SEBULAN lalu, lebih dari 30 hari, saya kena covid. Ga test, emang. Tapi semua gejalanya ada dan saya rasakan. Yang paling kentara adalah penciuman dan pengecapan hilang, blast, lama banget. 4 pekan.
Bukan cuma saya. Istri, dan tiga anak kami juga mengalami. Tapi anak-anak, mungkin karena ketahanannya bagus, cepat sekali recovery. Ga lebih dari 4 hari, udah bugar lagi.
Saya yang paling lama. Di rumah, saya emang yang paling sering olahraga dan banyak makan, tapi mungkin karena jorok, bisa makan apa aja dan ngopi sachet 2000-an juga jadi, so, ketika sakit, saya paling parah efeknya. Selalu begitu.
BACA JUGA: Si Doel Anak Sekolahan
Sakit covid itu ga ada mending-mendingnya. Secara psikologis, habis semua pikiran kita oleh berbagai informasi yang sudah diterima sebelumnya.
Ditambah, satu dua orang sahabat dekat, masih muda dan senantiasa sehat, dipanggil Allah SWT dalam waktu yang bersamaan. So covid doesn’t seem to need u comorbid or not?
Kemudian, masyarakat sekitar yang lain juga lagi kena. Ya Allah.
Kalau dibilang panik ga panik ga, ada beberapa waktu saya pribadi mengalaminya. Tubuh capek banget, padahal ga ngapa-ngapain. Batuk terus-terusan. Demam jam 2 malam. Alhamdulillah, Indonesia dianugerahi dengan mereka yang senantiasa memberikan cara-cara penanganan pertama oleh diri sendiri di rumah, jadi saya, walau ga nemu rujuk medis formal di internet, ya lakukan.
Di tengah kondisi seperti itu, amat berartilah satu pertolongan dari orang lain. Saya punya banyak catatan dari teman-teman dekat dan ustad saya yang tak henti-hentinya mengirim ini itu ke rumah. Termasuk duit; kalau kamu kena covid, terus kamu ga punya duit, kamu akan dobelan panik.
Tapi, ada yang tak mungkin saya lupa dari satu sahabat dekat sejak SMA. Pagi hari pertama saya kabari saya bergejala, ia langsung bilang, “Kamu jangan masak. Jangan belanja-belanja. Sampai kamu sembuh, makanan aku kirim ke rumah. Jangan rewel. Jangan protes.” Telefonnya ditutup tanpa saya bisa sela.
Siang itu, satu gosend kirim semua kebutuhan rumah saya dalam paket besar: bahan mpon-mpon, tisue, disenfektan, sembako, buah-buahan. “Tiga hari lagi, aku kirim lagi,” ujarnya di pesan WA. Saya jawab “Nuhun”, hanya checklist biru tanpa dijawab.
Satu bulan itu, saya menulis dalam catatan saya, “Setiap jam 11, dari Ampera.” Itu rumah dia di Ampera.
Saya merenung. Sahabat saya ini, bersama keluarganya, juga tengah dirundung malang tak bertepi. Saya dan sekeluarga menghadapi covid, setidaknya ada banyak yang bisa dipersiapkan secara fisik dan mental, tapi dia dalam dua tahun terakhir, dia menghadapi gangguan jin-jin jahat. Nyaris setiap malam. Tapi dia masih terus peduli sama orang lain. Sama saya. Kalau ada di posisi dia, belum tentu saya bisa dan kuat.
BACA JUGA: Gelombang COVID-19 Delta, China Sebut Wabah Virus Terbaru Ini ‘Rumit’
10 terakhir ini, saya udah bisa kembali olahraga jalan kaki sejauh kebiasaan saya sebelum sakit. Rasa makanan dan penciuman, satu persatu mulai bulat dan kembali. Alhamdulillah. Sementara, sahabat saya, masih menghadapi gangguan, yang kamu bakal ngeri kalau mengetahuinya. She says, “Aku punya Allah.”
https://www.youtube.com/watch?v=eYvCXsBme3w&t=39s
Apa dia ini orang kurang ibadah? Kurang shalat kurang sedekah? Kalau iya, mengapa Nabi juga pernah diriwayatkan kena guna-guna satu waktu? Santet dan covid, kesimpulan saya, tidak kenal agama, usia, atau perbatasan. Tapi dua-duanya bisa dihadapi dengan keyakinan besar kepada Allah SWT. InsyaAllah.
Sehat selalu ya. []