ISU poligami tak pernah sepi di Indonesia. Pro dan kontra terhadap praktik poligami menjadi hal yang biasa kita saksikan, dan saat ini menjadi heboh kembali kembali ketika sebuah parpol menganjurkan kadernya melakukan hal tersebut, walau akhirnya anjuran tersebut dicabut karena desakan dan pengaruh yang besar.
Berbagai sudut pandang ikut serta mengomentari praktik poligami dengan berupaya menyajikan data masing-masing pihak yang pro dan kontra. Perspektif tersebut:
a. Aspek psikologi, hal ini mencakup hak setiap istri untuk di-monogami, tidak ada pembagian cinta dan kasih sayang bahkan hal tersebut itu adalah sebuah kemustahilan.
Karakter sebagai wanita yang dipenuhi perasaan adalah sesuatu yang memengaruhi keputusannya. Kaum liberal dan feminis datang dengan 1001 alasan untuk membantah hal ini dan melupakan seks bebas yang lebih baik dilakukan daripada seorang suami menikah lebih dari sekali.
Secara adil, bisa disebutkan bahwa setiap orang menikah ada yang berhasil dan langgeng dan ada juga yang gagal dan berujung perceraian, hal ini sangat mudah kita jumpai dari berita-berita gosip kehidupan para artis yang telah berpacaran lama kemudian menikah dan akhirnya bercerai.
BACA JUGA: Jika Suami Tidak Adil dalam Poligami, Ini Peringatan Nabi
Maka bentuk adilnya begitupun dengan mereka yang melakukan poligami ada yang berhasil dan langgeng dan ada yang gagal dan berujung perceraian.
Allah jalla wa’ala pun datang dengan pembolehan perceraian namun sebagai syariat yang dibenci, karena tentu hal yang paling disenangi Setan adalah perceraian dan sebaliknya sakinah mawaddah warahmahnya sebuah ikatan pernikahan adalah kegagalan besar bagi Setan.
Kaum feminis dan liberal selalu tidak adil dalam mengungkapkan data dalam mengkritisi poligami, datang dengan sekian kasus-kasus kegagalan seperti yang disebutkan oleh Mardety Mardiansyah dalam tulisannya di kompasiana dengan judul “Poligami Dalam Hermeneutika Feminisme” (2 Oktober 2021).
Dia datang dengan kasus AA Gym dengan praktik perceraiannya namun belum pernah melakukan wawancara langsung dengan responden data tersebut, maka ini tentu adalah suatu kezaliman dan tak pantas dilakukan oleh seorang akademisi.
b. Aspek ekonomi dan hukum, undang-undang pernikahan di Indonesia telah memberikan regulasi dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, di antara poin UU tersebut adalah:
1. Ada persetujuan dari istri/istri-istri, dengan catatan persetujuan ini tidak diperlukan jika: a) istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; b) tidak ada kabar dari istri selama minimal 2 tahun; atau; c) sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
2. Adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak;
3. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.
Maka Indonesia secara konstitusi membenarkan praktik poligami selama seorang suami memiliki kecukupan di antaranya adalah kecukupan harta, dan dalam pasal lainnya dicantumkan penghasilan minimal Rp. 10 juta.
Maka keadilan dalam hal ini, bahwa titik kritis dari hal ini tentu tidak dibenarkan pula poligami dari suami yang lemah ekonominya, sehingga menyebabkan istrinya tidak mampu memenuhi hak primernya sehingga harus bekerja dengan maksud membantu ekonomi keluarga.
Walau menjadi pertanyaan besar juga kepada kaum feminis, apa upaya mereka memberikan bantuan kepada wanita yang menjajakan “kehormatannya” demi mencari makan, mulia manakah wanita PSK dengan wanita yang ridha dipoligami baik statusnya sebagai istri pertama atau kedua?
BACA JUGA: Kedudukan Wanita dan Poligami
c. Aspek politik, Islam adalah agama yang penuh dengan keadilan, keadilan bagi setiap wanita dan pria untuk bersaing sehat menggapai kesuksesan dan puncak kesuksesan tentunya bagi muslim dan muslimah adalah masuk surga.
Tidak ada dalil yang memberikan keutamaan bagi pria sebagaimana kemudahan wanita masuk kedalam surga, seperti hadis yang berbunyi: jika wanita menjaga salat lima waktu, dan menaati suaminya maka akan dipersilahkan ia memasuki surga dari pintu masa saja yang ia inginkan.
Secara hak politik, wanita boleh ikut serta dalam hak politiknya yang tentu tidak mengorbankan hak suami dan utamanya anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan dan kasih sayang.
Namun realitas kaum feminis tidak pernah mengkritisi kehidupan wanita karir untuk kasihan dengan anak-anak wanita yang waktunya habis dengan pembantu atau baby sister atau kepada wanita karir yang justru selingkuh dengan teman kerjanya sendirinya.
Tentu pertanyaan besar kepada kaum feminis, apakah mereka juga siap dengan segala kesibukannya dan lalai terhadap hak suaminya, yang berakibat suaminya selingkuh mungkin bahkan dengan teman akrabnya sendiri?
