ADA pelajaran tentang adab mencari ilmu dalam QS Al Kahfi. Ini tercermin dalam kisah perjalanan nabi Musa dan nabi Khidir. Mereka memperlihatkan bagaimana adab sebelum ilmu itu sangat penting.
Seperti diketahui, menuntut ilmu merupakan hal yang utama dan wajib bagi muslim. Bahkan, menuntut ilmu (thalabul ilmi) adalah urusan yang berharga di sisi Allah. Banyak hadis yang mengulas hal itu.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak boleh ada hasad, selain dalam … seorang laki-laki diberi hikmah oleh Allah, lalu ia menghukumi dengan hal itu dan mengajarkannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Muawiyah, Nabi ﷺ bersabda, “Siapa yang Allah kehendaki kebaikannya, akan Dia pandaikan orang itu dalam perkara agama.” (HR Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda, “ Siapa yang menempuh jalan dengannya ia mendapatkan ilmu, maka akan Dia mudahkan baginya jalan enuju surga.” (HR Muslim)
Dari Abu Hurairah juga diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Jika meninggal anak Adam, maka akan terputus amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Diriwayatkan dari Anas, Nabi ﷺ bersabda, “Siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada dalam fi sabilillah sampai kembali pulang.” (HR Tirmidzi)
BACA JUGA: Menurut Imam Syafi’i, Inilah 6 Syarat Menuntut Ilmu
Nah, dalam kisah Nabi Musa dan nabi Khidir di QS Al Kahfi, terdapat keteladanan mulia tentang adab sebelum menuntut ilmu.
Dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir terdapat percakapan: “Apakah boleh aku ikut denganmu agar engkau mengajariku ilmu yang benar yang engkau telah ajari –oleh Allah– tentangnya?” (QS Al Kahfi: 66)
Dikutip dari buku Rahasia Dialog dalam Al-Qur’an, disebutkan bahwa Dr Shalah Abdul Fatah menjelaskan, Ada beberapa adab mencari ilmu yang tercermin dalam ayat tersebut.
Adab mencari ilmu: Kelembutan dalam mengambil pelajaran dan menyampaikan ilmu
Ketika nabi Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu.’ Itu mengarah pada kelembutan hati. Dia meminta pemahaman, meminta belas kasih, dengan kelembutan. Dia mengikuti nabi Khidir dalam perjalanannya bukan untuk menyaingi keilmuan nabi Khidir atau merasa lebih pandai darinya.
Ikutnya nabi Musa dalam perjalanan nabi Khidir adalah untuk mencapai tujuan yakni belajar ilmu yang telah diajarkan Allah kepada nabi Khidir.
Ketika ilmu itu dicari dengan adabnya, maka ia menjadi kebaikan dan manfaat. Sebaliknya, ketika ilmu dicari tanpa disertai adab, ia akan menimbulkan masalah bagi si empunya juga bagi orang lainnya. Bahkan ada ungkapan yang menyebut, “Wa man yuhrimu adabat thalibihi yuhrimu al’ilma, wa yuhrimu alkhairat kulluhu” (barangsiapa yang diharamkan atas adab menuntut ilmu, diharamkan ilmu atasnya, lalu diharamkan semua kebaikan baginya).
Adab mencari ilmu: Tujuan dasar dari menuntut ilmu dan pembelajaran adalah mendapatkan petunjuk
Hal ini tercermin dalam kalimat: “Agar engkau mengajariku dari ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu.” (QS Al Kahfi: 66)
Rusyda dalam hal ini adalah tamyiz. Maksud dari tamyiz adalah dewasa, sehingga telah mampu membedakan yang baik dan yang buruk (Ma’a Qashis Sabiqin fil Qur’ani, hal 426-427).
Meski tidak nampak seperti guru dan murid, perjalanan nabi Musa dan nabi Khidir sejatinya adalah rihlah ilmiah (perjalanan ilmu). Itu seperti praktik lapangan (field trip), observasi lapangan, atau studi banding. Proses ilmiahnya berjalan dalam perbuatan, bukan sekedar teori.
BACA JUGA: Adab Sebelum Ilmu, atau Menggunakan Adab sebagai Dalih untuk Meninggalkan dan Meremehkan Ilmu?
Adab mencari ilmu: Adanya kesepakatan
Adab diperlihatkan nabi Musa kala meminta ijin kepada nabi Khidir untuk ikut serta dalam perjalanannya. Begitu juga nabi Khidir menunjukkan adab dengan ketegasan posisi ketika memberikan isyarat kepada nabi Musa di awal perjalanannya.
Nabi Khidir berkata: “Engkau tak akan sanggup bersabar bersamaku.”
Itu merupakan kalimat ijab.
Musa menjawabnya dengan kalimat qabul: “Engkau akan mendapatiku insya Allah sabar dan aku tak akan menyalahimu dalam urusan apapun).
Dengan demikian telah terjadi kesepakatan anatara nabi Musa dan nabi Khidir untuk melaksanakan perjalanan ilmiah tersebut.
Maka, ketika nabi Musa menyalahi kesepakatan karena dia menyanggah perkara-perkara yang dilakukan nabi Khidir hingga tiga kali, nabi Musa pun tidak lagi diijinkan oleh nabi Khidir untuk mengikuti perjalannnya.
Dia berkata, “Inilah perpisahan anatara aku denganmu, dan akan aku jelaskan takwilnya atas apa-apa yang engkau tidak sanggup bersabar bersamaku.” (QS Al Kahfi: 78)
Hikmah yang baik diperlihatkan dua nabi mulia ini. Perjalanan ilmiah mereka dimulai dengan kesepakatan sederhana, yakni kesanggupan nabi Musa untuk bersabar.
Segala sesuatu yang dimulai dengan kesepakatan, maka setelahnya, persoalan akan lebih mudah diselesaikan. Kerja sama senantiasa berjalan selama aturan dipatuhi. Jika ada pelanggaran, kama kesepakatan itu putus atau terhenti.
BACA JUGA: Ini Gambaran Sikap para Tabi’in terkait Prinsip Adab sebelum Ilmu
Sebelum itu, bahkan Nabi Khidir memberi nabi Musa toleransi hingga 3 kali. Ini menunjukkan kemurahan hati, pembelajaran yang kuat, dan efek pengaruh yang panjang.
Nabi Musa sendiri bukan tidak sabaran. Dia menyertai nabi Khidir dalamperjalanan yang begitu panjang dan berat, siang dan malam, dari darat dan laut hingga ke kota-kota yang jauh, tanpa boleh menanyakan hal apapun.
Secara nuraniah dan naluriah, hal-hal yang kemudian ditanyakan nabi Musa kepada nabi Khidir adalah wajar sebagaimana manusia ketika mendapati suatu keganjilan yang membuatnya terheran-heran atau mendapati sesuatu yang menurutnya menyalahi aturan.
Pertama, tentang perahu yang dirusak. Kedua, tentang anak kecil yang dibunuh. Ketiga, tentang rumah roboh yang diperbaiki. Pertanyaan-pertanyaan nabi Musa memiliki alasan yang kuat. Namun, bagaimanapun dia telah melanggar kesepakatan awal.
Kendati begitu, nabi Khidir tetap mengungkapkan alasan dan penjelasan logis tentang hikmah dibalik tindakan-tindakannya yang dipertanyakan nabi Musa. Hal itu bahkan jadi pelajajaran yang sangat berarga.
Demikianlah jika adab mencari ilmu itu dijunjung tinggi. Tiada yang lain selain kebaikan dan hikmah di dalamnya. []