Oleh: Wafa Raihany Salam
STEI SEBI Depok
wafaraihanys@gmail.com
NABI bersabda “Allah telah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Ia telah menciptakan obat bagi semua penyakit, jadi berobatlah tapi jangan berobat dengan sesuai yang haram.” (HR. Abu Dawud dan Thabrani).
Ibnu Mas’ud berkata mengenai alkohol “Sesungguhnya Allah tidak menggantungkan kesembuhanmu pada sesuatu yang diharamkan kepadamu.” (HR.Bukhari)
Diriwayatkan dari wa’il Al-Hadrani bahwa Tariq bin Suwaid Al-Ju’fi bertanya kepada Nabi tentang alkohol, beliau melarang membuatnya dan membencinya. Ia berkata “kami hanya menggunakannya sebagai obat, Nabi bersabda, “Ia bukanlah obat, melainkan penyakit” (HR. Muslim). Ibnu Atsir berkata, “Minuman keras disebut penyakit karena meminumnya terhitung sebagai dosa.”
BACA JUGA: 3 Syarat Dibolehkannya Pengobatan Ruqyah
Ibnu Katsir berkata bahwa pengobatan yang buruk bisa jadi karena dua hal yaitu:
Pertama karena ketidaksucian (najasah) yang jelas haram.
Sseperti arak, daging bangkai, kotoran, air kencing binatang, manusia, dan lainnya). Semua benda ini najis dan mengonsumsinya haram (termasuk untuk pengobatan), kecuali yang disebutkan oleh hadis yaitu air kencing unta.
Kedua karena rasanya.
Hal tersebut dianggap buruk karena semua orang umumnya tidak menyukainya.
Ibnu Qayyim berkata bahwa hal yang diharamkan pada umat ini dikarenakan sifat buruk benda haram, sehingga tidak tepat menjadikannya sebagai sebab kesembuhan menghilangkan sakit, tapi benda tersebut bisa saja menyebabkan masalah pada akidah yang efeknya jauh lebih buruk dan mengakar.
Faktanya, semua orang berakal meyakini bahwa ketika Allah melarang sesuatu pada umat-Nya, ilmu kedokteran membuktikan bahayanya dan menyebabkan tubuh jauh dari manfaat. Juga untuk hal pengobatan adanya.
Obat yang baik adalah yang mengobati penyakit dan hanya memiliki sedikit atau tidak sama sekali efek samping.
Allah berfirman dalam QS.Al-Baqarah ayat 173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah ayar 173)
Ayat tersebut menunjukan bahwa Allah mengecualikan keadaan darurat dari pengharaman ini, keadaan darurat ini tanpa batas, syarat atau sifat. Pengecualian ini berlaku ketika ada sesuatu kebutuhan, baik dalam keadaan lapas yang sangat atau pengobatan medis ketika seseorang menderita penyakit tertentu, sebagai pengobatan tentunya.
Para ulama mendefinisikan “darurat” sebagai situasi mendesak ketika seseorang dala, kondisi yang tidak menguntungkan sehingga memaksanya melakukan perbuatan haram demi menyelamatkan dirinya dari kematian atau kerusakan anggota badan.
Namun sebelumnyaa sudah diperhitungkan manfaat yang diterima leih besar daripada dampak buruk yang diterimanya. Imam Hanafi dan Syafii setuju dibolehkannya menggunakan pengobatan haram dalam kasus darurat, kecuali miras.
Berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 196.
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS.Al-Baqarah ayat 196)
Namun mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa tidak diperbolehkan menggunakan benda haram untuk pengobatan. Berdasarkan hadis Nabi yang artinya di bawah ini:
Mereka tidak menghiraukan konteks khusus dari riwayat di atas karena riwayat di atas merespon dari sebuah pertanyaan spesifik tentang penggunaan alcohol untuk medis, sebagaimana yang dipahami mazhab Hambali dan Maliki.
BACA JUGA: Manfaat Pengobatan Thibbun Nabawi
Ada tiga syarat diperbolehkannya obat yang mengandung alkohol untuk dikonsumsi yaitu,
Pertama, pasien sudah benar-benar membutuhkan obat ini karena tidak ada lagi obat halal yang mempunyai manfaat serupa dengan alkohol,
https://www.youtube.com/watch?v=9SfhXaz8T8o
Kedua, dosis obat tidak boleh menyebabkan gejala memabukkan sedikitpun,
Dan ketiga, obat tersebut dalam dosis tinggi juga tidak boleh menyebabkan mabuk karena menambah dosis akan menimbulkan kerusakan zat lain yang kemudian menimbulkan efek mabuk.
Berdasarkan hadis di atas kita mengacu kepada pendapat mazhab Syafii bahwa tidak boleh menggunakan alkohol murni untuk pengobatan. []