“Sesunggunya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (QS al Muzzammil [73]: 5)
***
SEWAKTU muda, Imam Syafi’i sangat menyukai bahasa dan seni, sehingga ia mahir dalam kesusastraan Arab klasik.
Syair-syair hafal di luar kepala, seperti Syair Imrul Qais, Syair Zuher, Syair Jarir, dan sebagainya. Titik baliknya bermula dari teguran kecil.
Suatu hari Syafi’i muda mengendarai unta sambil berdendang melantunkan syair yang dihafalnya. Seorang juru tulis, Abu Mush’ab menegur Syafi’i muda dengan memukulkan tongkat ke punggunya.
BACA JUGA: 14 Nasihat Emas dari Imam Syafi’i
“Ah, pemuda sepertimu ini menghabiskan kepemudaanya dengan berdendang dan bernyanyi. Alangkah baiknya jika waktu mudamu ini kau pakai untuk belajar hadits dan fiqih.”
Meskipun dipukul, Syafi’i muda tak tersinggung, sakit hati, atau marah-marah. Teguran memang pahit, tapi begitulah tabiat obat. Pahit namun menyembuhkan.
Teguran tadi menginspirasi Syafi’i muda untuk memperbaiki diri dan melejitkan potensi. Ia berniat akan mempelajari ilmu hadits dan fiqih sebagaimana anjuran Abu Mush’ab.
Dorongannya semakin kuat tatkala mendapati nasihat dari Mufti Makah saat itu, Syaikh Muslim bin Khalid Az-Zanji.
Syafi’i bercerita, “Pada mulanya saya mempelajari ilmu nahwu atau garamatika dan adab atau kesusatraan. Lalu saya datang kepada Muslim bin Khalid, maka beliau bertanya, “Hai Muhammad, engkau dari mana?”
“Saya orang sini, orang Makah.”
“Dari kampung mana?”
“Dari Kampung Khaib.”
“Dari kabilah apa?”
“Dari Kabilah Abdu Manaf.”
“Bakhin, bakhin, waduh senang sekali. Allah telah memuliakan engkau dunia akhirat. Alangkah baiknya bila kecerdasanmu itu ditumpahkan pada ilmu fiqih. Inilah yang baik bagimu.”
Syafi’i muda terbakar semangatnya. Menyala-nyala, berkobar, bangkit dan bergelora. Perkataan Syaikh Muslim bin Khalid Az Zanji ini menggerakan Syafi’i muda untuk mempelajari ilmu fiqih sedalam-dalamnya.
Abu Mush’ab dan Muslim bin Khalid Az Zanji menyampaikan Qaulan Tsaqiilan (perkataan berbobot, QS al Muzzammil: 5).
Sederhana tapi dahsyat kesudahannya. Ungkapan yang bukan sekedar keluar dari lisan, melainkan bersebab bersihnya hati, tulusnya niat, dan kokohnya keyakinan pada Allah dan rasul-Nya. Inilah kalimat dakwah. Kalimat yang mengunggah dan menggerakan, tembus ke relung hati sanubari.
BACA JUGA: Begini Kecerdasan Ibunda Imam Syafi’i
Syafi’i muda termotivasi mengubah diri menjadi pribadi berkualitas tinggi, terbakar semangatnya untuk mempelajari hadits dan fiqih.
Sejarah mencatat dengan tinta emas, bahwa Syafi’i tumbuh menjadi pribadi luar biasa. Hafal Qur’an usia 9 tahun.
Mampu menghafal kitab al-Muwatha karya Imam Malik yang memuat 6000 hadis musnad (sanad bersambung sampai ke Nabi Saw), 222 hadis mursal (sanad sampai shahabat), 613 hadis mauquf (sanad sampai tabi’in), dan 285 makalah tabi’in dalam waktu 9 malam.
Mampu melemparkan tombak dari atas kuda 10 kali lemparan tidak ada yang meleset satu pun.
Mampu merumuskan istimbat sebanyak 1000 kesimpulan hukum dalam waktu 1 malam. Masyaallah.
Kalimat berbobot, membekas dan menyentuh hati, tidak bisa lahir hanya dari belajar retorika bahasa, public speaking, dan mendalami ilmu psikologi. Tapi yang utama adalah iman dalam hati. Bagi hamba-hamba Allah yang shalih, meskipun perkataannya sederhana, tapi bobotnya luar biasa.
Seperti nasihat guru-guru kita, sederhana tapi membekas dalam jiwa. []