APA arti dari kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah? Berikut penjelasannya seperti yang ditulis Ustadz Muhammad Abduh Negara.
Apakah setiap muslim wajib mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah? Tentu saja. Ini prinsip asasi dalam agama kita.
Lalu, apakah berarti, setiap muslim berhak menyimpulkan langsung hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah? Jawabannya, TIDAK.
Untuk bisa menyimpulkan hukum langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah), harus memahami makna setiap kata, ungkapan dan kalimat-kalimatnya dalam bahasa Arab, dan itu hanya bisa dikuasai oleh orang yang lama berinteraksi dengan bahasa Arab yang murni dan fasih, sebagaimana dikuasai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.
BACA JUGA: 3 Keutamaan Mengikuti Sunnah Nabi
Ia juga harus mengetahui keterkaitan ayat atau Hadits tersebut dengan ayat dan Hadits lain, agar tidak mengambil hukum yang mansukh, atau menggunakan secara mutlak yang ada taqyidnya, menggunakan secara umum yang ada takhshishnya, dan seterusnya. Dan berbagai syarat lainnya.
Kalau tidak bisa menyimpulkan langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah), berarti kita tidak mungkin dong mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah?
Inilah kesalahpahaman banyak orang, yang memahami ungkapan, “Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah”, itu dengan makna, “Kita tinggalkan turats ulama kita, dan kita ambil sendiri agama kita langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, tanpa harus melalui perantaraan mereka.”
Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah
Ini kesalahan fatal. Mereka mengira, kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah atau ikut Al-Qur’an dan As-Sunnah itu vis a vis ikut ulama. Dari sini juga muncul kesalahan fatal pihak-pihak yang anti dengan madzhab fiqih.
Mereka lupa ada firman Allah ta’ala: فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون. Mereka lupa, tugas orang awam itu bertanya pada ulama. Tugas orang awam meminta fatwa, dan tugas fuqaha memberikan fatwa.
Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah
Tradisi “awam bertanya pada ulama” ini berlaku sejak era shahabat. Sebagian shahabat dan tabi’in bertanya ke shahabat yang diakui kefaqihannya, di antaranya kepada ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Aisyah ummul mu’minin, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin ‘Abbas, dan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anil jami’.
Kemudian di era tabi’in, di Madinah dikenal ada 7 orang yang paling faqih di sana, yang dikenal dengan sebutan Al-Fuqaha As-Sab’ah. Di masa berikutnya lagi, kita kenal Al-Aimmah Al-Arba’ah, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’ad, dan lainnya. Dan terus berlaku, hingga sampai masa kita sekarang.
Apakah taqlid atau bertanya ke ulama, itu berarti tidak mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah? Tidak benar. Taqlid pada ulama itu hakikatnya mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, melalui perantaraan fatwa dan fiqih para ulama.
Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah
BACA JUGA: Inilah, 5 Manfaat Shalat Sunnah Menurut Quran dan Hadits
Bagi orang awam, hanya ada dua kemungkinan dalam mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu:
(1) Menyimpulkan hukum langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa perangkat ilmu yang memadai.
(2) Mengikuti fatwa ulama yang kita percaya ilmu dan ketaqwaannya, yang menjelaskan hukum syar’i bagi kita, yang mereka gali dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Cara pertama adalah cara yang batil, karena itu termasuk berfatwa untuk dirinya sendiri tanpa ilmu. Dan berfatwa tanpa ilmu adalah salah satu dosa yang paling besar, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Al-Qayyim, karena ia termasuk berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
Karena cara pertama batil, maka satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah cara kedua. Dan inilah cara yang benar, yang diamalkan oleh pendahulu kita, salaf dan khalaf. Wallahu a’lam. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara