KISAH belajar dari kisah seorang buruh yang mengadu kepada Imam Syafi’i tentang kemalangan keluarganya, ketika upah kerja yang ia terima tak sanggup membahagiakan istri dan anaknya di rumah. Suatu ketika, “Wahai imam, sesungguhnya aku tengah ditimpa kemalangan, tolonglah aku!”
Imam Syafi’i kemudian bertanya, “Ada apa gerangan dengan engkau?”
Kemudian berceritalah si buruh itu kepada Imam Syafi’i tentang kemalangan yang tengah dideritanya, “Ya Imam, aku bekerja, gajiku besar: 5 dirham per hari, tapi keluargaku tak bahagia; kami pas-pasan; istriku tidak menghormatiku, anakku bandel tidak alang kepalang. Apa yang mesti aku lakukan?”
BACA JUGA: Sejak Kecil, Imam Syafi’i Belajar Ilmu Agama dengan Semangat Membara
“Besok temui bosmu, minta kurangi upahmu menjadi 4 dirham saja,” nasihat Imam Syafi’i.
Dengan kepala yang kebingungan, lisan dan hatinya mempercayai perkataan Imam Syafi’i. ‘Ini Sang Imam. Ia orang benar. Aku percaya’ gumamnya dalam hati. “Baiklah.” ucapnya.
Selang beberapa hari berlalu, si buruh ini kembali menemui Imam Syafi’i, meminta petuahnya untuk masalah yang masih sama.
“Ya Imam, seperti nasihatmu, aku menghadap bosku. Sekarang upahku 4 dirham saja, tetapi keluargaku tetap tidak bahagia; keadaan kami masihlah sama; Istri dan anakku masihlah seperti sebelumnya. Apa yang harus aku lakukan lagi, wahai Imam?”
“Temui lagi bosmu, minta ia untuk kurangi lagi upahmu jadi 3 dirham saja.”
Mungkin saja terbesit dalam pikiran si buruh, ‘Makin aneh aja ini nasihat. Tapi ia orang benar. Aku percaya.’, tetapi kemudian ia berkata, “Baiklah, aku akan meminta bosku untuk mengurangi upahku jadi 3 dirham.”
Beberapa waktu kemudian, si buruh kembali menghadap kepada Imam Syafi’i dengan wajah yang berbeda, “Ya Imam, Ma Syaa Allah, Tabarakarrahmaan, upahku sekarang cuma 3 dirham, tapi rasanya semua cukup, bahkan berlimpah. Upahku cuma 3 dirham, tapi sekarang tiap aku pulang sambutan istriku begitu aduhai… manis sekali, lembut, mesra; begitu luar biasa. Upahku cuma 3 dirham, Ya Imam, tapi anakku sekarang itu patuh-patuh, sholeh-sholeh, rajin-rajin ibadahnya; keluarga kami dilimpahi keberkahan; keluarga kami seperti dimudakan beberapa tahun, berbeda sekali ketika upahku 5 dirham. Apa sebenarnya yang terjadi?”
Imam Syafi’i kemudian membacakan sebuah syair yang indah sekali,
“Dia mengumpulkan yang haram
untuk masuk kepada yang halal
dia kira supaya menjadi banyak
padahal merusak…”
“Lantas sebenarnya apa pekerjaanmu?” lanjut Imam Syafi’i bertanya.
BACA JUGA: Guru Imam Bukhari dan Muslim adalah Murid Imam Syafi’i
“Aku bekerja menjaga gudang saja. Pekerjaan yang santai-santai. Gak terlalu capek,” jawab si buruh itu.
“Pantas,” balas Imam Syafi’i, “pekerjaanmu itu nilainya 3 dirham saja. Maka ketika engkau menerima 5 dirham, 2 dirham sisanya itu bukan hakmu; 2 dirham itulah yang merusak keberkahanmu.”
https://www.youtube.com/watch?v=w9NHXdd25ao
Apa yang dapat kita ambil pelajaran, adalah bahwa rezeki bukanlah sekumpulan angka-angka; rezeki adalah pintu masuk keberkahan yang dicurahkan pada hati-hati yang terlatih untuk berbahagia dengan penerimaan sepenuh tulus akan sebuah ketetapan, bukan pada yang menginginkan lebih, sedang apa yang dilakukan tak sepadan. []
KATA BIJAK IMAM SYAFI’I
Kafaa bialilm fadilat ‘ana yudaeiyah min lays fiha, wayafrah ‘iidha nisab ‘iilayh
“Cukuplah ilmu menjadi sebuah keutamaan saat orang yang tak memiliki mengaku-ngaku memilikinya dan merasa senang jika dipanggil dengan gelar ilmuwan.”
Wakafaa bialjahl shina ‘an yatabaraa minh man hu fih, wayughdib ‘iidha nisab ‘iilayh
“Cukuplah kebodohan menjadi aib saat orang yang bodoh merasa terbebas darinya dan marah jika digelari dengannya.”
“Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan”
“Ilmu itu seperti air. Jika ia tidak bergerak, maka ia akan menjadi keruh lalu membusuk”
“Aku mampu berhujah dengan 10 orang berilmu, tapi aku akan kalah pada satu orang yang jahil (bodoh) karena ia tidak tahu akan landasan ilmu.”
“Andaikan aku ditakdirkan mampu menyuapkan ilmu kepadamu, pasti kusuapi engkau dengan ilmu.”
“Besarnya rasa takut itu sesuai dengan kapasitas ilmunya.”
BACA JUGA: 3 Amal yang Paling Berat menurut Imam Syafi’i
“Betapa aku senang, jika semua ilmu yang aku ketahui dimengerti oleh semua orang. Maka dengannya aku mendapat pahala, meskipun mereka tidak memujiku.”
“Ilmu itu bukan yang dihafal, tetapi yang memberi manfaat.”
“Orang yang pandai akan bertanya tentang apa yang ia ketahui dan tidak ia ketahui. Dengan menanyakan apa yang ia ketahui, maka ia akan semakin mantap, dan dengan menanyakan apa yang belum ia ketahui, maka ia akan menjadi tahu. Sementara orang bodoh itu meluapkan kemarahannya karena sulitnya ia belajar, dan ia tidak menyukai pelajaran.”