MATERI awal bagi setiap orang yang baru, baik anak kecil yang baru tamyiz, orang yang baru masuk Islam, atau orang yang baru hijrah setelah sebelumnya tak peduli agama, adalah materi keimanan. Beginilah Al-Qur’an Al-Karim mengajari kita.
Materi keimanan yang mengubah visi kehidupan, dari yang terbatas pada dunia, menjadi bervisi akhirat. Dari yang menganggap kesuksesan terbatas pada pencapaian dunia, berubah menjadi kesuksesan akhirat, yaitu saat dia menginjakkan kakinya di surga.
BACA JUGA: Kepedulian Cermin dari Keimanan
Materi keimanan yang mengubah misi kehidupannya di dunia, dari sekadar mencari harta, kekuasaan dan berbagai kenikmatan dunia lainnya, menjadi ibadah kepada Allah ta’ala dan khalifah-Nya di muka bumi.
Materi keimanan yang menjadikan orang yang lemah dan rendah strata sosialnya, seperti Bilal, Yasir, Sumayyah, dan lainnya, mampu menghadapi para pembesar dengan gagah berani, tidak gentar sedikit pun, meski diiming-imingi harta dan diancam nyawa. Berani mengatakan “Ahad… Ahad…”, di hadapan kepongahan pemburu dunia.
Inilah iman, inilah aqidah, inilah tauhid, yang wajib ditanamkan kepada setiap orang, agar ia menjadi mukmin sejati.
Inilah yang ditanamkan oleh Rasulullah kepada as-sabiqun al-awwalun, sehingga mereka mendapat ridha Allah tabaraka wa ta’ala. Inilah manhaj Qur’ani yang bisa kita baca dari ayat-ayat Makkiyyah, bahkan dari Al-Qur’an keseluruhannya.
BACA JUGA: Konsep Pensiun Islami, Bagaimana?
Tentu keimanan yang dimaksud, bukan sekadar bahasan aqidah untuk diperdebatkan sesama muslim, untuk dijadikan bahan menyesatkan pihak lain, bahkan mengafirkan, tapi atsar dari bahasan itu, sama sekali tak berpengaruh juga baginya.
Mungkin ada yang kuat berdebat soal asma wa shifat, tapi ia tak sadar Allah itu السميع dan البصير, Allah itu اللطيف dan الخبير, dia juga lupa Allah itu شديد العقاب sekaligus غفور رحيم.
Kuat berdebat, namun tak hadir rasa takut pada Allah ta’ala saat berdebat, tak punya muraqabatullah. Dan yang lebih parah lagi, jika tujuannya berdebat adalah untuk mendapatkan tepuk tangan manusia. Wal ‘iyadzu billah. []
Oleh: Muhammad Abduh Negara