RUKUN jual beli dalam Islam ada tiga. Pertama, adanya pihak penjual dan pembeli. Kedua adanya uang dan benda. Ketiga adanya lafal. Dalam suatu perbuatan jual beli, ketiga rukun itu hendaklah dipenuhi, sebab apabila salah satu rukun tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli.
Mengutip Hukum Ekonomi Islam karya Suhrawandi dan Farid, jual beli dalam Islam haruslah memenuhi syarat, baik tentang subjeknya, tentang objeknya, dan tentang lafal.
Subjeknya
Kedua belah pihak yang melakukan jual beli dalam Islam haruslah:
Pertama, berakal agar dia tidak terkicuh. Orang gila atau bodoh tidak sah dalam melakukan jual beli.
Kedua, dengan kehendaknya sendiri (tidak dipaksa).
“Hai orang –orang yang berimana, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan perniagaan (jual beli,pen) yang berlaku dengan keadaan suka sama suka diantara kamu …” (QS. An-Nisa ayat 29)
Ketiga, keduanya tidak mubazir. Pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli bukanlah manusia yang boros.
Keempat, baligh.
BACA JUGA: Jujur, Salah Satu Kunci Jual Beli yang Diajarkan Rasul
Tentang Objeknya
Yang dimaksud dengan objek jual beli dalam Islam adalah benda yang menjadi sebab terjadinya jual beli. Benda yang dijadikan sebagai objek jual beli haruslah memebuhi syarat-syarat berikut:
Pertama, bersih barangnya. Ialah barang yang diperjualbelikan bukanlah benda yang dikualifikasi sebagai benda najis, atau digolongkan sebagai benda yang diharamkan.
Hal itu didasarkan pada ketentuan: Dari Jabin Bin Abdullah, berkata Rasulullah SAW: ….. “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak (minuman yang memabukkan) dan bangkai, begitu juga babi dan berhala …” (Sepakat ahli hadis)
Kedua, dapat dimanfaatkan. Kemanfatan barang tersebut sesuai dengan hukum dan syariat Islam. Maksudnya memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan norma agama.
Ketiga, milik orang yang melakukan akad. Maksudnya bahwa orang yang melakukan perjanijian jual beli atas sesuatu barang adalah pemilik sah barang tersebut dan telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersbut.
Keempat, mampu menyerahkan. Maksunya penjual (sebagai pemilik maupun sebagai kuasa) dapat menyerahkan barang yang dijadikannya sebagai objek jual beli sesuai dengan bentuk dan jumlah yang dieprjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pembeli.
Kelima, mengetahui. Maksudnya melihat sendiri keadaan barang, baik mengenai takaran, timbangan dan kualitasnya.
Keenam, barang yang diakadkan di tangan. Menyangkut perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang belum ditangan (tidak berada dalam penguasaan penjual).
Risiko
Ialah suatu peristiwa yang mengakbatkan barang tersebut (yang dijadikan sebagai objek perjanjian jual beli dalam Islam) mengalami kerusakan. Peristiwa ini tidak dikehendaki oleh kedua belah pihak. Berarti terjadinya suatu keadaan yang memaksa di luar jangkauan para pihak.
Aktivitas jual beli dalam Islam tidak hanya soal rugi atau untung. Ada banyak faidah atau hikmah yang bisa didapatkan oleh para pelaku jual beli dalam Islam. Berikut beberapa hikmah jual beli dalam Islam:
1 Mencari dan Mendapatkan Karunia Allah
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumuah : 9-10).
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia harus mencari karunia Allah di muka bumi. Hal ini tentu saja bagian dari kebutuhan hidup manusia dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Untuk itu, jual beli adalah salah satu alat atau proses agar manusia
2 Menegakkan Keadilan dan Keseimbangan dalam Ekonomi
Proses jual beli dalam Islam harus dilakukan dengan cara ridha atau suka sama suka antara pembeli dan penjual. Jika ada proses jual beli yang membuat salah satu terdzalimi atau merasa tidak adil, maka perniagaan itu tidak akan terjadi, atau jikalaupun terjadi maka yang rugi juga akan kembali pada pihak tersebut.
Misalnya orang yang menipu pembeli, maka pembeli yang merasa tidak adil akan tidak akan kembali kepada penjual tersebut. Jual beli dalam Islam yang syar’i akan meningkatkan keadilan dan keseimbangan ekonomi karena ada aturan bahwa barang dan harga yang dijual harus sama dan menguntungkan satu sama lain.
3 Menjaga Kehalalan Rezeki
Dengan melakukan jual beli maka kita bisa menjaga kehalalan rezeki. Tentu saja jual beli di sini adalah jual beli dalam Islam yang jauh dari perbuatan penipuan atau pelanggaran dalam proses transaksinya.
Karena bagi seorang muslim, tidak halal menjual barang dagangan yang memiliki cacat, melainkan ia harus menjelaskan kecacatan barang tersebut. Kejujuran dalam jual beli dalam Islam berpengaruh dalam menjaga kehalalan rezeki.
BACA JUGA: Hukum Jual Beli dengan Sistem Uang Hangus
4 Produktifitas dan Perputaran Ekonomi
Jual beli dalam Islam berpengaruh pada produktifitas dan perputaran roda ekonomi di masyarakat. Ekonomi akan berjalan secara dinamis dan tidak dikuasai oleh satu orang saja yang mengkonsumsi barang atau jasa. Untuk itu proses jual beli yang dilakukan dengan adil dan seimbang akan membuat keberkahan rezeki bagi masyarakat.
5 Memperluas Tali Silahturahmi
Hikmah jual beli juga dapat mengeratkan dan memperluas silahturahmi. Berbagai kebutuhan akan kita beli di orang yang berbeda, untuk itu setiap transaksi jual beli kita akan mendapatkan orang-orang yang berbeda di setiap harinya. Dengan luasnya silahturahmi, tentunya dapat menambahkan keberkahan harta dan rezeki kita.
Itulah lima hikmah yang bisa kita dapatkan dari aktivitas jual beli yang halal. Harus selalu kita ingat bahwa menjadi pedagang adalah pekerjaan yang mulia. Karena pedagang yang jujur akan dikumpulkan bersama para Nabi di surga kelak.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti).” HR Ibnu Majah (no. 2139) at-Tirmidzi (no. 1209). Wallahu a’lam. []