MAU mengaku atau tidak, jika mendengar kata ghibah atau gksip, tentu dalam hati semua orang akan mengiyakan jika kegiatan tersebut sangat lekat dengan image wanita. Wanita dan ghibah merupakan dua hal yang sulit untuk dipisahkan karena kenyataannya memang kaum wanita lah yang paling sering melakukan kebiasaan ini dibanding pria.
Maka dari itu gak jarang jika kebiasaan minus ini sewaktu-waktu bisa memicu pertengkaran antar kedua belah pihak atau antar kelompok karena masing-masing merasa tidak terima jika dirinya yang dijadikan bahan gosip. Meski memang wanita (gak semua) gemar menggosipkan sesamanya, namun mereka akan sangat tidak terima dan tersinggung jika sewaktu-waktu giliran dirinya yang dijadikan bahan ghibah.
BACA JUGA: Ukhti Jaman Now: Syar’i, tapi Kok Hobi Ghibah?
Sebuah penelitian terbaru dari Tania Reynolds, membuktikan bahwa kaum wanita mempunyai kecenderungan untuk menggosipkan wanita lainnya untuk membuat diri sendiri terlihat lebih baik. Ide ghibah seringkali digagas oleh para wanita lalu menyebarkan desas-desus tentang wanita lain dengan maksud untuk mencari kepuasan diri sendiri.
Memang kebiasaan gemar mengghibah secara tidak langsung telah menunjukan jika si pelaku ghibah seolah terlihat lebih baik dari orang yang mereka ghibahkan saat itu. Alih-alih mencari apa yang salah dan kurang pada diri orang lain, secara tak sadar dirinya sedang menunjukan kualitas diri yang rendah, karena telah memberi asumsi pribadi dengan menuruti nafsu emosionalnya, tanpa dirinya tahu persis apa yang sedang dijalani dan dirasakan oleh orang yang sedang dighibahkan.
Ghibah sejatinya bisa timbul dari rasa iri, dengki dan benci karena pada dasarnya wanita lebih rentan diliputi rasa iri dan kurang suka bila dirinya merasa tersaingi. Gak jarang, ketika ada teman mereka yang baru saja merayakan kebahagiaannya, dihati terdalam kebanyakan wanita (gak semua) tentu ada perasaan iri dan gak rela, meski hanya secuil. Gak jarang akhirnya mereka melontarkan perasaan ketidak sukaannya dengan cara ghibah dengan orang lain.
Menurut penilitian, wanita tiga kali lebih banyak bicara dibanding pria, jadi wajar saja jika wanita mendapat gelar sebagai makhluk yang gemar bicara alias ‘cerewet’. Berbeda dengan pria, dimana ghibah jarang terjadi karena mereka punya karakter kompetitif yang lebih terbuka, fisik, jelas dan konfrontatif. Sedangkan wanita sejak awal memang adalah agen yang aktif bersaing pada sesamanya.
Cara wanita memulai suatu obrolan bisa berawal dari sekedar basa-basi dengan menanyakan hal-hal receh namun seterusnya bisa merembet pada topik yang lebih seru lagi, yaitu mencakup kehidupan seseorang. Karena bagi mereka para pelaku dan penikmat ghibah cara ini bisa membuat suasana obrolan terasa hidup sehingga mereka betah berlama-lama menghabiskan waktu untuk itu.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12).
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menyamakan orang yang mengghibah saudaranya seperti memakan bangkai saudaranya tersebut. Apa rahasia dari penyamaan ini?
Imam Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “Ini adalah permisalan yang amat mengagumkan, diantara rahasianya adalah:
Pertama, karena ghibah mengoyak kehormatan orang lain, layaknya seorang yang memakan daging, daging tersebut akan terkoyak dari kulitnya. Mengoyak kehormatan atau harga diri, tentu lebih buruk keadaannya.
Kedua, Allah ta’ala menjadikan “bangkai daging saudaranya” sebagai permisalan, bukan daging hewan. Hal ini untuk menerangkan bahwa ghibah itu amatlah dibenci.
Ketiga, Allah ta’ala menyebut orang yang dighibahi tersebut sebagai mayit. Karena orang yang sudah mati, dia tidak kuasa untuk membela diri. Seperti itu juga orang yang sedang dighibahi, dia tidak berdaya untuk membela kehormatan dirinya.
BACA JUGA: Ghibah, Penyakit Hati
Keempat, Allah menyebutkan ghibah dengan permisalan yang amat buruk, agar hamba-hambaNya menjauhi dan merasa jijik dengan perbuatan tercela tersebut” (Lihat: Tafsir Al-Qurtubi16/335), lihat juga: I’laamul Muwaqqi’iin 1/170).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan, “Ayat di atas menerangkan sebuah ancaman yang keras dari perbuatan ghibah. Dan bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Karena Allah menyamakannya dengan memakan daging mayit, dan hal tersebut termasuk dosa besar. ” (Tafsir As-Sa’di, hal. 745). []