IDUL Adha sejatinya lebih “besar” daripada Idul Fitri. Ia bisa disebut hari raya besar. Hal itu bisa dilihat dari beberapa hal, di antaranya.
Pertama, hari raya yang disebut juga hari raya haji merupakan hari berkumpulnya umat Muslim sedunia di tanah suci sementara di tempat lain juga diadakan penyembelihan hewan kurban di seluruh dunia sebagai bentuk pendekatan kepada Allah.
Kedua, Hari raya penuh dengan syiar. Mulai dari takbirannya, takbir yang dikumandangkan pada Lebaran Syawal hanya berlangsung semalam. Sedangkan, takbir untuk Hari Raya ‘Haji’ ini dianjurkan selama empat hari, sejak waktu maghrib hari Arafah sampai hari raya 10 Dzulhijah, disambung tiga hari Tasyrik, yaitu 11, 12, dan 13 Dzulhijah.
Selain itu, ibadah haji sendiri juga penuh dengan syi’ar. Dalam Alquran, syiar-syiar Allah SWT itu selain tanda-tanda atau tempat bertaat kepada Allah SWT juga diartikan segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadah haji.
”Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS al-Hajj [22]: 32)
Abdullah Yusuf Ali menjelaskan bahwa sya’a-ir Allah merupakan simbol-simbol Allah SWT yang terdiri atas segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji, seperti tempat, yakni afa, Marwa, Ka’bah, Arfah dan sebagainya; manasik dan ibadah wajib; larangan-larangan, misalnya berburu dan waktu dan musim pelaksanaan kewajiban haji.
BACA JUGA: 6 Tips Idul Adha bagi Keluarga Muslim yang Merayakannya
Sehingga ibadah haji itu ibadah dasarnya ibadah yang sangat heboh dan viral. Bahkan, di Indonesia mau berangkat saja sudah diketahui orang banyak. Di negeri ini, bahkan sudah belasan bahkan puluhan tahun daftar tunggu. Sebelum berangkat perlu bolak balik manasik. Ada juga acara selamatan haji menjelang berangkat.
Terkait Syiar, Imam al-Razi mengingatkan, syiar tak hanya menunjuk pada amalan ibadah haji semata, tetapi semua ibadah, bahkan semua aktivitas yang menjadi simbol kepatuhan seseorang kepada Allah. A Ilyas Ismail (2010) menjelaskan kegiatan mengagungkan syiar Allah dipahami oleh para ulama dalam beberapa makna. (a) ihtifal. Bahwa aktivitas keagamaan yang bernilai syiar, perlu dilakukan secara terbuka, meriah, dan penuh antusiasme, tetapi tetap khidmat dan penuh makna.
(b) iltizam. Bahwa mengagungkan syiar itu merupakan kewajiban agama yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim sebagai bagian dari proses tadzkir, yaitu usaha untuk mengingatkan manusia pada keagungan Allah. (c), itmam. Bahwa syiar harus dilakukan sebaik dan sesempurna mungkin.
Ketiga, menggunakan istilah KH Musta’in Syafi’I, Idul Adha adalah hari pesta makan besar dengan adanya kurban.
Puncak ibadah dari hari pertama hingga hari ke sepuluh di bulan Dzulhijjah adalah qurban. Sebagaimana dalam hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anhu, Nabi bersabda yang artinya:“Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari raya kurban yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan kurban.” (HR. Tirmidzi).
Umat Islam yang memiliki kelebihan ekonomi diwajibkan menyumbangkan hewan kurban yang akan disalurkan untuk kaum miskin. Idul Adha titik tekannya pada daging yang segar lezat. Berbeda dengan Idul Fitri yang orientasinya menanggulangi atau penutup kelaparan, Idul Adha ini lebih kepada makan besar, penambahan gizi.
Tidak ada kriteria khusus penerima daging kurban. Siapapun bisa, bahkan yang berkurban juga memiliki hak atau bagiannya. Jika Idul Fitri hari yang diharamkan puasa pada Syawal hanya satu hari pertama, sedangkan hari pengharaman puasa pada “Hari Pesta” panjang hingga total menjadi empat hari tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, agar semua bisa sama-sama menikmati. Karena ia hari makan besar.
Pesta empat hari itu, tanggal 10 disebut hari udhiyah (peneyembelihan), sedangkan 11, 12 dan 13 disebut hari tasyriq (penjemuran daging yang tidak habis dimakan). Dinamakan hari penjemuran daging (tasyriq), karena zaman dulu belum ada tehnologi pengawetan daging. Lalu pengawetannya menggunakan sinar matahari. Daging yang dijemur di bawah terik matahari, di daerah super tropis seperti Arab sungguh sangat efektif mematikan bakteri, mengeringkan, dan mengawetkan.
