APAKAH ulama yang menyelisihi hadits otomatis berdosa dan harus dihukum? Secara prinsip, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah pemutus perselisihan. Jika terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama, maka harus dikembalikan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Artinya: “Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (Al-Qur’an dan As-Sunnah), jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisa [4]: 59)
Tidak boleh seorang pun menyelisihi Hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan alasan mengikuti pendapat seorang ulama. Bahkan, ulama tersebut pun harus rujuk pada dalil, harus mengikuti Hadits yang shahih dari Nabi dan meninggalkan pendapat lamanya yang menyelisihi Hadits tersebut.
BACA JUGA: Begini Cara Mengidentifikasi Hadis Palsu Menurut Para Ulama
Namun, kadang terjadi, seorang ulama menyelisihi Hadits shahih karena sebab-sebab tertentu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam “Raf’u Al-Malam ‘An Al-Aimmah Al-A’lam”.
Pada kondisi ini, bagi seseorang yang mengetahui Hadits tersebut, ia wajib mengikutinya, dan tidak boleh bertahan dengan pendapat ulama yang menyelisihi Hadits tersebut.
Perlu dicatat, ini di luar kasus, seorang ulama meninggalkan Hadits yang menurut penelitiannya lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Atau saat Hadits tersebut ta’arudh (bertentangan maknanya) dengan dalil lain yang lebih kuat. Ini pembahasan lain.
Kembali ke tema. Bagaimana dengan ulama yang pendapatnya menyelisihi Hadits shahih? Apakah ia berdosa dan layak mendapatkan hukuman, karena menghalalkan perkara yang haram, atau mengharamkan perkara yang halal, atau menetapkan hukum bi ghairi ma anzalallah?
Atau, apakah ia layak mendapatkan laknat dan murka dari Allah, saat melakukan sesuatu (yang ia kira boleh) yang diharamkan Allah ta’ala?
Jawabannya, tidak. Dosa, sanksi, laknat, ancaman siksa, dan semisalnya itu, hanya layak diberikan pada seseorang yang melakukan keharaman, sedangkan ia tahu bahwa itu diharamkan, atau ia harusnya mampu mengetahui keharamannya.
Sedangkan orang yang tidak tahu keharamannya, dan tidak punya kemampuan untuk mengetahui keharamannya, seperti orang yang tinggal di perkampungan nomaden yang tidak ada ulama di sekitar mereka, atau orang yang baru masuk Islam, jika ia melakukan perkara haram, ia tidak berdosa dan tidak mendapatkan hukuman, meskipun ia melakukannya tanpa landasan dalil syar’i sama sekali.
Jika yang seperti ini saja, tidak berdosa dan tidak mendapatkan hukuman, tentu para ulama yang menyatakan kebolehannya atau melakukannya, karena landasan dalil syar’i yang ia dapatkan, sedangkan Hadits shahih yang mengharamkannya tidak sampai padanya, lebih layak lagi mendapatkan uzur.
Ulama yang Menyelisihi Hadits Otomatis Berdosa dan Mendapatkan Hukuman?
Bahkan para ulama ini mendapatkan pahala dan pujian, karena ijtihad yang ia lakukan. Sebagaimana yang disebutkan dalam “Shahihain”, dari ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران، وإذا اجتهد فأخطأ فله أجر
Artinya: “Ketika seorang hakim berijtihad, kemudian ia benar dalam ijtihadnya, ia mendapatkan dua pahala. Dan ketika ia berijtihad, dan salah dalam ijtihadnya, ia mendapatkan satu pahala.”
BACA JUGA: Pendapat Para Ulama Soal Tempat Tinggal Istri Nabi
Ini jika ia memang layak untuk berijtihad. Sedangkan jika ia tidak punya kemampuan ijtihad, kemudian keliru, maka ia berdosa.
Hal ini seperti kecaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terhadap orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu, yang mewajibkan orang yang sedang terluka untuk mandi janabah saat cuaca dingin, yang menyebabkan kematian orang tersebut.
Nabi mengatakan: “Qataluuhu qatalahumullah. Tidakkah harusnya mereka bertanya dulu, ketika mereka tidak tahu? Obat kebodohan adalah bertanya.”
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Raf’u Al-Malam ‘An Al-Aimmah Al-A’lam, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Halaman 42-48, Penerbit Al-Maktab Al-Islami, Beirut, Libanon.
Oleh: Muhammad Abduh Negara