HARI raya Idul Adha ditandai dengan disembelihnya hewan-hewan kurban. Ibadah kurban merupakan ibadah yang sangat dianjurkan karena terdapat keutamaan yang besar di dalamnya. Bagi yang akan melaksanakan kurban, diharapkan mengetahui cara memilih hewan kurban. Salah satu hewan yang dilarang untuk kurban adalah hewan yang cacat. Lantas bagaimana jika hewan yang sedang hamil? Bolehkah kurban dengan hewan hamil?
Mengutip Islamqa, para ulama berbeda pendapat akan diperbolehkannya berkurban atau kurban dengan hewan hamil dari hewan ternak. Jumhur (mayoritas ulama’) berpendapat memperbolehkan berkurban dengannya.
Mereka tidak menyebutkan hamil termasuk aib (cacat) dalam berkurban yang menghalangi untuk diterimanya kurban. Sementara Syafi’i berbeda, seraya melarang berkurban dengan hewan yang sedang hamil.
Hukum Kurban dengan Hewan Hamil
BACA JUGA: Kurban dalam Islam dan 3 Tips Memilih Hewan Kurban
Dalam Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah, (16/281) disebutkan, “Mayoritas ulama’ fikih (jumhur) tidak menyebutkan bahwa hamil termasuk cacat dalam berkurban. Berbeda dengan Syafiyyah di mana mereka dengan jelas mengatakan tidak diterima hewan hamil untuk kurban. Karena hamil termasuk merusak yang di dalam sehingga dagingnya menjadi jelek.
Dalam kitab ‘Hasyiyah Al-Bujairimy ‘alal Khotib, (4/335) termasuk kitab syafiiyyah,”Hewan hamil tidak diterima, dan ini yang menjadi patokan (dalam madzhab) karena hamil mengurangi dagingnya. Dan termasuk dihitung secara utuh dalam zakat karena maksud dalam zakat adalah keturunannya bukan nikmat dagingnya.
Yang terkuat adalah bahwa hewan ternak yang hamil diterima dalam berkurban kalau di sana tidak ada penghalang lain.
Syekh Muhammad bin Ibrohim rahimahullah mengatakan, “Berkurban dengan hewan hamil adalah sah, sebagaimana sahnya dengan adanya penghalang, kalau sekiranya aman dari aib (cacat) yang telah ditentukan dalam berkurban. Selesai dari ‘Fatawa wa rosail Syekh Muhammad bin Ibrohim, (6/146).
Sementara itu, mengutip laman Lirboyo, Syekh Taqiyuddin Al Hishni dalam kitab Kifayah Al Akhyar menjelaskan bahwa:
وَهَلْ تُجْزِئُ الْحَامِلُ فِيْهِ خِلَافٌ قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ الْمَشْهُوْرُ أَنَّهَا تُجْزِئُ لِأَنَّ نَقْصَ اللَّحْمِ يُجْبَرُ بِالْجَنِيْنِ وَفِيْهِ وَجْهٌ لَا تُجْزِئُ
Artinya: “Apakah mencukupi berkurban dengan hewan hamil? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Ibn Rif’ah berkata, pendapat yang mashur adalah mencukupi. Karena kekurangan daging dapat ditambal dengan adanya janin. Dan pendapat lain mengatakan tidak mencukupi.” (Kifayah al-Akhyar, halaman 531)
Adapun mayoritas ulama Syafiiyah berpendapat tidak mencukupi. Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin dalam kitab Busyra Al Karim menerangkan bahwa:
وَلَا يَجُوْزُ التَّضْحِيَةُ بِحَامِلٍ عَلَى الْمُعْتَمَدِ لِأَنَّ الْحَمْلَ يُنْقِصُ لَحْمَهَا، وَزِيَادَةُ اللَّحْمِ بِالْجَنِيْنِ لَا يَجْبُرُ عَيْبًا