Maka sikap adil dan kritis yang sehat tanpa pengaruh pola pikir Barat yang melegalkan seks diluar nikah adalah hal yang tidak sepantasnya di “endorse” di negeri yang menjunjung dengan penuh adab dan tata nilai penuh (NKRI)
d. Aspek Tafsir, di antara pernyataan Mardety Mardiansyah dalam tulisannya di kompasiana (2 Oktober 2021) menyebutkan bahwa Qs. An Nisa ayat 3 baginya multitafsir, tentu hal ini mudah disebutkan jika seseorang tidak pernah belajar tafsir secara khusus atau lebih cenderung datang dengan konsep tafsir hermeneutika yang justru digunakan di kalangan gereja, sehingga membentuk perpecahan dari agama mereka.
Dalam Islam, konsep belajar terbaik adalah mengembalikan tafsir al-Qur’an tersebut terhadap hadis-hadis Nabi, dan adalah Ibnu Abbas mendapatkan julukan “habrul ummah” atas doa Rasulullah ﷺ kepadanya untuk dipahamkan dalam urusan agama dan menjadi ahli Quran.
Ibnu Abbas Ra. menjelaskan ayat 3 di atas, bahwa; “Kekhawatiran tak mampu adil dalam memegang harta anak yatim sama dengan ketakutan orang-orang jahiliah terhadap istri-istri yang mereka nikahi semaunya saja mulai dari sembilan atau sepuluh wanita sehingga Allah menurunkan ayat ini bahwa batas wanita yang boleh dinikahi hanya dua, tiga atau empat orang saja dan tidak boleh lebih dari empat. Dan jika takut tidak bisa berlaku adil maka nikahilah satu wanita merdeka saja atau dari budak yang kalian miliki”.
Dalil yang seolah ilmiah disebutkan juga oleh penulis di atas, adalah terkait pernikahan Rasulullah saw. dengan Ummul Mukminin Khadijah dengan baginda Nabi ﷺ.
Mardety menyebutkan: “Bila belajar dan merujuk pada pernikahan Nabi Muhammad secara utuh, beliau menikah monogami (satu istri) dengan Khadijah selama 28 tahun. Kehidupan poligami Nabi hanya 8 tahun. Jika demikian, mengapa bukan masa yang lebih banyak yang diteladani?”
BACA JUGA: Mental Wanita yang Dipoligami
Maka alasan ini punya jawaban dari perspektif lain,
1. Pernikahan Nabi ﷺ. dengan khadijah adalah wahyu dan membawa kemaslahatan bagi Islam dengan posisi Khadijah kala itu,
2. Posisi Khadijah sebagai janda kala itu, apakah juga dibenarkan kaum feminis untuk menikahkah anak laki-laki mereka dengan janda dan apakah anaknya juga bersedia?,
3. Jikalau disandarkan usia monogami nabi 28 tahun lebih lama, dan 8 tahun usia poligami, maka apakah kaum feminis juga konsisten dengan klausul ini membolehkan orang poligami setelah menjalani masa pernikahan mereka 28 tahun?
Dan masih banyak pernyataan menguji konsistensi mereka lagi yang toh kaum feminis tidak konsisten dalam hal ini.
Menikahnya Nabi dengan Ummul Mukminin Aisyah ra., bukan berarti Rasulullah telah melupakan Khadijah ra. yang kematiannya menjadi tahun kesedihan setelah paman Beliau juga Hamzah bin Abdil Muththalib meninggal dunia atau zalim kepada Khadijah, namun Islam adalah agama yang mengajarkan keadilan bahwa Nabi ﷺ sebagai pemimpin umat, dan agar ia tidak hidup dalam statusnya menjadi duda tanpa menikah lagi.
Terhadap kisah Ali bin Thalib dengan Fatimah binti Rasulullah, juga punya jawaban tersendiri yang tentu sekadar mengutip kisah monogami Ali Ra. sampai ketika Fatimah meninggal, itupun riwayatnya masih perlu dicek, namun tentu kaum feminis pun enggan membenarkan poligami Ali bin Thalib dengan 1001 alasan.
Kefatalan seseorang ketika ia berbicara terhadap hukum al-Qur’an sementara ia pun belum pernah duduk menyantri mendapatkan penjelasan utuh dari setiap ayat yang ia baca kecuali untuk membenarkan persepsinya saja.
Islam adalah agama yang penuh keadilan, bahkan keadilan adalah pintu ketakwaan, sebaliknya kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.
BACA JUGA: Kedudukan Wanita dan Poligami
Menegaskan sebuah pernyataan bahwa: “Tidak ada ayat al-Quran yang mengapresiasi perilaku poligami, apalagi mengaitkan poligami dengan ukuran ketakwaan seseorang, dalam ayat di atas jelas dan tegas menolak poligami.
Yang demikian itu (monogami) lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” adalah sebuah konklusi yang tidak dibangun di atas argumentatif kuat, apalagi jika sekadar “comot-mencomot” ayat kemudian berkesimpulan dengan konsep hermeneutikanya.
Jika ia ingin menggunakan konsep hermeneutika terhadap perkataan temannya se-feminisme, silahkan namun jika wahyu Suci Islam maka tentu adalah sebuah kesembronoan, tentu agama lain pun sepantasnya marah jika ada yang tidak ahli menafsirkan ayat-ayat kitab sucinya. []