Oleh: Rizky Akmalsyah
rizkyakmalsyah1440@gmail.com
KISAH tentang sedekah selalu menggugah. Aku adalah seorang operator pulsa di bilangan Ciputat. Seperti biasa, setiap hari ada saja yang membeli pulsa baik regular maupun quota. Tapi hari ini ada yang berbeda. Karena tetiba saja aku didatangi seorang bapak paruh baya, berjaket sederhana, dengan warna rambutnya yang juga sudah mulai memutih.
Memang kebutuhannya sama seperti yang lain; beli pulsa. Bedanya ialah bapak ini menceritakan kisah hidupnya yang menggugah. Dan ternyata ia sengaja membagi kisah ini padaku. Katanya biar aku juga ikut tertular seperti dirinya.
Bapak ini pun mulai bercerita. Pada tahun 1995, ia hanya seorang tukang kenek bangunan biasa. Di suatu kesempatan, ia bersama teman-temannya yang lain menonton acara ceramah di televisi nasional. Saat itu ceramah yang disampaikan mengenai sedekah.
BACA JUGA: Kenapa Sedekah Shubuh?
Di surat al-Baqarah ayat 261, sebagaimana yang dibacakan oleh sang penceramah.Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.”
Mendengar seruan itu seketika ia jadi sangat tertarik. Apalagi dengan janji Allah yang akan melipatgandakan rezeki pelakunya. Ia ajak teman-temannya untuk sama-sama bersedekah, setidaknya sehari seribu. Tapi kebanyakan dari teman-temannya tidak merespon. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk mencoba. Dengan keyakinan yang luar biasa, karena pada dasarnya ia juga suka tantangan.
Akhirnya ia jalani niat baik itu. Sehari Seribu. Terus setiap hari ia jalani tanpa putus; seribu. Sampai pernah ia berhutang kepada sahabat karibnya hanya untuk bersedekah. Karena saking ia tidak ingin melewatkan kesempatan tiada tara itu. Ia pikir, kalau mau mendapat ikan besar ya harus kasih umpan dulu.
Sekalipun yang ia terima malah sebaliknya; rasa kecewa, dongkol bahkan pahit, tetapi ia tetap berlapang dada dan menjalaninya dengan ikhlas. Ia yakin Allah tidak akan pernah mengecewakan hamba-hambaNya. Dan Maha Menepati Janji.
Pada tahun 2000, setelah menjalani masa-masa sulit dan masih dengan tekadnya bersedekah sehari seribu. Barulah kenikmatan penuh kenikmatan ia rasakan. Dari naiknya jabatan sebagai kepala mandor, hingga sekonyong-konyong ia ditawari konsumen milyudernya untuk menempati rumah tanpa bayar sedikitpun.
Padahal sebelumnya ia dan keluarga kecilnya pernah tinggal di bengkel milik adiknya. Dengan tempat seadanya, di mana bau oli sudah menjadi bau wajib nasional bagi hidupnya, bahkan ban-ban bekas berserakan di mana-mana sehingga menghalalkan nyamuk untuk hinggap di setiap kulit keluarganya. Kenang bapak itu kepadaku dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.
Akhirnya sejurus kemudian bapak tersebut menggaris bawahi sendiri apa yang sudah ia ceritakan kepadaku tentang pengalaman hidupnya dengan bersedekah. Yaitu rahasia terbesarnya bisa menaklukkan dunia dan kesuksesannya dalam setiap usaha yang dimilikinya. Ia bilang, yang pertama adalah senantiasa bersedekah secara kontinuitas, tanpa kenal lelah dan tanpa kenal bosan.
Dan yang kedua, tentunya harus yakin bahwa apa yang Allah janjikan pasti benar (ditepati). Lalu, dengan bahasa sederhananya ia mengutip beberapa firman Allah dalam al-Qur’an:
“Alif Lam Mim”
“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya;petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka.”
(Al-Baqarah: 1-3)
BACA JUGA: Amplop Titipan Ustad
Kalimat ‘menginfakkan sebagian rezeki’ ia pertegas, ia ulangi terus kepadaku selayaknya kata-kata pamungkas. Atau sebagaimana ajian sakti yang harus dipusakakan sang guru kepada murid terbaiknya. Aku hanya diam terpaku saat itu.
Sambil menyelami kata-katanya yang begitu menyelusup ke dalam pikiran dan hatiku. Aku merasa malu. Karena tidak sebaik bapak itu berkonsisten dengan amalan yang sudah jelas hasilnya.
