INI kisah tentang gaji dokter.
Lima tahun lalu, saya pernah sepengajian pekanan sama dua orang dokter. Pengajiannya pekanan. Melingkar.
Satu orang ustadz jadi guru kami. Buat saya, ngaji pekanan itu kayak nyembuhin luka-luka yang terjadi selama satu pekan berjalan; kamu dapat nasihat dan ketemu sama temen-temen. Kamu jadi kuat dan bahagia menghadapi kehidupan. Beneran, lho.
Nah, lima tahun itu, witing tresno jalaran suko kulino lhah. Eh, maksudnya, karena seringan ketemuan, jadinya ya masing-masing taulah dapur sebagian yang lain. Selidik punya selidik, satu orang temen dokter gaji bulanannya sampe 24 juta. Satu orang lagi, 20 juta. Wah lah ya.
BACA JUGA:Â 2 Teman yang Berbeda
Gede kan? Gede laah…
Diem-diem, saya suka denger orang ngomongin dua orang ini. “Dokter mah enak, gajinya gede…” atawa, “Kalau saya gajinya segitu, waw….” dan yang lainnya lagi.
Saya sih cuma garuk-garuk kepala.
Gaji dokter selangit temen-temen saya itu, tentu aja ga datang begitu saja. Ada proses dan pengorbanan panjang, berdarah-darah, penuh dengan keringat air mata. Berapa taun orang yang pengen jadi dokter musti sekolah.
Berapa banyak duit pula yang ia dan keluarganya keluarkan untuk bisa sampai pada gaji dokter dan gelar tersebut. Belum lagi, berapa banyak pengabdian yang diberikan.
Kita seringkali hanya melihat satu waktu dan satu tempat saja.
BACA JUGA:Â Â Keluar dari Grup WA
Dan kerennya, dokter-dokter temen saya ini, dengan harta yang melimpah itu, sedekahnya juga bukan kaleng-kaleng. Kok saya tau? Ya taulah. Tapi ga usahlah saya sebutkan di sini hehehe….
Jadi, soal rezeki itu, kita ga usah ngiri sama orang lain. Kita ga tau, apa yang udah Allah ambil darinya.
Dan, ga usah ngerasa berat juga dengan apa yang sedang kita jalani (ujian kehidupan atau pekerjaan); kita ga pernah tau apa yang akan Allah berikan kepada kita. []
Saad Saefullah, FacebookÂ