MENELITI, mengoreksi, dan mengawasi gerak-gerik hati adalah perkara yang sangat penting. Karena hati merupakan sumber dan poros amal. Melalaikan urusan hati akan berakibat rusaknya amal. Oleh sebab itu, seorang mukmin harus senantiasa mengintrospeksi diri sebelum dan sesudah melakukan amal. Siapa tahu ada cacat dan penyakit yang tersembunyi di dalam amalnya, sementara dia tidak menyadarinya?
BACA JUGA: Introspeksi Diri untuk Menjemput Jodoh
al-Hasan rahimahullah berkata, “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti mencermati keinginan hatinya sebelum melakukan sesuatu. Apabila niatnya untuk Allah, maka dia akan teruskan. Namun apabila untuk selain-Nya, maka akan dia tunda -sampai niatnya benar.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 111)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, bahwa beliau pernah berpesan, “Hisablah diri kalian sebelum kelak kalian akan dihisab di hari kiamat. Timbanglah amal-amal kalian sebelum kelak amal kalian ditimbang. Karena hal itu akan lebih ringan di timbangan kalian esok -di akhirat- dengan kalian menghisab diri kalian pada hari ini di dunia. Dan hiasilah diri kalian -dengan takwa untuk menyambut hari persidangan yang besar, yang pada hari itu kalian akan disidang dan tiada satu perkara pun yang tersembunyi dari kalian.” (Lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 106)
Menyembuhkan hati yang kerapkali terbius oleh bujukan untuk berbuat maksiat dan dosa adalah dengan dua buah terapi ini. Yaitu dengan bermuhasabah/introspeksi diri dan menyelisihi keinginan hawa nafsu terhadap hal-hal yang diharamkan. Sesungguhnya hati akan menjadi binasa akibat kelalaian untuk mengintrospeksinya dan memperturutkan hawa nafsu. (Lihat al-Ighatsah, hal. 106)
Perkara yang akan membantu seorang hamba dalam mengintrospeksi dirinya adalah hendaknya dia memahami bahwa setiap kali dia bersungguh-sungguh dalam bermuhasabah di dunia ini, niscaya hisab yang akan dialaminya kelak di akhirat akan menjadi ringan. Sebagaimana pula apabila dia melalaikan muhasabah ini ketika di dunia, maka dia akan mengalami hisab yang lebih berat di akhirat. (al-Ighatsah, hal. 110)
Selain itu, muhasabah akan semakin terasa mudah baginya tatkala dia menyadari bahwa sesungguhnya laba dari ‘perdagangan’ ini adalah mendapatkan ‘kapling’ di surga Firdaus dan merasakan nikmatnya memandangi wajah Allah Ta’ala.
Adapun kerugian yang akan dirasakan olehnya ketika tidak menjalankan perdagangan ini dengan baik ialah masuk ke dalam neraka dan terhalangi dari memandang wajah Allah Ta’ala. Apabila perkara-perkara ini telah tertanam kuat di dalam hati, niscaya akan terasa ringan melakukan muhasabah ketika di dunia. (al-Ighatsah, hal. 110)
Dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amal, yaitu: (1) untuk siapa dan (2) bagaimana caranya.
Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Adapun pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang komitmen untuk mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya. Allah Ta’ala berfirman,
“Demi Rabbmu, sungguh Kami akan menanyai mereka semuanya tentang apa saja yang mereka amalkan.” (QS. al-Hijr: 92-93).
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Maka benar-benar Kami akan menanyai orang-orang yang rasul itu diutus kepada mereka dan Kami juga pasti akan menanyai para utusan itu. Maka akan Kami kisahkan kepada mereka dengan penuh pengetahuan dan tidaklah Kami tidak menyaksikan -apa yang telah mereka lakukan-.” (QS. al-A’raaf: 6-7) (Lihat al-Ighatsah, hal. 113).
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Supaya Allah menanyai orang-orang yang jujur itu mengenai kejujuran mereka.” (QS. al-Ahzab: 8).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kalau orang-orang yang jujur saja ditanyai dan dihisab mengenai kejujuran mereka, maka bagaimanakah lagi dengan para pendusta?”
