BEBERAPA hari belakangan ini, istri saya terus-terus mendiskusikan hal yang sama. “Bagaimana caranya keluar dari grup WA?”
“Lakukan dengan baik-baik. Jangan leave begitu saja. Jaga etika…”
“Takutnya sih mereka malah tersinggung. Aku nanti dikira sombong.”
BACA JUGA:Â 7 Masalah Pernikahan Itu ..
“Jelaskan saja apa adanya. Kita menggunakan WA hanya seperlunya saja. Satu lagi, WA kita lebih banyak terhubung untuk pekerjaan.”
Dua hari lalu, saya dan karib yang usianya terpaut 12 tahun lebih tua, juga membicarakan hal yang sama.
“Saya tidak bisa leave grup WA. Paling hanya clear chat dan hanya sesekali saja baca kalau lagi ada waktu.”
“Ya. Saya memlih left dari sebagian grup di masa lalu. Saya harus berani ambil risiko itu karena pekerjaan saya semuanya sekarang terhubung ke medsos. Dan juga WA. Kalau memamg ada informasi penting atau keperluan dengan saya, saya persilakan untuk hubungi secara pribadi.”
“Dan?”
“Saya merasa jadi common enemy. Tapi itu tidak mengapa buat saya. WA buat saya terlalu liar. Saya pikir, dua atau tiga tahun ke depan, saya hanya akan lebih memilih HP dengan SMS dan telefon saja.”
Tadi malam, istri saya menghampiri saya. “Aku sudah left grup. Izin baik-baik pada adminnya yang sudah berbaik hati memasukkan aku ke grup itu.”
https://www.youtube.com/watch?v=C0zisQPIHE4
“Alhamdulillah. That’s good. I don’t have so many appealing options as you do.”
BACA JUGA:Â Riba
Istriku tersenyum. “Tahukah kau, aku punya seseorang yang senantiasa mendengarkanku, aku bisa mendiskusikan apapun mulai soal ibu Elly Risman, Marquez Rossi, ILC, drama korea, dan apapun itu. Aku sudah merasa sangat cukup dengan itu tanpa harus terhubung di media sosial sekarang ini…”
Saya memandangi dia. Tersenyum. Saya mematikan laptop dab lampu. Pagi ini saya ada acara di tempat kerja pagi-pagi sekali. []