UNTUK membersihkan najis mutawassithah yang masih tampak sifat najisnya (warna, bau dan rasa), yang disebut oleh para ulama dengan istilah najis ‘ainiyyah, kita perlu membasuhnya dengan air hingga seluruh sifat najis itu hilang.
Jika seluruh sifat najis itu sudah hilang dengan satu kali basuhan (ghasl), maka itu sudah cukup. Meski disunnahkan untuk membasuhnya dua dan tiga kali.
Jika najis tersebut belum hilang setelah satu kali basuhan, wajib dibasuh lagi untuk kedua kalinya. Jika dua kali juga belum hilang, wajib dibasuh untuk ketiga kalinya.
Jika setelah tiga kali basuhan dalam membersihkan najis, namun sifat najis itu belum juga hilang, padahal sudah dibantu dengan menggunakan sabun dan semisalnya, kondisi semacam ini disebut dengan kondisi ta’assur (Øالة التعسر).
BACA JUGA:Â 7 Benda Najis dan 3 Jenis Najis
Pada kondisi ta’assur (kondisi sulit menghilangkan atau membersihkan najis) ini, kita lihat:
1. Jika sifat najis yang tersisa hanya warnanya saja, atau hanya baunya saja, kita hukumi tempat yang terkena najis tersebut sudah suci.
2. Jika yang tersisa adalah warna dan bau najis sekaligus, atau yang tersisa adalah rasa dari najis tersebut, maka wajib menambah basuhan hingga sifat-sifat tersebut hilang, dibantu dengan sabun dan semisalnya.
Jika orang yang paham tentang kenajisan dan sifat-sifatnya (ahlul khibrah) menyatakan, najis tersebut tidak mungkin hilang kecuali dengan memotong tempat yang terkena najis tersebut, keadaan ini disebut dengan keadaan ta’adzdzur (Øالة التعذر).
BACA JUGA:Â Menghilangkan Najis Ringan dengan Memerciki Air
Pada keadaan ta’adzdzur (keadaan tidak mungkin menghilangkan atau membersihkan najis) ini, najis tersebut menjadi najis yang ma’fu (dimaafkan), dan boleh shalat dengan membawa najis tersebut (misalnya najisnya ada pada pakaian yang dipakai saat shalat).
Dan jika beberapa waktu kemudian najis tersebut bisa dihilangkan, wajib menghilangkannya. Wallahu a’lam.
Rujukan: At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-‘Ibadat, karya Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Kaf, Halaman 135-136, Penerbit Dar Al-‘Ulum Al-Islamiyyah, Surabaya, Indonesia.
Oleh: Muhammad Abduh Negara