FAIROUZ Gaballa, seorang atlet lari lintas alam Cross Country di Univeritas of Prince Edward Island, merasakan perubahan di lingkungannya setelah dia memutuskan brhijab.
“Ketika saya berlari, ada saat-saat ketika saya merasa terpinggirkan dan berbeda dari semua orang di sekitar. Saya memakai jilbab dan tidak banyak yang menggunakannya di lapangan, atau di tempat lain di Pulau Prince Edward,” kata Fairouz Gaballa seperti dikutip dari CBC, Ahad (14/11/2021).
Namun, ada pula saat-saat lain ketika Gaballa lupa jika ia terlihat berbeda dari orang lain. Hal ini terjadi karena ia merasa sangat nyaman melakukan sesuatu yang membuatnya merasa baik atas diri sendiri.
BACA JUGA: Piagam Atlet Muslim Raih Dukungan dari Badan Sepak Bola Inggris
Ia menyebut, masih ada orang yang benar-benar percaya jika perempuan ditindas dalam agama Islam. Jilbab, penutup kepala yang dipakai banyak wanita Muslim, dianggap oleh sebagian orang sebagai simbol penindasan.
Fairouz Gaballa pertama kali mulai mengenakan jilbab saat berada di kelas 8, dan menganggapnya sebagai salah satu perilaku berasaskan agama. Tapi beberapa tahun kemudian, ia mulai memahami siapa dirinya, pernyataan manis terkait identitasnya dalam menghadapi Islamofobia.
“Ada hal-hal luar biasa yang datang dari mengenakan jilbab, seperti tidak pernah mengalami bad hair day lagi. Namun dalam masyarakat Barat, ada beberapa hambatan dalam mengenakan jilbab. Selain prasangka dan diskriminasi yang sering saya hadapi, saya menyadari tidak banyak atlet yang juga berhijab,” lanjutnya.
Ia pun merasakan perubahan dari yang awalnya memiliki sejumlah teman, menjadi tidak punya teman. Orang-orang yang awalnya mengira ia merupakan ras campuran, kini orang-orang secara otomatis berasumsi ia pasti pengungsi dari Suriah yang tidak bisa berbahasa Inggris.
Fairouz Gaballa merupakan warga Mesir yang berimigrasi ke Inggris. Namun, ia dibesarkan di PEI dan berbicara bahasa Inggris dengan lancar, menggunakan aksen Kanada.
Terlepas dari apakah ada orang yang mau mengakuinya atau tidak, ia sendiri menyebut banyak menemukan guru atau murid yang mendiskriminasi siswa lain yang terlihat berbeda.
Ia merasakan perubahan, dari seorang teman menjadi “teroris” atau “kepala handuk”, serta orang-orang yang mulai menghindari dirinya. Tinggal di P.E.I. membuatnya sangat sulit, karena kondisi pada saat itu yang tidak beragam seperti sekarang.
“Di tahun 2021, masih ada orang fanatik yang berpikir setiap individu yang mengenakan jilbab secara otomatis menjadi pengungsi atau “teroris”, atau manusia yang mengerikan,” ucap dia.
Saat mengenakan jilbab, ia telah menjadi bagian dari dua cabang olahraga. Dari 2016 hingga 2020, ia adalah bagian dari Charlottetown Martial Arts, di mana saya berkompetisi di banyak turnamen dan beberapa kejuaraan. Selain ia dan adiknya, hanya ada satu peserta perempuan lain yang berhijab dan dia bukan dari pulau tersebut.
Fairouz Gaballa sendiri bergabung dengan tim atletik di tahun terakhir sekolah menengah, pada 2019. Saat ini, ia bergabung dengan tim jarak jauh putri di UPEI dab lagi-lagi menjadi satu-satunya atlet di tim yang memakai hijab.
BACA JUGA: Berhijab, Atlet Ini Didiskualifikasi dari Ajang Lomba Lari di AS
Ia merasa senang dapat membuktikan pandangan orang-orang fanatik terhadapnya itu salah. Ia juga dengan senang hati akan tersenyum jika ada yang memanggilnya dengan sebutan ‘kepala handuk’ saat berlari melewati mereka.
Terlepas dari tatapan negatif orang-orang di luar, ia menyebut pelatihnya mampu menciptakan budaya tim yang inklusif dan toleran, dimana semua orang diharapkan untuk bekerja sebagai sebuah tim. Ia tidak merasa ada ruang untuk intoleransi atau kefanatikan.
“Selain itu, ada beberapa rekan tim yang luar biasa, yang benar-benar berusaha keras membuat saya merasa nyaman dan menjadi bagian dari tim. Dan upaya itu berjalan dengan baik, sejauh ini,” ucap Fairouz Gaballa.
Sejauh ini, ia merasa senang menjadi atlet yang kebetulan memakai hijab. Jilbab tidak mendefinisikan sebagai pribadi, tetapi menjadi bagian dari dirinya dan sesuatu yang tidak akan pernah ia lepaskan. []
SUMBER: CBC