TERMASUK yang diperhatikan dalam pembahasan korupsi adalah korupsi waktu. Di mana seseorang lalai dengan amanah mengenai waktu yang telah dijanjikan atau disepakati misalnya dalam hal pekerjaan atau sesuatu yang berkaitan dengan waktu.
Contoh korupsi waktu misalnya seorang pegawai atau PNS yang tidak amanah dalam waktu, masuk kerja terlambat dan tanpa izin atau bahkan makan gaji buta tanpa kerja sama sekali.
BACA JUGA: Dosakah Istri yang Tak Cegah Suami Berbuat Korupsi?
Bagi seorang pegawai yang telah berjanji akan melaksanakan amanahnya, yaitu bekerja dengan waktu-waktu tertentu dan ia memang digaji untuk hal itu, hendaknya berusaha menunaikan amanahnya sebaik mungkin, begitu juga dengan jam kerjanya, hendaknya ia gunakan jam kerja yang telah disepakati untuk benar-benar bekerja sesuai dengan amanahnya. Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita agar menunaikan amanah dengan profesional dan sebaik mungkin.
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak.” (An Nisaa’: 58)
Seorang muslim juga berusaha menunaikan dan melaksanakan persyaratan yang telah ia setujui.
Rasulullah SAW bersabda, “Umat Islam berkewajiban untuk senantiasa memenuhi persyaratan mereka.” (HR. Muslim)
Termasuk ciri munafik (shugra/kecil) adalah tidak menepati janji atau persyaratan yang telah ia setujui.
Rasulullah SAW bersabda, “Tiga tanda munafik ada tiga, jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari dan ketika diberi amanat, maka ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk korupsi waktu adalah tidak bekerja di jam kerjanya tanpa izin yang jelas atau menggunakan jam kerja untuk keperluan lain yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini dilarang oleh syariat dan hendaknya ia menunaikan kewajibannya.
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharamkan mendurhakai ibu, membunuh anak perempuan, dan mana’a wahaat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Arti dari (منع وهات) “mana’a wahaat” adalah tidak mau melaksanakan kewajiban atau menuntut apa yang bukan menjadi haknya.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata menjelaskan hadits,
“Rasulullah melarang seseorang tidak melaksakan kewajiban yang ada padanya atau menuntut apa yang bukan menjadi haknya.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim)
Jadi, seorang muslim tidak boleh hanya menuntut haknya saja, menuntut dibayarkan gaji bulanan secara rutin, sedangkan ia tidak menunaikan amanahnya dengan baik.
Tidak masuk kantor tepat waktu, itupun masuk kantor pada jam-jam tertentu saja dan sering bolos, keluar tanpa izin, menggunakan waktu jam kantor untuk bermain game atau urusan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya.
Beribadah di waktu jam kerja misalnya shalat dhuha atau mengaji perlu dirinci, jika ibadah yang wajib seperti shalat dzuhur, maka saat itu pekerjaan wajib ditinggalkan dan seharusnya atasan memberikan waktu untuk menunaikan shalat wajib.
Akan tetapi untuk ibadah yang sunnah misalnya shalat dhuha, maka sebaiknya jangan meninggalkan jam kerja untuk shalat dhuha kecuali atasan telah memberi izin atau atasan telah memaklumi atau bisa juga dilakukan di sela-sela waktu istirahat.
Berikut Fatwa dari Al-Lajnah Ad-Daimah (semacam MUI di Saudi) terkait hal ini.
Pada dasarnya, ibadah sunnah itu dikerjakan di rumah, karena beliau Rasulullah SAW bersabda,
“Seutama-utamanya shalat seseorang yaitu di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu”. (HR. Bukhari & Muslim)
“Jadikanlah sebagian shalat kalian di dalam rumah, dan janganlah kalian menjadikan rumah kalian sepeti kuburan.” (HR. Bukhari & Muslim).
Seeorang karyawan seharusnya tidak menghentikan pekerjaannya yang menjadi kewajibannya dengan melakukan ibadah sunnah.
Seorang karyawan bisa melakukan shalat dhuuha di rumah sebelum mereka berangkat bekerja sesaat setelah terbitnya matahari, yaitu setelah waktu nahiy (Waktu dilarang untuk melakukan shalat yaitu setelah shalat subuh hingga terbitnya fajar) sekitar 15 menit setelah matahari terbit.
Jika korupsi waktu terus-menerus dilakukan oleh seorang pekerja, sementara ia terus menerima gaji utuh, bisa jadi ia menerima gaji buta. Demikian ini termasuk memakan harta dengan cara yang batil. Hartanya bisa jadi tidak berkah.
BACA JUGA: Korupsi, Perbuatan Tercela yang Sudah Berlangsung Berabad-abad
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin rahimahullah menjelaskan,
“Jika kita melihat masyarakat kita sekarang, maka kita akan mendapati tidak ada (sedikit) yang selamat dari sifat kefasiqan kecuali yang Allah kehendaki (selamat dari itu). Misalnya seperti perbuatan ghibah yang termasuk perbuatan fasiq (dan banyak terjadi), bolos kerja yang terus dilakukan, serta perbuatan pegawai yang terlambat masuk kerja (yang telah dimulai satu jam sebelumnya) dan pulang kerja satu jam lebih cepat dari yang seharusnya. Terus menerus melakukan hal itu adalah termasuk kefasiqan karena ini termasuk berkhianat dan tidak sesuai amanah serta memakan harta dengan cara yang batil. Karena setiap gaji yang anda terima tanpa diimbangi dengan pekerjaan maka ini termasuk memakan harta dengan cara yang batil.” (Asy-Syarh al-Mumti’ 15/278).
Oleh karena itu, mari kita tunaikan amanah yang kita pikul sebaik mungkin, sehingga harta yang kita dapatkan dari bekerja bisa mendapatkan berkah dan kebaikan yang banyak. []
SUMBER: MUSLIM