Bapak itu pun berpesan kembali kepadaku, ‘Seharusnya orang muslim itu selain percaya dengan hal yang gaib dan melakukan kewajibannya dengan rutin sholat lima waktu, orang muslim juga enggak boleh pelit. Sebab pada hakikatnya umat Islam itu kaya raya, bila saja kita sebagai muslim benar-benar mengikuti sunnah Nabi Muhammad Shollahu ‘alaihi wassalam dan juga metode Tuhannya, Ar-Rohman dengan saling memberi.’
Aku cermati kata-kata bapak itu. Menelisik dari realitas yang ada, manusia di era millennium saat ini memang sangat bersifat masif. Lupa diri, mementingkan egonya sendiri ketimbang rasa empati. Yang ada di pikirannya hanya ada perutnya saja. Sehingga lupa dengan perut tetangganya, yang mungkin saja belum makan berhari-hari. Ketamakan jadi semakin merajalela.
Prinsip yang kuat, yang berkuasa, yang bertahta bisa bertahan dijadikan esensial kehidupan yang akut . Miris. Maka, alangkah baiknya jika pedoman yang dimiliki bapak itu dapat tertanam di setiap hati kaum muslim. Di mana hari-hari yang kita miliki diisi dengan semangat memberi, sekalipun nilainya tidak besar.
Bukankah amalan yang sedikit jika dilakukan secara kontinuitas (terus-menerus) lebih disenangi Allah ?Persis sebagaimana yang pernah disabdakan baginda besar kita, Nabi Muhammad Shollahu ‘alaihi wassalam:
“Amalan yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang terus-menerus meskipun sedikit.” (Hadits riwayat Bukhai-Muslim)
Bapak itu menghela napas panjang, lalu ia melanjutkan kisah hidupnya yang saat ini sudah berbalik tiga ratus enam puluh derajat penuh kenikmatan. Kebiasannya untuk bersedekah setiap hari tetap ia jalankan, malah ia tambah nominalnya. Ia salurkan juga ke rumah-rumah yatim dan dhuafa.
Keyakinannya semakin mantab. Segala ujian baik berupa harta atau apa pun dilaluinya dengan mudah. Seperti di awal masa-masa pademik yang lalu. Ketika semua orang merasa kesulitan dan serba kekurangan. Apalagi saat itu ia juga sedang ada project besar di luar kota yang mesti dihentikan. Sedangkan, di satu sisi ia pun tidak mau ingkar janji dengan dirinya maupun dengan Tuhan untuk tidak bersedekah.
Sekalipun saat itu dirinya bahkan dunia sedang merasa krisis berjamaah. Ia jadi teringat sebuah hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah dan Abdulloh bin Hubsyi Al Khots’mi bahwa Nabi Shollahu ‘alaihi Wassalam pernah ditanya sedekah mana yang paling afdal.Jawab Beliau, “ Sedekah dari orang yang serba kekurangan.” (Hadits Riwayat Nasa’i). Bapak itu jadi semakin termotivasi dengan hadits tersebut.
Selanjutnya, ia hubungi kolega terdekatnya. Ia pinjam puluhan juta dengan jaminan yang ada untuk bersedekah. Kemudian, Ia minta tolong kepada koleganya itu untuk salurkan uang tersebut ke tempat-tempat yang semestinya. Walhasil, dengan bekal keyakinannya kepada Sang Maha Rahim, project yang diperkirakan akan macet berkepanjangan,
BACA JUGA: Sedekah Perasaan
Allah bukakan kembali. Dan balasannya bukan hanya itu, hutang dengan koleganya yang puluhan juta terlunasi, kemudian penghasilannya enggak tanggung-tanggung malah lebih banyak daripada sebelumnya. Sehingga dengan penghasilan yang ia dapatkan bisa ia belikan rumah untuk ketiga anaknya. Masya Allah.
Dari kisah bapak tersebut, aku jadi banyak ambil pelajaran berharga. Khususnya tentang memberi. Jadi, apa yang kita niagakan, atau kita pulangkan (kembalikan) kepada Allah pasti hasilnya akan baik. Sekalipun memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena rumah juga enggak mungkin jadi dalam sehari.
Ada proses panjang, kesabaran, ketekunan, kontinuitas (terus-menerus) yang juga penuh ujian. Yang pada akhirnya kita sebagai manusia dapat menemukan titik esensi dari ke Maha Rohiman nya Allah . Ke Maha Besaran nya Allah . Disitu kita jadi semakin kecil. Enggak ada apa-apanya. Karena apa yang kita tidak miliki sudah ditanggung sepenuhnya oleh janji yang Dia tepati. Allahu’a’lam. []