ANAK itu hakikatnya adalah nikmat dan karunia dari Allah kepada manusia. Baik ia terlahir sebagai seorang perempuan ataupun laki-laki. Allah sudah menyebutkan posisi anak dalam Al-Quran begitu rincinya.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Asy-Syuura: 49-50
لِّلَّهِ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki”
Manusia itu ada 4 macam. Ishâq bin Bisyr berkata : “Ayat ini turun berkenaan dengan para Nabi, kemudian tergeneralisir, yaitu :
1. Lûth : Bapak dari anak-anak perempuan yang tidak dikaruniai anak laki-laki.
2. Ibrâhîm : Bapak dari anak-anak laki yang tidak dikaruniai anak perempuan.
3. Muhammad صلى الله عليه وسلم : Bapak dari anak-anak laki dan perempuan.
4. Yahya bin Zakariyâ : Beliau mandul (tidak bisa punya anak).
Al-Qur’an dan hadits Nabi menyebutkan bahwa kedudukan anak terbagi menjadi 4 hal yakni, anak sebagai perhiasan, sebagai ujian (bisa disebut fitnah), sebagai musuh dan sebagai penyejuk mata.
BACA JUGA: Penyebab Anak Kesulitan Bicara, ternyata Mengejutkan!
1. Posisi Anak dalam Al-Quran: ANAK SEBAGAI PERHIASAN
Sebagaimana dinyatakan di dalam firman Allâh
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)
2. Posisi Anak dalam Al-Quran: ANAK SEBAGAI FITNAH/UJIAN
Sebagaimana dinyatakan di dalam firman Allâh: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.” (QS At-Taghâbûn:15)
Ketika Rasulullâh Shallallahu alaihi wasallam sedang khutbah di atas mimbar, tiba-tiba Hasan dan Husain berjalan masuk lalu keduanya tersandung. Keduanya saat itu mengenakan baju berwarna merah.
Serta merta Rasulullâh pun turun dari mimbar dan menggendong keduanya. Kemudian beliau bersabda, “Alangkah benarnya firman Allâh: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” Kulihat dua bocah ini berjalan lalu tersandung. Hal ini menyebabkanku tidak bisa bersabar, sehingga akupun turun (dari mimbar) dan menggendongnya.” (HR Abu Dâwud)
Kerap kali anak itu bisa melalaikan orang tua dari menaati Allâh.
Allâh berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS al-Munâfiqûn: 9)
Nabi shalallahu’alaihi wassalam bersabda, “Anak itu penyebab sifat pengecut dan kekikiran.” (HR Ahmad dalam al-Musnad 29/103(17562))
Maksud sabda Nabi, “Sesungguhnya anak itu penyebab pengecut dan kekikiran” adalah, anak itu merupakan tempat (sebab) munculnya rasa pengecut dan kikir. Yaitu anak-anak-lah yang menyebabkan seseorang menjadi kikir dan penakut serta menyeru kepada dua sifat buruk ini. Sehingga orang tuanya menjadi pelit terhadap hartanya dan meninggalkan perjuangan Islam karena takut mati, ini semua lantaran anak-anaknya.
Arti مجبنة (sifat pengecut) adalah enggan berjihad karena takut mati. Sedangkan arti مبخلة (kekikiran) adalah terhalang dari bersedekah lantaran menafkahi anak-anaknya.
Karena itulah, Allâh mewanti-wanti manusia agar jangan sampai mereka terlena oleh harta dan anak-anak, sehingga akhirnya mereka pun lalai dari mengingat Allâh.
BACA JUGA: Bagaimana Cara Mendidik Anak Laki-laki?
3. Posisi Anak dalam Al-Quran: ANAK SEBAGAI MUSUH
Sebagaimana dinyatakan di dalam firman Allâh, “Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka;” (QS at-Taghâbûn: 14)
4. Posisi Anak dalam Al-Quran: ANAK SEBAGAI QURROTU A’YUN (PENYEJUK MATA)
Anak sebagai penyejuk mata adalah anak yang baik, shalih dan thayib. Yang berbakti kepada Rabb-nya dan kedua orang tuanya. Inilah anak yang dikehendaki oleh setiap keluarga. Karena itulah, firman Allâh yang menjelaskan tentang anak seperti ini datang dalam bentuk doa.
Perhatikanlah Zakariya ketika menyeru Rabb-nya, memohon anak keturunan yang baik,
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ ۖ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38)
Demikian pula ketika Allâh menyifatkan orang-orang yang beriman yang berdoa, Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Furqon: 74)
Untuk mencetak anak-anak yang bisa menjadi penyejuk mata bagi kedua orang tuanya, tidak bisa diperoleh hanya dengan berdiam diri, bersantai-santai dan bersikap acuh tak acuh dengan pendidikan anak.
BACA JUGA: 3 Doa agar Anak Tidak Rewel
Pendidikan yang paling utama bagi anak adalah pendidikan agamanya, yang akan membawa kebaikan DUNIA dan AKHIRAT. Bukan sekedar pendidikan formal hanya untuk mendapatkan gelar dan ijazah yang takkan dibawa mati atau diminta pertanggungjawabannya di sisi Allah.
Sehingga untuk merealisasikan hal ini, maka sebagai orang tua, kita juga harus menjadi orang yang shalih pula, yang bisa menunjukkan qudwah (keteladanan) bagi anak-anak. Dan ini semua bisa diraih dengan berILMU terlebih dahulu, kemudian baru mempraktikkan (AMAL) ilmu tersebut.
Wallahu a’lam bi showab. []
Dikutip dari kitab Tarbiyatul Awlâd Fî Dho’uil Kitâbi Was Sunnah [Pendidikan Anak Dalam Timbangan al-Qur’an dan as-Sunnah] karya Syaikh ‘Abdussalâm bin ‘Abdullâh asSulaymân, Direktur Mu`assassah adDa’wah al-Khairiyah di Riyadh.