SALAH satu keistimewaan tafaqquh mengikuti salah satu madzhab fiqih adalah, memahami setiap bahasan fiqih secara daqiq, secara rinci.
Sebagai contoh, dalam bahasan aurat misalnya, madzhab Syafi’i merincikan dan membedakan aurat perempuan merdeka dengan budak, membedakan aurat perempuan di hadapan sesama perempuan muslimah dan perempuan kafir, juga di hadapan mahram, non-mahram, dan suami, membedakan bahasan aurat di dalam shalat dan di luar shalat, dan seterusnya.
Dalam fiqih shalat, ada perincian semisal, apa saja syarat sahnya ruku’ dan sujud, apa saja syarat sahnya bacaan Al-Fatihah, dan seterusnya.
Bagi yang baru belajar fiqih madzhab, akan kesulitan menemukan dhawabith dan istitsna setiap masail secara rinci, karena ia harus membaca syarah dari satu matan kitab, untuk mengetahui penjelasan lebih rinci tentang materi yang dimuat oleh kitab dalam bentuk matan atau mukhtashar (kitab ringkas).
Bahkan, untuk lebih memperjelas lagi, kita perlu baca kitab hasyiyah (penjelasan atas syarah). Bahkan kita perlu membaca banyak syarah dan hasyiyah dari berbagai matan yang berbeda, untuk sampai pada pemahaman yang rinci terhadap satu masail.
BACA JUGA:Â Jangan Ikuti Pendapat Madzhab yang Lemah
Rumit memang, tapi itu melatih kita untuk berpikir rinci, sekaligus melatih kita untuk memahami alasan ditetapkannya hukum tersebut (ta’lil ahkam) oleh para fuqaha.
Hal semacam ini yang sulit didapatkan dari proses belajar fiqih di luar tradisi madzhab. Kitab-kitab yang mereka jadikan rujukan, jarang melakukan perincian, dan tidak ada kitab-kitab berikutnya yang datang memberikan khidmah pada kitab tersebut.
Akhirnya, saat diminta penjelasan secara rinci, mereka kebingungan, atau “berijtihad sendiri” dalam memberikan perincian, tanpa kaidah yang jelas, dan tanpa landasan ilmu yang memadai.
Bahkan dalam titik ekstrem, saya pernah menemukan orang yang sudah lama hadir di majelis pengajian non-madzhab, tidak mampu membedakan mana rukun shalat dan mana sunnahnya, atau kebingungan karena penjelasan ustadz yang satu dengan yang lain berbeda-beda.
Padahal, bagi pelajar madzhab, bahasan ini sudah mereka temukan di awal-awal mereka belajar, dari kitab fiqih paling tipis sekalipun.
Ada beberapa bahaya dari belajar fiqih tanpa jalur madzhab, di antaranya:
1. Potensi jatuh pada pendapat syadz (nyeleneh) dan tidak mu’tabar, karena selalu mengklaim mengikuti dalil, tanpa mau peduli aqwal (pendapat) para ulama mu’tabar tentang bab tersebut.
2. Jika tidak disertai adab dan sikap tahu diri, sering bersikap lancang pada ulama mu’tabar, menganggap pendapat mereka menyelisihi dalil, padahal ilmunya sendiri yang masih cetek.
3. Sulit menemukan pembelajaran secara berjenjang, yang meningkatkan level keilmuan seseorang dari pemula ke pertengahan ke tingkat akhir, yang itu sudah tersedia dalam tradisi belajar madzhab.
Memang benar, yang belajar lewat madzhab pun, belum tentu sampai level mutawassith apalagi muntahi, tapi jenjang dan kurikulumnya ada. Seperti pendidikan formal kita, memang tidak semua yang sekolah formal itu sampai pada level doktoral, tapi jenjangnya ada.
Sedangkan pembelajaran non-madzhab, belum mampu menunjukkan jenjang dan kurikulum yang jelas untuk itu. Sehingga sebagai sebuah sistem pembelajaran, sulit diikuti dan diterima oleh banyak orang.
Lalu, apakah pembelajaran madzhab juga punya kekurangan? Jawabannya, tentu ada. Tapi solusi untuk kekurangan tersebut pun, juga ada.
1. Umumnya, yang belajar fiqih madzhab, lebih banyak fokus pada perincian bahasan, sehingga kurang mendalami sisi dalil dan istidlal, terutama yang belajarnya tidak sampai pada kitab seperti Al-Majmu’ dan semisalnya.
Solusinya, perlu menelaah kitab-kitab besar yang membahas sisi pendalilan dan munaqasyah antar dalil (adu argumen dalil), seperti Al-Majmu’, Al-Hawi Al-Kabir, Nihayatul mathlab, dan lain-lain.
Juga menelaah kitab-kitab tafsir ahkam dan syarah Hadits ahkam. Juga mempelajari ilmu-ilmu alat semisal ushul fiqih, ushul tafsir, mushthalah Hadits, dan lain-lain.
BACA JUGA:Â Bolehkah Mengikuti Pendapat Ulama Selain Empat Madzhab
2. Bisa jatuh pada sikap ta’ashshub madzhabi (fanatisme buta pada madzhab) dan jumud pada pendapat madzhab.
Solusinya, banyak membaca kitab-kitab fiqih perbandingan madzhab, agar memahami, semua madzhab juga punya dasar argumen masing-masing atas pendapat mereka.
Juga membaca kitab serta penelitian fiqih kontemporer, untuk memahami bahwa fiqih itu harus hidup dan berinteraksi dengan zaman, tidak hanya tersimpan di lembaran kertas kuning.
Juga membaca kitab-kitab tentang tarikh fiqih, madkhal fiqhi, dan semisalnya, untuk memahami posisi fiqih secara tepat, dan bisa memposisikan secara tepat antara fiqih klasik dan fiqih kontemporer.
Oh ya, terkait fanatisme buta, itu tidak hanya pada madzhab fiqih, tapi pada banyak hal lain, bahkan cukup banyak terjadi pada komunitas non-madzhab di masa sekarang. Bahkan kadang, fanatiknya pada syaikh atau ustadz panutannya, jauh lebih mengerikan dari fanatik madzhab.
Wallahu a’lam. []
Oleh: Muhammad Abduh Negara