Artinya: “Tidak diperbolehkan kurban dengan binatang hamil menurut qaul mu’tamad. Karena kehamilan hewan dapat mengurangi dagingnya. Dan bertambahnya daging disebabkan janin tidak dapat menambal kecacatannya.” (Busyra Al Karim, halaman 698)
Hukum Kurban dengan Hewan Hamil
Sedangkan Syekh Khatib As-Syirbini dalam salah satu kitabnya, Mughni Al Muhtaj, menegaskan bahwa:
وَقَوْلُ ابْنِ الرِّفْعَةِ الْمَشْهُوْرُ أَنَّهَا تُجْزِئُ؛ لِأَنَّ مَا حَصَلَ بِهَا مِنْ نَقْصِ اللَّحْمِ يَنْجَبِرُ بِالْجَنِيْنِ، فَهُوَ كَالْخَصِيِّ مَرْدُوْدٌ بِأَنَّ الْجَنِيْنَ قَدْ لَا يَبْلُغُ حَدَّ الْأَكْلِ كَالْمُضْغَةِ، وَلِأَنَّ زِيَادَةَ اللَّحْمِ لَا تَجْبُرُ عَيْبًا بِدَلِيلِ الْعَرْجَاءِ السَّمِيْنَةِ
Artinya: “Dan pendapat Imam Ibnu Rif’ah, yang mashur bahwa hewan hamil mencukupi karena kurangnya daging ditambal dengan janin seperti halnya binatang yang terpotong testisnya, ditolak dengan alasan bahwa terkadang janin tidak mencapai batas layak konsumsi seperti gumpalan daging serta bertambahnya daging tidak dapat menambal kecacatan dengan dalil binatang pincang yang gemuk.” (Mughni al-Muhtaj, VI/128)
Kesimpulannya, berkurban dengan hewan yang sedang hamil terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kedua pendapat tersebut pun dapat diamalkan.
Lalu bagaiman jika hewan hamil yang dijadikan kurban tersebut melahirkan janin? Ibnu Qudamah dalam kitab ‘Al-Mugni, (9/321) mengatakan, “Kalau (janin) keluar dalam kondisi hidup yang sempurna memungkinkan untuk disembelih, sementara tidak disembelih sampai mati, maka ia termasuk tidak disembelih. Ahmad mengatakan, “Kalau keluar dalam kondisi hidup, makah harus disembelih karena ia termasuk jiwa yang lain.
Kalau keluar dalam kondisi mati, maka jumhur ulama berpendapat dapat dimakan juga. Karena ia telah disembelih dengan sembelihan induknya.
Hukum Kurban dengan Hewan Hamil
BACA JUGA: 2 Hukum Menyembelih Kurban Menurut Ulama
Diriwayatkan Abu Dawud, (2828) dan Tirmizi, (1476) dan dishohehkan olehnya, Ibnu Majah, (3199), dan Ahmad, (10950) dari Abu Said dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Sembelihan janin mengikuti sembelihan induknya. Dinyatakan shoheh oleh Albani di ‘Shoheh Al-Jami’, (3431).
Ini –sebagaimana yang telah kami sebutkan- adalah mazhab jumhur ahli ilmu berbeda dengan Hanafiyah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam ‘Majmu’ Fatawa, (26/307), ”Berkurban dengan hewan yang sedang hamil itu diperbolehkan. Kalau janinya keluar dalam kondisi telah mati, maka sembelihannya mengikuti sembelihan induknya menurut Syafi’I, Ahmad dan ulama’ lainnya. Baik ia merasakan (sembelihan itu) ataupun tidak merasakannya. Kalau keluar hidup, maka harus disembelih.
Sementara mazhab Malik, kalau ia merasakan (sembelihan itu) maka menjadi halal kalau tidak, maka tidak halal. Sementara menurut Abu Hanifah, tidak halal sampai disembelih setelah keluarnya.
Telah ada penjelasan ini secara terperinci, dan telah dibahas bahwa sebagian para ulama memakruhkan makan janin (dilihat) dari sisi kedokteran. Itulah penjelasan mengenai hukum kurban dengan hewan hamil.
Wallahu a’lam. []