DALAM al-Quran terdapat kelompok ayat yang dinamakan mutasyabihat. Beberapa ulama, termasuk Imam as-Suyuti dalam kitab al-Iklîl fÎ istinbâtit-tanzîl mendefinisikan mutasyabihat sebagai lafaz yang maknanya disimpan atau disamarkan oleh Allah.
Cara memahaminya pun tidak serta-merta ikut tekstual lafaz. Karena nantinya akan menimbulkan tajsîm (menyamai Allah dengan makhluk) dan naqs (sifat kekurangan bagi Allah). Misalnya dalam surah al-Fath ayat sepuluh. Di dalamnya terdapat nukilan ayat yang jika diterjemah secara tekstual akan menimbulkan tajsîm. Terjemahnya adalah, “Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka”.
Kata “tangan” merupakan bagian dari ciri fisik makhluk. Jika hal ini disandarkan pada Allah maka sama halnya menyamakan Allah dengan makhluk-Nya dan ini muhal terjadi. Sebab Allah wajib memiliki sifat berbeda dengan makhluk (Mukhâlafatun lil-hawâdits). Oleh karena itu, ulama melarang memahami al-Quran dengan mengikuti tekstual lafaz.
Namun setidaknya, ada dua metode turun-temurun dari zaman shahabat yang dipakai dalam memahami mutasyabihat; tafwid dan takwil. Keduanya merupakan akidah wajib Ahlusunah wal Jamaah dalam memahami mutasyabihat untuk terhindar dari paham tajsîm.
Metode Tafwid
Salah satu ulama salaf yang memakai metode tafwid adalah Imam Ahmad. Maka pernah suatu ketika beliau ditanyakan tentang ayat mutasyabihat seperti turunnya Allah pada langit. Beliau menjawab, “Saya mengimani, meyakini, tanpa memahami tatacara (kaif) dan juga maknanya”. (Daf’u Syubahit-tasybîh bi Akaffit-tanzîh)
Sebagian ulama khalaf juga memilih tafwid, seperti Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam kitab al-Itqân. Beliau mengatakan, “Mayoritas Ahlusunah wal Jamaah dan ahlul-hadis mengimani ayat mutasyabihat serta menyerahkan maknanya pada Allah sesuai yang Ia kehendaki. Kami tidak menafsiri ayat mutasyabihat namun tetap menyucikan Allah dari sesuatu yang diserupakan kepadanya.”
BACA JUGA: Makna Kalimat Allah Ada di Langit
Dua pendapat ulama di atas menolak paham Wahabi yang menyatakan bahwa makna mutasyabihat dipahami sebagaimana tekstual lafaz, hanya saja kaif-nya yang diserahkan pada Allah. Misalnya ayat tanzil (turunnya Allah dari langit ke dunia), Wahabi memahaminya bahwa Allah turun dari langit ke dunia sebagaimana turunnya kita dari tempat tinggi ke bawah. Hanya saja mereka menyerahkan cara Allah turun ke dunia. (Lihat Majmu’ fatâwâ Syaikhul Islam Ibni Taimiyah)
Adapun salah satu dalil yang mereka pakai adalah ucapan Imam Malik:
الإِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Istiwa maknanya diketahui, tatacaranya tidak diketahui, mengimaninya wajib dan menanyakannya adalah bidah”
Pemaman Wahabi tersebut sebenarnya berangkat dari gagal paham memahami ucapan Imam Malik di atas, KH. Qaimuddin Waqimin dalam kitab Minhatul Hamîd dan Syaikh Ibrahim al-Azizi dalam kitab as-Sirâj al-Munîr Syarhul-Jamî’ ash-Shaghîr menjelaskan bahwa maksud dari ucapan Imam Malik tersebut adalah makna istiwa secara etimologi diketahui maknanya sebagai perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Namun apabila istiwa disandarkan pada Allah maka maknanya dikembalikan pada Allah.
Metode Takwil
Metode Takwil menurut Sayikh Amadi dalam kitab al-Ahkâm fî Usûlil-Ihkâm adalah, “mengarahkan lafaz pada selain makna zahir serta ada kemungkinan diarahkan pada makna lainnya dengan dalil yang menguatkan”. Metode ini juga dipakai oleh ulama salaf dan khalaf.
Ibnu Abbas, salah satu shahabat Nabi yang pernah mendapat doa langsung dari Nabi agar diberi pemahaman takwil, banyak menakwil ayat-ayat mutasyabihat. Misalnya tentang ayat nisyân dalam surat al-A’raf ayat 51, Ibnu Abbas menakwilnya dengan meninggalkan mereka dalam azab.
Begitupun ulama khalaf, maka lebih banyak lagi. Misalnya Imam ar-Razi dalam tafsirnya menakwil lafaz “yad” dengan nikmat. Bahkan, Imam Abdurahman al-Jauzi, menyusun satu kitab tebal yang khusus membahas tentang takwil hadis-hadis mutasyabihat yang berjudul Daf’u Syubahit-tasybîh bi Akaffit-tanzîh.
Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam mentakwil. Syaikh Amadi dalam kitab al-Ihkâm fî Usûlil-ahkâm membeberkan tiga syarat dalam mentakwil mutasyabihat. Pertama, orang yang mentakwil harus ahli dalam mentakwil. Kedua, lafaz yang hendak ditakwil memiliki kemungkinan untuk diarahkan pada lafaz lain. Ketiga, harus memiliki dalil yang kuat untuk diarahkan pada lafaz lain.
Catatan Penting
Ulama terdahulu ada yang bersikukuh untuk tetap mentakwil, seperti Ibu Abbas. Ada yang bersikukuh untuk tetap tafwid, seperti Imam Malik bin Anas. Namun juga ada yang terkadang takwil dan terkadang tafwid, seperti Ibnu Daqiqi al-‘Ain. Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul-Bârî menukil pendapat Ibnu Daqiqi al-‘Ain berikut ini:
BACA JUGA: Hukum Tidak Bisa Baca Al-Quran bagi Muslim, Ini 2 Hal yang Jadi Patokannya
“Perlu peninjauan dalam menakwil ayat mutasyabihat. Bila takwilannya mendekati pada lisan orang-orang Arab maka tidak perlu diinkari. Namun bila jauh dari lisan Arab, hendaknya meyakini akan kebenaran ayat mutasyabihat tersebut dengan tetap menyucikan Allah (tafwid)”
Sayyid Husain Afandi dalam kitab al-Hushûn al-Hamîdiyyah berpandangan bahwa sebenarnya rata-rata ulama memilih metode tafwid. Hanya saja, mereka harus mentakwil karena ada dua faktor; menolak pemahaman ahli bidah atau mempertahankan akidah orang awam. []