BACA JUGA: Cerita Idul Adha Arie Untung, Pertama Kali Jadi Khatib Shalat Id
Apalagi saat ini sudah ada kurban online maupun kurban olahan. Di masa pandemi kurban online bisa menjadi alternatif bagi umat muslim yang dituntut untuk menjada protokol kesehatan menghindari kerumunan. Tinggal klik klik dari rumah, insyaa Allah ibadah kurban tertunaikan tanpa menghilangkan esensi ibadah kurban yakni syiar agama Allah dan juga berbagi.
Sementara kurban olahan, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa Nomor 37 tahun 2019 tentang Pengawetan dan Pendistribusian Daging Kurban dalam Bentuk Olahan. Di dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa daging kurban boleh diawetkan dan dilah serta didistribusikan dalam bentuk olahan.
Sebelumnya dalam fatwa tersebut Komisi MUI juga menjelaskan bahwa Pada prinsipnya, daging hewan kurban disunahkan untuk didistribusikan segera (ala al-faur) setelah disembelih agar manfaat dan tujuan penyembelihan hewan kurban dapat terealisasi yaitu kebahagian bersama dengan menikmati daging kurban. Selain itu dianjurkan pula dibagikan dalam bentuk daging mentah dan didistribusikan untuk memenuhi hajat orang yang membutuhkan di daerah terdekat.
Akan tetapi, MUI kemudian menjelaskan bahwa menyimpan sebagian daging kurban yang telah diolah dan diawetkan dalam waktu tertentu untuk pemanfaatan dan pendistribusian kepada yang lebih membutuhkan adalah mubah (boleh) dengan syarat tidak ada kebutuhan mendesak.
Hal itu atas dasar pertimbangan kemaslahatan, sehingga daging kurban boleh (mubah) untuk didistribusikan secara tunda (ala al-tarakhi) untuk lebih memperluas nilai maslahat. Kurban juga boleh dikelola dengan cara diolah dan diawetkan, seperti dikalengkan dan diolah dalam bentuk kornet, rendang, atau sejenisnya serta boleh juga didistribusikan ke daerah di luar lokasi penyembelihan.
Keempat, Kemeriahan menjelang Idul Adha. Menyambut Hari Raya Besar umat Islam itu kita dianjurkan untuk memeriahkannya dengan banyak melakukan Amal Saleh. Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra, Nabi saw bersabda yang artinya: “Tidak ada hari dimana suatu amal salih lebih dicintai Allah melabihi amal salih yang dilakukan di sepuluh hari ini (Sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah).”
Para sahabat kemudian bertanya “Wahai Rasulullah, apakah termasuk lebih utama dari berjihad di jalan Allah?”
Nabi kemudian menjawab “Iya termasuk lebih utama dibanding jihad di jalan Allah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya, dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh). (HR. Ahmad, Bukhari, dan Tirmidzi).
Oleh karena itu, meski di masa pandemi, muslim dianjurkan melakukan amal di hari-hari yang paling mulia ini.
Begitu juga setiap muslim dianjurkan untuk berzikir. “Tidak ada satu hari pun yang lebih mulia di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan lebih dicintai-Nya untuk beramal, dari sepuluh hari ini. Maka perbanyaklah Tahlil, Takbir, dan Tahmid.” (HR. Ahmad).
BACA JUGA: Unik, Ini Tradisi Idul Adha di Berbagai Belahan Dunia
Hal yang tidak kalah penting dalam meriahkan Dzulhijjah hingga meraih berkah adalah puasa arafah. Sebagaimana dalam hadits dijelaskan bahwa puasa arafah dapat menghapus dosa satu tahun sebelum dan satu tahun setelahnya.
https://www.youtube.com/watch?v=m3wRDfBSK8E&t=1s
Penutup
Idul Adha merupakan hari raya besar bagi umat Islam. Ia bahkan lebih ‘besar’ daripada Idul Fitri. Meskipun di masa pandemi, umat muslim harus mengisinya dengan amal sholih. Ia harus viral di medsos, dunia maupun langit. Sebagai muslim, harus memviralkan Idul Adha bahkan lebih meriah daripada Euro maupun Copa America. Meriah dengan amal kebaikan. Wallahua’lam. []