Yang dimaksud dengan orang jujur dalam ayat itu adalah para rasul dan orang-orang yang menyampaikan ajaran rasul itu kepada kaumnya, apakah mereka telah menyampaikan dengan sebagaimana mestinya. Kemudian Allah juga akan menanyai masyarakat yang menjadi sasaran dakwah para rasul itu. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan pada hari itu Allah memanggil mereka dan berkata, ‘Apa yang sudah kalian penuhi dari ajakan para rasul itu?’” (QS. al-Qashash: 65)
Nikmat yang telah Allah curahkan kepada kita -yang jumlahnya sedemikian banyak dan kita tidak bisa menghingganya-, itu pun akan ditanyakan, apakah kita sudah mensyukurinya dengan baik di jalan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
“Kemudian kalian benar-benar akan ditanyai mengenai nikmat yang telah diberikan itu.” (QS. at-Takatsur: 8)
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah meriwayatkan bahwa Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap hamba tentang nikmat dan kewajiban dari-Nya yang dititipkan kepada dirinya.” (Lihat al-Ighatsah, hal. 114).
Pendengaran, penglihatan, dan hati itu pun akan dimintai pertanggungjawabannya dari kita. Laporan pertanggungjawaban manakah yang lebih berat daripada laporan mengenai urusan pendengaran, penglihatan, dan gerak-gerik hati?
Laporan manakah yang lebih berat daripada laporan yang ditujukan kepada Rabb semesta alam Yang di tangan-Nya segala urusan Yang menguasai pada hari pembalasan Yang tidak tersembunyi darinya satu perkara pun?
Betapa malangnya nasib kita jika dosa-dosa kita tidak diampuni oleh-Nya. Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36)
Apabila demikian kenyataannya, lalu sekarang apa yang membuat kita enggan bermuhasabah? Muhasabah adalah sebuah kewajiban.
Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah dipersiapkan olehnya untuk hari esok/negeri akhirat.” (QS. al-Hasyr: 18)
Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa semestinya setiap kita melihat amal apa yang telah disiapkan olehnya untuk menghadapi hari kiamat kelak, apakah amal salih yang menyelamatkan dirinya ataukah justru keburukan/dosa-dosa yang akan mencelakakan dirinya.
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah meriwayatkan, bahwa Qatadah rahimahullah berkata, “Rabb kalian senantiasa mengesankan dekatnya hari kiamat sampai-sampai Allah menjadikannya seperti seolah-olah ia akan terjadi besok.”
Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa baiknya hati akan terwujud dengan senantiasa mengintrospeksi diri, dan rusaknya hati akan terjadi tatkala kita lalai untuk mengawasi gerak-geriknya dan membiarkannya berjalan begitu saja mengikuti keinginan-keinginannya. (Lihat al-Ighatsah, hal. 114)
Maka sekarang, kita bisa bertanya kepada diri kita, apakah kita sudah bermuhasabah mengenai kewajiban-kewajiban kita -karena amal yang wajib itu adalah amal yang paling utama-? Dan apabila ternyata muhasabah itu pun termasuk perkara yang wajib dilakukan, maka pertanyaan berikutnya, sudahkah kita bermuhasabah mengenai muhasabah diri kita?
Sudahkah kita bermuhasabah? Jangan sampai kita menjadi seperti orang yang disindir dalam sebuah ungkapan, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.” Coba, bandingkan diri kita dengan para salafus shalih, betapa jauhnya antara sikap kita dengan sikap mereka?
BACA JUGA: Usai Bulan Suci, Mari Introspeksi
Ibnu Abid Dunya meriwayatkan, bahwa Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Apabila diceritakan tentang orang-orang salih, maka aku merasa bukan termasuk golongan mereka.” Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata ketika berdoa di Arafah, “Ya Allah, janganlah Engkau tolak doa orang-orang gara-gara diriku.” (Lihat al-Ighatsah, hal. 115)
SUMBER: MUSLIM