IMAM Malik bin Anas, sebagaimana direkam oleh As-Sakhawi (Al-Maqashid Al-Hasanah, Hlm. 513, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Libanon) menyatakan:
كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ
Artinya: “Setiap orang bisa diambil perkataannya, bisa juga ditolak, kecuali penghuni kubur ini (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam).”
Di kesempatan lain, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim (I’lam Al-Muwaqqi’in, Juz 2, Hlm. 143, Dar Ibn Al-Jauzi, Saudi Arabia), Imam Malik juga menyatakan:
إنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِئُ وَأُصِيبُ، فَانْظُرُوا فِي قَوْلِي، فَكُلُّ مَا وَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوا بِهِ، وَمَا لَمْ يُوَافِقْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوه
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, semua yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.”
BACA JUGA: Manusia Jika Tanpa Ulama
Pelajaran:
1. Perkataan ulama bukan dalil, bahkan benar salahnya tergantung kesesuaiannya dengan dalil, sebagaimana disebutkan secara terang benderang oleh Imam Malik di atas.
2. Dalil tidak terbatas pada nash sharih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi juga berupa mafhum yang dikandung oleh keduanya, ijma’, qiyas, istihsan, dan lain-lain, sebagaimana dibahas oleh para ulama di kitab-kitab ushul fiqih.
3. Ucapan Imam Malik di atas, demikian juga ucapan semisal dari Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan lainnya, tidak menunjukkan lemahnya penguasaan mereka terhadap dalil.
Mereka adalah sedikit dari raksasa ilmu yang pernah dimiliki oleh umat Islam, dan kesaksian atas hal ini diberikan oleh para ulama dari zaman ke zaman.
Pernyataan mereka ini paling tidak menunjukkan dua hal: (a) Sikap tawadhu’ mereka, bahwa sebagai manusia biasa yang tidak ma’shum, mereka mungkin salah dalam menyampaikan pendapat, dan (b) Komitmen mereka terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan keyakinan mereka bahwa tidak boleh ada seorang pun yang secara sengaja menyelisihi dua sumber utama ajaran Islam tersebut.
4. Jika para imam madzhab saja mungkin salah, maka guru-guru anda dan masyayikh kontemporer yang anda kagumi, lebih mungkin untuk salah. Karena itu, sikap sebagian orang, yang menjadikan pendapat syaikh tertentu, sebagai landasan kebenaran, dan menjadikannya timbangan atas pendapat pihak lain, adalah sikap ghuluw dan sangat merusak.
Maksud ‘timbangan’ di sini adalah, menjadikan penilaian seorang syaikh sebagai standar lurus dan menyimpangnya orang lain. Jika pendapat seseorang menyelisihi pendapat syaikh yang dikaguminya, dia menganggap pendapat itu sebagai syubhat dan harus dijauhi, serta orang yang berpendapat demikian dianggap sebagai ahli bid’ah. Ini adalah kerusakan.
BACA JUGA: Jika Ulama Kontemporer Menyelisihi Fatwa Jumhur Ulama
5. Timbangan yang benar adalah kesesuaian pendapat tersebut dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ijma’ ulama, baik salaf maupun khalaf. Dan ilmu untuk mengetahui hal ini, salah satu dan yang paling utama, adalah ushul fiqih. Karena itu, orang yang tidak menguasai ilmu ini dengan baik, sebaiknya tidak masuk ranah penilaian pendapat ulama.
Cukup bagi anda, mengamalkan pendapat yang difatwakan ulama yang anda percaya, dan tidak ikut dalam perdebatan, serta menahan lisan dan tulisan anda dari mencela atau mengecam pendapat yang berbeda dengan yang anda ikuti.
Wallahu a’lam. []
Oleh: Muhammad Abduh Negara