ADA seseorang yang melakukan amal shalih, dia bersemangat untuk menyembunyikannya dari manusia karena takut terjatuh dalam riya. Akan tetapi, dia dapati bahwa dirinya menjadi gembira dan senang ketika ada orang lain yang mengetahui amalnya tanpa dia sengaja.
Apakah hal ini juga termasuk riya? Lalu, apakah meninggalkan amal shalih di hadapan manusia juga termasuk riya?
Yang selayaknya dilakukan oleh seorang mukmin adalah dia mengikhlaskan amalnya untuk Allah Ta’ala. Bahkan, hal ini merupakan perkara yang wajib.
BACA JUGA: Takutlah pada Ujub, Sebagaimana Kita Takut pada Riya
Dia tidak perlu memperhatikan lintasan pikiran yang muncul dalam hatinya bahwa dia melakukan karena riya. Hal ini karena jika dia terlalu memperhatikan lintasan pikiran itu, dia akan banyak meninggalkan amal (karena takut riya).
Seorang mukmin dan mukhlis (yang ikhlas dalam beramal) adalah mereka yang terkadang menampakkan amal dan terkadang menyembunyikan amal, sesuai dengan tuntutan maslahat. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menginfakkan harta mereka, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274)
Jadi, kebaikan itu terkadang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan terkadang dilakukan secara terang-terangan.
Maka lihatlah manakah yang lebih afdhal (lebih utama), kemudian kerjakanlah. Berhentilah dari riya dan jauhilah riya. Dan janganlah engkau membiasakan jiwamu selamanya untuk senang dilihat orang dan atau keinginan mendapatkan harta mereka karena amal yang engkau lakukan.
Adapun berkaitan dengan kegembiraan setelah melakukan suatu ibadah dan kamu telah melakukan ibadah tersebut murni karena Allah Ta’ala, maka perkara ini tidaklah menjadi masalah. Bahkan, hal ini bisa jadi merupakan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana yang Allah Ta’ala beritakan,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat.” (QS. Yunus: 62-64)
Maka bedakanlah antara: (1) orang yang melakukan suatu amal agar amal tersebut dilihat orang dan mendapatkan pujian dari mereka; dengan (2) orang yang melakukan suatu amal karena Allah Ta’ala, akan tetapi dia gembira ketika manusia melihatnya (tanpa adanya kesengajaan dari pelaku amal). Hal ini karena dia bergembira karena nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya, dan ini tidaklah membahayakan sedikit pun.
Adapun seseorang terkadang meninggalkan suatu amal karena takut terhadap riya, maka hal ini juga merupakan waswas yang setan masukkan ke dalam hati manusia. Maka tetap lakukanlah suatu ibadah, meskipun terlintas dalam dirimu bahwa kamu melakukannya karena riya. Ucapkanlah,
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”
Kemudian mintalah pertolongan kepada Allah Ta’ala dan kerjakanlah ibadah tersebut.
Di antara tanda ikhlas adalah menggap sama antara pujian dan celaan. Dengan adanya pujian tidak menjadikan dirinya bangga dan adanya celaan pun tidak menyurutkan semangatnya untuk beramal. Tanda ikhlas seperti inilah yang dituntut saat beramal dan berdakwah.
Perintah untuk ikhlas disebutkan dalam ayat,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Rasulullah SAW bersabda tentang bahaya riya (gila pujian) bahwasanya amalan pelaku riya tidaklah dipedulikan oleh Allah. Dalam hadits qudsi disebutkan,
“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985)
Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid mengatakan, “Tidak mungkin dalam hati seseorang menyatu antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak pada sanjungan manusia kecuali bagaikan air dan api.”
Seperti kita ketahui bahwa air dan api tidak mungkin saling bersatu, bahkan keduanya pasti akan saling membinasakan. Demikianlah ikhlas dan pujian, sama sekali tidak akan menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam amalan pertanda tidak ikhlas.
Ada yang menanyakan pada Yahya bin Mu’adz, “Kapan seorang hamba disebut berbuat ikhlas?”, Yahya menjawab “Jika keadaanya mirip dengan anak yang menyusui. Cobalah lihat anak tersebut dia tidak lagi peduli jika ada yang memuji atau mencelanya.”
BACA JUGA: Riya Seorang Muslim dan Munafik, Ini Perbedaannya
Muhammad bin Syadzan berkata, “Hati-hatilah ketamakan ingin mencari kedudukan mulia di sisi Allah Ta’ala, namun di sisi lain masih mencari pujian dari manusia.” Maksud beliau adalah ikhlas tidaklah bisa digabungkan dengan selalu mengharap pujian manusia dalam beramal.
Ada yang berkata pada Dzun Nuun Al Mishri rahimahullah, “Kapan seorang hamba bisa mengetahui dirinya itu ikhlas?”, Dzun Nuun menjawab, “Jika ia telah mencurahkan segala usahanya untuk melakukan ketaatan dan ia tidak gila pujian manusia.” []
SUMBER: MUSLIM