KITA akhirnya sadar, bahwa seorang yang tidak pakar dalam bidang tertentu tidak boleh berbicara dan dijadikan referensi di dalamnya. Apalagi dalam masalah yang menyangkut nyawa manusia. Mungkin dia punya titel akedemis di bidang lain.
Tapi, sekedar titel tidak cukup untuk itu. Yang dibutuhkan adalah pengalaman dan “kepakaran”. Contohnya dalam kasus virus Covid-19.
Ikut nimbrungnya orang-orang yang tidak punya kapasitas (sok alim) dalam masalah ini, menjadi salah satu faktor pemicu kegaduhan yang ada. Dampaknya, masyarakat awam semakin bingung mana yang harus diikuti. Belum lagi dampak-dampak negatif yang lainnya.
BACA JUGA: Pengertian Taqlid dan Ta’ashub
Akhirnya (baik sadar atau tidak sadar) kita merasa aman dan tenang untuk “ber-taqlid” kepada mereka yang benar-benar pakar pervirusan. Mereka yang tidak hanya punya seabrek titel, tapi benar-benar diakui akan keilmuan dan kepakarannya oleh pihak atau lembaga yang kredibel.
Kita manut saja (dalam bahasa Jawa : pasrah bongkokan) dengan arahan mereka tanpa harus banyak protes atau bertanya “dalilnya mana” (karena kalaupun diterangkan dan disebutkan dalilnya, kita tidak akan paham).
Kita yakin, mereka benar-benar ahli dan amanah. Kita juga semakin mengerti bahwa taqlid itu tidak selamanya tercela, karena ada yang terpuji, bahkan dalam kondisi tertentu menjadi wajib.
Jika ini baru urusan dunia yang paling pahitnya menyangkut kematian jasad, lalu bagaimana dengan urusan agama yang menyangkut masa depan seseorang di akhirat kelak? Konsekwensi logisnya, seharusnya kita akan lebih hati-hati lagi dalam menentukan siapa yang akan kita ikuti.
Dengan analogi ini kita akan semakin tersadarkan, bahwa untuk urusan agama hendaknya kita ber-taqlid kepada para ulama yang kredibel. Ulama yang benar-benar punya kapistas dan kapabilitas di dalamnya, yaitu para ulama ahli ijtihad.
BACA JUGA: Wajibkah Bermadzhab?
Jangan sampai dibalik, justru kita latah membenarkan penuturan orang yang tidak dikenal akan keilmuan dan kepakarannya, hanya semata dia (misalnya) pandai beretorika, lalu menyalahkan orang-orang yang mengikuti ahlinya.
Ber-taqlid kepada para imam mujtahidin itu langkah yang paling tepat dan cerdas. So, kita harus bangga menjadi muqallid mereka. Ini benar-benar keren.
Kaidahnya: Orang yang tidak paham mengikuti yang paham (baca: ahli), jangan sudah tidak paham, mengikuti yang tidak/kurang paham pula. Ini Ibarat orang yang buta minta dituntun oleh orang buta yang lain. Semoga bermanfaat. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani