempatan untuk Berbuat Baik
Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan atsar dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ أُنَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّ الْوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ، وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمُ الْآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ، فَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا أَمِنَّاهُ وَقَرَّبْنَاهُ، وَلَيْسَ إِلَيْنَا مِنْ سَرِيرَتِهِ شَيْءٌ، اللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي سَرِيرَتِهِ، وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا لَمْ نَأْمَنْهُ وَلَمْ نُصَدِّقْهُ، وَإِنْ قَالَ : إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ
Artinya: “Dulu orang-orang di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi putusan berdasarkan wahyu. Dan wahyu saat ini sudah terputus. Sekarang kami memberikan keputusan sesuai yang tampak dari perbuatan kalian.
Siapa saja yang menampakkan perbuatan baik, kami berikan keamanan dan kami dekatkan ia pada kami. Dan kami tidak menilai isi hatinya sedikit pun. Allah yang akan meminta pertanggungjawaban terhadap isi hatinya.
Dan siapa saja yang menampakkan keburukan, kami tidak akan memberikan keamanan padanya dan tidak akan membenarkannya, meskipun ia berkata bahwa hatinya baik.”
Isi hati seseorang itu perkara gaib bagi kita, tak mungkin kita bisa mengetahui isi hati orang lain. Karena itu, Islam mengajari kita menilai zhahir seseorang.
Jika zhahirnya orang tersebut istiqamah dalam ketaatan, banyak berbuat kebaikan dan tidak menampakkan kemaksiatan, maka kita menilainya sebagai orang shalih dan kita bermuamalah dengannya sebagaimana bermuamalah terhadap orang shalih.
BACA JUGA: Alasan Sebelum Subuh Jadi Waktu Terbaik untuk Mandi
Sebaliknya, jika zhahirnya menampakkan kemaksiatan dan kefasiqan, suka mendekati dan melakukan keburukan, dan menjauhi kebaikan, maka ia kita nilai sebagai orang fasiq dan ahli maksiat.
Maka kita harus bermuamalah dengannya sebagaimana muamalah terhadap orang fasiq. Kita lakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadapnya dengan cara terbaik.
Wallahu a’lam. []