ADA setidaknya delapan keburukan tawa terbahak-bahak. Meski tertawa itu baik, tetapi jika berlebihan hingga terbahak-bahak, itu buruk.
Islam mengajarkan senyum sebagai ciri kelembutan hati. Tertawa boleh, tetapi tidak boleh berlebihan.
Rasulullah ﷺ mengingatkan manusia agar tidak banyak tertawa sebagaimana sabda Beliau:
وَلَا تُكْثِرِ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ
“Dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR at-Tirmidzi)
BACA JUGA: Allah Tertawa Terhadap 2 Orang Ini
Keburukan tawa terbahak-bahak
Imam Abu Laits As-Samarqandi (wafat 373 H) dalam Kitab Tanbihul Ghafilin pun menerangkan delapan keburukan tawa terbahak-bahak. Berikut kedelapan hal tersebut:
- Tercela oleh ulama.
- Membuat orang bodoh lantang (berani) kepadanya
- Jika engkau bodoh niscaya bertambah kebodohanmu dan bila engkau alim berkurang ilmumu sebab ada riwayat: “Seorang Alim jika tertawa berarti telah memuntahkan ilmunya”.
- Dapat melupakan dosa-dosa yang lampau
- Memberanikan berbuat dosa di masa mendatang sebab bila tertawa terbahak-bahak akan membekukan hati.
- Melupakan mati dan Akhirat.
- Engkau menanggung dosa orang yang tertawa karena tertawamu
- Menyebabkan banyak menangis di akhirat.
BACA JUGA: Larangan Tertawa Terbahak-bahak, Ngeri! Simak 5 Kisah ini
Terkait keburukan tawa terbahak-bahak itu pun dipaparkan dalam Alquran, hadis, dan keterangan para ulama.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
فَلۡيَـضۡحَكُوۡا قَلِيۡلاً وَّلۡيَبۡكُوۡا كَثِيۡرًا ۚ جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوۡا يَكۡسِبُوۡنَ
“Maka biarkanlah mereka tertawa sedikit dan menangis yang banyak, sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. At-Taubah Ayat 82)
Abu Dzar menafsirkan ayat di atas: “Hendaklah mereka ketawa sedikit, sebab di dunia ini sedikit dan mereka akan menangis banyak. Karena akhirat itu abadi sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka perbuat.”
BACA JUGA: 5 Adab Tertawa dalam Islam
Dikisahkan oleh Abu Laits bahwa Imam Abu Hanifah pernah berkata: “Saya pernah tertawa satu kali dan saya sangat menyesal atas kejadian itu, ketika saya berdebat dengan Amr bin Ubaid Alqadari (orang yang bermazhab Qodariyah yang tidak percaya pada takdir Allah yang sudah selesai). Ketika saya merasa menang lalu tertawa, maka ia berkata: “Engkau bicara tentang ilmu dan tertawa, maka saya tidak akan berkata-kata kepadamu untuk selamanya.”
“Maka saya sangat menyesal, sebab andaikan saya tidak tertawa niscaya akan dapat menundukkannya kefahamanku sehingga menjadi kebaikan bagi ilmu.” []