BEKERJA atau mencari nafkah pada dasarnya adalah tugas seorang suami selakum pemimpin dalam rumah tangga. Namun kini, seorang istri juga banyak yang merangkap menjadi pekerja atau wanita karier. Lalu bagaimana hukum istri bekerja dalam Islam?
Sebenarnya tidak ada larangan bagi wanita untuk bekerja atau mencari nafkah, namun bukan berarti posisi suami sebagai pencari nafkah utama lantas tergantikan.
Imam ad-Dusuqi (W 1230 H) menyebutkan, “Perempuan itu tak wajib menenun baju, menjahitnya lantas menjualnya agar mendapatkan upah, sehingga uang hasilnya diberikan kepada suami untuk nafkahnya. Karena hal itu bukanlah bentuk khidmat yang wajib bagi perempuan, tapi itu termasuk bekerja. Padahal perempuan tak wajib bekerja. Kecuali jika perempuan itu melakukannya dengan sukarela.” (Muhammad bin Ahmad ad-Dasuqi al-Maliki (w. 1230 H), Hasyiyah ad-Dasuqi, (Baerut: Dar al-Fikr, 1414 H), juz 2, hal. 511.
BACA JUGA: 8 Ikatan Suami Istri
Dalam buku Hukum Fiqih Seputar Nafkah bab Nafkah Perempuan Bekerja, yang ditulis Maharati Marfuah Lc, dijelaskan, terdapat beberapa perbedaan pendapat dari kalangan ulama terkait posisi istri yang merangkap sebagai pencari nafkah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban seorang istri hanya sebatas rumah, namun sebagian lainnya berpendapat bahwa istri memiliki kebebasan untuk bekerja di luar rumah.
Dalam bukunya, Maharati juga menyebutkan 4 syarat diperbolehkannya seorang istri mencari nafkah.
1. Syarat istri bekerja dalam Islam yang pertama adalah pekerjaan yang dilakukan memang memerlukan tenaga perempuan, seperti suster bagi pasien perempuan, pekerja salon khusus wanita dan lainnya.
2. Syarat istri bekerja dalam Islam yang kedua adalah suami tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga mengharuskan istri untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan rumah tangga.
3. Syarat istri bekerja dalam Islam yang ketiga adalah pekerjaan yang dilakukan sang istri, tidak menggugurkan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga.
4. Syarat istri bekerja dalam Islam yang keempat dan yang paling penting adalah istri telah mendapat izin dari suami untuk bekerja.
Dari syarat nomor empat di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya para istri yang diberikan ijin suami bekerja tetap dalam tuntunan syariat ketika bekerja:
1. Dengan bekerja maka istri tetap tidak boleh melalaikan kewajibannya kepada suami. Yaitu menyenangkan hati suami dan mendidik anak-anaknya. Kalau sampai karena bekerja kemudian istri melalaikan kewajibannya maka itu sama artinya “memburu yang kecil tetapi kehilangan yang besar”. Jika hal ini terpenuhi, maka tidak ada salahnya istri bekerja dalam Islam.
2. Pekerjaan yang dilakukan istri tidak boleh bertentangan dengan hukum Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Contohnya tempat kerja istri tidak membolehkan pekerja wanita memakai jilbab, sehingga istri tidak menutup auratnya di tempat kerja. Atau pekerjaan istri tersebut adalah pekerjaan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul Nya, seperti bekerja di tempat yang menghalalkan khamer dan riba’.
Jika syarat istri bekerja dalam Islam ini tidak bisa dipenuhi, maka sebaiknya jangan memaksakan untuk dilakukan.
3. Istri harus tetap tunduk kepada perintah suami apabila diperintahkan untuk melakukan kebaikan. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, seperti telah Allah firmankan dalam al-Quran.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisaa’ : 34).
BACA JUGA: Pintu Rezeki Suami Istri
Jika karena istri bekerja dan berpenghasilan setara atau lebih besar dari penghasilan suami, kemudian tidak tunduk dan tawaddu’ kepada suaminya. Maka Allah Swt., dan Malaikat Nya akan melaknat istri yang demikian.
Banyak sekali kasus yang seperti ini telah terjadi, bahkan kalau suami sudah mengatakan “Kamu berhenti bekerja dan lakukan kewajiban sebagai istri di rumah, biar saya yang bertanggung jawab mencari nafkah”. Maka tidak ada alasan apapun yang dibenarkan oleh agama bagi istri, untuk menolaknya saat itu juga istri harus “Sami’naa wa atha’naa,” aku dengar dan aku patuh.
4. Apabila istri dalam melakukan pekerjaan tersebut kemudian ada tuntutan safar /bepergian dan menginap. Maka istri harus dan wajib ditemani oleh mahramnya, walaupun suami mengijinkannya. Ini adalah perkara yang banyak sekali dilanggar, “Laki-laki tidak boleh berduaan dengan wanita yang bukan mahramya dan Istri tidak boleh bepergian tanpa mahram.” Begitulah sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam.
Masih banyak lagi sebenarnya yang bisa dikaji dalam persoalan ini namun hal diatas adalah yang utama. Mudah-mudahan ulasan ini bisa sedikit memberikan pandangan lain soal pembahasan istri bekerja dalam Islam. []
https://www.youtube.com/watch?v=aPKCIt3v3bQ