SEORANG wanita shalihah yang senantiasa mengerjakan berbagai macam amalan ibadah dan amalan ramadhan, ketika dia haid, apakah dia termasuk dalam sabda Nabi, “Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana ketika ia sehat atau sebagaimana ketika ia tidak dalam safar”?
Mengenai hal ini, ada disebutkan dalam Shahihain sebuah hadits dari Abu Musa al Asy’ari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana ketika ia sehat atau sebagaimana ketika ia tidak dalam safar”
Mengenai hadits ini para ulama berbeda pendapat apa bisa juga diterapkan pada wanita yang haid atau mengalami nifas sehingga mereka tidak bisa menunaikan beberapa kewajiban mereka, apakah Allah pun kan memberikan pahala kepada mereka walau mereka tidak bisa mengerjakan sebagian kewajibannya.
Sebagian berpendapat mereka tetap mendapatkan pahala, sebagian berpendapat tidak. Imam Nawawi telah membawakan dua pendapat ini dalam kitab Al Minhaj. Namun yang nampak lebih kuat adalah bahwa mereka mendapatkan pahalanya dengan izin Allah-.
Pahala yang didapatkan mereka tergantung dengan kebiasaan mereka. Apabila wanita tersebut orang yang banyak shalat, banyak berpuasa, banyak istighfar, banyak berdoa, maka dituliskan bagi dia pahala seperti kebiasaan dia sebelumnya. Maka pahala yang dituliskan akan berbeda-beda pada setiap perempuan.
Dalam hadits ini pun terdapat isyarat bahwa apabila seseorang tidak bisa mengerjakan sebuah kewajiban yang bukan disebabkan karena keinginannya dan dia mengerjakan rukhsah yang Allah berikan maka Allah kan mencatat pahalanya dengan sempurna, baik untuk perempuan atau untuk laki-laki.
Ketika haid, seorang perempuan meninggalkan shalat atau puasanya karena perintah Allah, maka meninggalkan sebagian ibadah ini juga merupakan bentuk ibadah sehingga dia pun tetap mendapatkan pahala.
Namun sebagian orang mempermasalahkan hal ini dengan hadits kurangnya agama seorang wanita, kemudian ketika ditanyakan maksudnya, Rasulullah menjawab
“Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?”, jawab beliau. (HR. Bukhari no. 1462 dan Muslim no. 79)
Maka maksud hadits ini adalah, bahwa seseorang itu akan sempurna apabila dia orang yang bisa mengerjakan ibadah secara utuh dan tidak menjadi orang yang punya alasan untuk tidak melaksanakan ibadah. Maka orang yang memiliki kewajiban untuk menjalankan ibadah dan dia menjalankannya, tentunya berbeda dengan seseorang yang tidak bisa menjalankannya karena alasan yang dibenarkan walaupun tetap dituliskan baginya pahala.
Oleh karenanya kita katakan, apabila seseorang beribadah maka dia kan mendapatkan tambahan keimanan dan merasakan lezatnya beribadah. Berbeda dengan orang yang tetap mendapatkan pahalanya namun dia tidak bisa melaksanakan ibadah tersebut, dia tidak mendapatkan tambahan keimanan dan lezatnya beribadah, maka inilah perbedaan antara amalan laki-laki yang tidak memiliki alasan untuk tidak beribadah (karena haid atau nifas) dengan amalan perempuan yang ada alasan untuk meninggalkan sebagian ibadah.
Sumber: muslimah