ALAM merupakan anugerah dari Allah SWT. Manusia tidak boleh merusaknya. Islam pun mengatur tentang cara melestarikan alam agar semua makhluk senantiasa berjalan dengan baik.
Allah mengingatkan manusia akan hal itu dalam firman-Nya:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Rum: 41)
Larangan merusak alam juga tertera dalam firman Allah SWT:
وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
BACA JUGA: Bisa Selamatkan Bumi, Ini 6 Konsep Zero Waste dan Kajiannya dalam Alquran
Diriwayatkan, ketika Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan, ia melihat sarang semut terbakar. beliau ﷺ pun bersabda:
رأَى قَرْيَةَ نَمْلٍ قَدْ حَرَّقْنَاهَا، فَقَالَ: «مَنْ حَرَّقَ هذِهِ؟» قُلْنَا: نَحْنُ قَالَ: «إنَّهُ لا يَنْبَغِي أَنْ يُعَذِّبَ بالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ»
“Siapakah yang membakar ini? Sahabat menjawab, ‘Kami Ya, Rasulullah.’ Jawab Nabi, ‘Tidak boleh menyiksa dengan api, kecuali Tuhan yang menjadikan api’.” (HR Abu Dawud)
Hadis tersebut secara lugas menjelaskan bagaimana perusakan ekosistem melalui pembakaran sangat dilarang ﷺ. Jangankan membakar hutan yang memiliki beragam makhluk hidup, sarang semut saja tidak diperbolehkan.
Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah ﷺ mendapati beberapa orang melempar-lempar seekor burung. Dengan sigap, Rasululllah ﷺ berujar, “Allah mengutuk orang yang melakukan ini.” Artinya, menganiaya hewan adalah perbuatan yang keji, apalagi membunuhnya.
BACA JUGA: 7 Cara Mudah Menjaga Kelestarian Alam
Lantas, bagaimana cara melestarikan alam berdasarkan ajaran Islam?
Dijelaskan dalam buku ‘Konservasi Alam dalam Islam‘ karya Fachruddin M Mangunjaya, berikut cara melestraikan alam berdasarkan ajaran Islam:
1 Cara melestarikan alam: Konsep Hima’
Hima’ adalah suatu kawasan yang khusus dilindungi otoritas penegak hukum dan pemerintah atas dasar syariat guna melestarikan hidupan liar serta hutan.
Hima’ dapat juga disebut sebagai penyediaan lahan khusus untuk upaya melindungi populasi spesies satwa hidup. Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima’ untuk melindungi lembah, padang rumput dan tumbuhan yang ada di dalamnya.
Rasulullah ﷺ juga melarang masyarakat mengolah tanah tersebut karena lahan hima’ merupakan maslahat umum dan demi kepentingan pelestarian. Sebagaimana sabda Rasulullah:
لا حمي إلالله و لر سو له
“Tidak ada hima’ kecuali milik Allah dan Rasul-Nya.” (HR Al Bukhari)
Adapun hal positif dari konsep kawasan lindung hima’ ini adalah:
- Merupakan konservasi yang berbasis pada komunitas (community-based conservation);
- Diberdayakan oleh masyarakat lokal sekitar;
- Melibatkan peran-serta publik;
- Pemanfaatan sumber daya secara adil dan bijak;
- Menyebabkan bertahannya pengetahuan lokal dan adat setempat.
BACA JUGA: Hujan Itu Berkah, Bukan Musibah
2 Cara melestarikan alam: Ihya al-mawat (mengelola lahan produktif yang telantar)
Ihya artinya menghidupkan, sedangkan al-mawat berarti “yang mati”. Secara harafiah berarti menghidupkan yang mati. Sebagai istilah, ihya al-mawat dapat diartikan sebagai usaha untuk mengelola, mengoperasikan, memberdayakan lahan produktif yang masih dapat dimanfaatkan, namun sayangnya telantar. Melalui cara ini dapat memungkinkan timbulnya manfaat baik bagi manusia, satwa hidup, dan lingkungan.
Ihya al-mawat dapat menjadi sarana memakmurkan dan memanfaatkan bumi untuk maslahat manusia secara umum. Namun tetap, prinsip dalam memanfaatkannya haruslah bermaslahat, tidak menimbulkan mudharat. Hal-hal yang dapat mendatangkan maslahat seperti dibangunnya ruang terbuka hijau (RTH), dijadikan ladang, ditanami buah-buahan, sayuran, dan lain sebagainya.
Meski upaya ihya al-mawat dapat mendatangkan kebermanfaatan, bukan tidak mungkin ini juga bisa menimbulkan mudharat. Maka itu, dalam kitab Jami Ahammu Masa’il al-Ahkam, Idris B Khalid, Qadi Gwandu menyampaikan terdapat beberapa hal di mana penggarap lahan yang telantar harus juga bertanggung jawab pada dampak yang ditimbulkannya, seperti dampak pembakaran dan penghancuran, lumpur hasil menggali sumur yang mungkin mengganggu orang.
Secara ringkas, hal itu oleh para ulama telah dirumuskan dalam prinsip fiqih Inna kulla fi’lin yuwajjib al-dhaman (seseorang harus bertanggungjawab atas tindakan merugikan orang lain).
BACA JUGA: Lakukan Misi Penghijauan, Ini Cerita Tim Eco Wanita Masjid Toronto
3 Cara melestarikan alam: Harim
Harim merupakan lahan atau kawasan yang berisi sumber-sumber air yang harus dilindungi. Harim adalah gabungan dua kawasan, yakni yang telah digarap (ihya) dan yang tidak digarap (al-mawat). Air sebagai mata air kehidupan amatlah penting bagi kelangsungan makhluk hidup. Bahkan, kebutuhan akan air pun bisa datang berupa kebutuhan untuk menunaikan syariat seperti bersuci, berwudu. Atau, kebutuhan rumah tangga seperti mandi, mencuci, memasak, dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk harim dapat berupa sungai, mata air, sumur, ngarai dan lain sebagainya. Dinamakan harim karena larangannya untuk dipergunakan selain demi kepentingan umum. Oleh karena itu, perlu dilindungi, sebab sumber air selalu dibutuhkan setiap orang. []