Menyampaikan ajaran agama, apapun istilahnya, mau dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, ta’lim, tadris, tatsqif, seminar, kajian kitab, kajian tematik, ceramah, khutbah, wejangan, nasihat, daurah, cangkrukan, ngobrol di warung kopi, dlsb, dst, dll, dllaj, WAJIB DENGAN ILMU. Ini perkara yang disepakati oleh seluruh ulama.
Namun yang sering disalahpahami, baik oleh kalangan santri yang sok paling ngerti baca kitab, maupun kalangan non-santri yang sok kritis, sok paling paham fakta lapangan dan sok paling semangat dakwah adalah, WAJIB DENGAN ILMU itu tidak berarti HARUS JADI ULAMA BESAR dulu. Itu dua hal yang berbeda.
Tidak ada syarat HARUS JADI ULAMA BESAR (semisal bergelar al-imam al-faqih al-ushuli al-mufassir al-muhaddits al-yutubi dll), baru boleh menyampaikan agama. Syarat menyampaikan adalah PUNYA ILMU tentang apa yang disampaikan.
BACA JUGA:Â Mencari Ilmu Bukan karena Allah di Akhir Zaman
Dan itu jelas tergantung isi yang dibicarakan. Semisal, sekadar mengajak orang untuk shalat lima waktu, ilmu yang wajib dimiliki adalah bahwa shalat lima waktu itu wajib. Jika ia sudah tahu itu, sudah boleh baginya berdakwah dan mengajak orang untuk shalat lima waktu.
Untuk menyampaikan, bahwa perempuan dewasa itu wajib menutup rambutnya di hadapan laki-laki non-mahram, cukup baginya punya ilmu bahwa ulama sepakat bahwa hal itu wajib, tanpa harus paham seluruh rincian dalilnya. Karena dalil ijma’ itu sudah memadai.
Namun jika pembahasannya seputar hal yang rumit, semisal soal rincian konsep negara Islam dan cara menegakkannya, berbagai khilaf dan perselisihan dalam perkara fiqih dan rincian aqidah, bantahan terhadap pemikiran menyimpang semisal sekularisme, liberalisme, dll., ilmu yang diperlukan tentu harus lebih banyak dan lebih mendalam. Tidak semua orang layak berbicara tema-tema ini.
Dakwah Wajib dengan Ilmu
Nah yang sering menjadi masalah, banyak orang tidak paham kadar dirinya, pada tema apa ia patut berbicara, dan pada tema apa ia harus menyerahkan ke pakarnya. Semua merasa punya hak untuk berbicara apa saja dan mengomentari siapa saja. Jadilah kekisruhan dan kekacauan di dunia persilatan dakwah dan ilmu.
Di sisi lain, yang banyak tidak dipahami, terutama oleh kalangan milenial dan gen Z “pemuja” MLI dan semisalnya, dakwah dan bicara agama itu tidak disyaratkan harus suci dulu.
BACA JUGA:Â Menyampaikan Ilmu kepada Masyarakat Awam
Bahkan syarat “suci” itu hampir mustahil diwujudkan, dan jika benar ia disyaratkan, kemungkinan besar tidak ada yang berhak dan layak dakwah.
Al-Ghazali pernah mencontohkan hal ini, dengan contoh yang cukup ekstrim, bahwa seorang laki-laki yang menzinai seorang perempuan, tetap punya kewajiban mendakwahi “lawan mainnya” itu untuk menutup wajahnya di hadapan laki-laki non-mahram.
Jadi ungkapan mereka, “Lo jangan sok suci!”, itu sejak awal sudah tidak tepat sasaran, karena saat kami menyampaikan agama, kami tak pernah merasa suci dari kesalahan, dan kami juga tidak pernah memahami bahwa itu adalah syarat menyampaikan kebenaran. []
Oleh: Muhammad Abduh Negara