DILEMA melihat eksistensi masjid di negara yang gaungnya kental diumbar sebagai negara dengan mayoritas muslim terbanyak di dunia. Memang secara kuantitas, jumlah masjid di Indonesia ini banyak sekali. Menurut Sistem Informasi Masjid KEMENAG RI, jumlah masjid dan mushalla yang ada di seluruh Indonesia lebih kurang 741.991 pertahun 2020. Ini baru data manual yang tercatat dan diperoleh secara berjenjang mulai dari Kantor Urusan Agama di tiap daerah. Yang tidak tercatat, Heaven knows!
Lain lagi jika merujuk kepada Dewan Masjid Indonesia (DMI). Pak Jusuf Kalla, sebagai Ketum DMI menyebutkan bahwa jumlah masjid dan mushalla yang ada di Indonesia lebih dari 800ribu yang merupakan jumlah terbanyak di dunia. Itu beliau katakan pada sekitar awal tahun 2020 yang lalu.
Seiring berjalannya waktu, sah saja jika ada asumsi peningkatan jumlah tersebut. It’s okay bahkan membanggakan karena ternyata masyarakat Indonesia masih memiliki karakter relijius yang kuat. Demikiankah adanya? Mari kita telusuri lebih jauh.
Untuk sampai pada kesimpulan yang objektif, setidaknya diskusi ini harus dipisah menjadi dua sisi yang berbeda namun pada akhirnya kelak menyatu membentuk sebuah hipotesis yang teruji. Pertama, masjid sebagai tempat ibadah. Kedua, masjid sebagai tempat kegiatan non-ibadah.
Namun, untuk mempersingkat dan agar tidak terlalu formal ilmiah, sistematikanya kita sederhanakan saja. Begini, core objektive-nya adalah benar bahwa masjid didirikan utamanya sebagai tempat dan sarana beribadah. Maka disebutlah sebagai “rumah ibadah” bagi umat Islam.
Masalahnya kemudian, orientasi dakwah yang lebih mengedepankan perbaikan kualitas keimanan individual telah mengabaikan satu dimensi penting lainnya yaitu pengembangan dan pemberdayaan umat Islam secara general. Bahkan mirisnya lagi, entah karena perubahan prilaku dan pemahaman serta unsur sinisme buta yang tidak jelas, impresi yang muncul malah kebalikannya.
Orientasi ibadah dan peningkatan kualitas keimanan individu muslim yang dilakukan di masjid menimbulkan kesan radikal bagi segelintir orang. Tak ayal, baru-baru ini, sudah tersusun rencana pemantauan, pemetaan atau apalah isitilahnya, terhadap masjid atau mushalla dengan segala aktifitas di dalamnya. Artinya, masjid sudah menjelma menjadi tempat yang “menakutkan”.
BACA JUGA: 5 Pintu Masuk Masjidil Haram yang Paling Utama
Just get rid of it. Pak JK sudah dengan lantang protes atas stigma negatif itu. Alhamdulillah pihak yang teriak tak karuan tentang itu telah juga minta maaf dan sebagai muslim yang baik, kita maafkanlah. Inilah enaknya jika berurusan dengan orang muslim, mau diapakan juga pasti dimaafkan.
Harus diakui, stigma-stigma yang bermunculan tadi itu merupakan ekses dari lemahnya pengelolaan masjid yang selama ini kita bangun. Frankly to say, sedari perencanaan dan pembangunan masjid saja, terkadang orientasinya sudah tidak jelas.
Oleh karena itu, sekalipun kita bangga dengan status sebagai negara terbanyak masjidnya, namun is there any significant impact in our ordinary life? Kualitas budaya, politik, ekonomi, kesehatan dan pendidikan umat Islam seharusnya benar-benar mencerminkan wujud sebuah walfare-state-nya Prof. Kranenburg jika tidak seperti pencapaian Umar bin Abdul Aziz atau Madinan Society-nya Nabi ﷺ. Lantas nyatanya?
As a matter of fact, masjid atau mushalla kita tidak mampu melahirkan kualitas-kualitas tersebut. Kecenderungannya masih saja terfokus pada ritual seremonial dan menyampingkan fungsi non-ritual. Maka tak heran, muncul tudingan radikal atau semacamnya akibat dari intensitas aktifitas dakwah yang menampilkan pendakwah-pendakwah dengan materi-materi yang itu-itu saja. Rutinitas masjid hanya berputar pada hal semacam ini. Belum lagi jika ada pendakwah yang tampil dengan karakter “menggelegar”. Semakin melekat saja stigma radikal-radikul itu.
Banyak masjid, namun tetap saja tidak dapat menghadirkan jawaban kongkrit atas persoalan keilmuan dan keislaman umat. Banyak masjid, tapi tidak mampu memberikan sentuhan kemanusiaan untuk memberantas korupsi, narkoba dan permasalahan generasi bangsa yang semakin kompleks. Pengecualian hanya pada bulan Ramadhan, itupun diawal-awal bulan. What is the main problem dari ini semua?
Jujur saja, kita kekurangan pengurus masjid yang responsif terhadap persoalan ini. Bukan pengurus yang kreatif, tapi pengurus yang responsif. Itu pertama. Kedua, kita masih terlalu berhati-hati terhadap teknologi dan manajemen di dalam masjid karena mungkin masih ada yang menganggap itu produk ilmiah non-muslim. Ketiga, siapa sih yang memiliki cita-cita menjadi marbot? Artinya, peran pemerintah harus sangat nyata dalam hal ini. Mau tidak mau. Kenapa?
Historically speaking, sedari dulu masjid didirikan oleh pemerintah. Loh, masjid nabawi didirikan oleh Nabi ﷺ …?! Hehehe… Nabi ﷺ kan pemimpin “pemerintahan” Islam saat itu. Lihatlah masjid-masjid yang didirikan megah dalam sejarah peradaban Islam. Rata-rata, atau bahkan semuanya dibangun oleh pemerintah yang berkuasa. Konsekwensinya masjid itu diurus oleh orang-orang yang dikehidupannya dijamin oleh pemerintah (baca: digaji). Kenapa orang-orang itu ditugaskan sedemikian? Karena untuk mewujudkan fungsi utama masjid sebagaimana yang disebut tadi, sebagai tempat ibadah. Itulah yang disebut takmir. Sehingga masjid yang dibangun oleh pemerintah tadi berfungsi, hidup, ramai dan penuh aktifitas yang terarah dan tidak terbatas.
Bedanya di kita, banyak masjid yang didirikan oleh perorangan. Atau banyak juga yang dibangun oleh badan yang secara finansial tidak kuat. Mudah untuk membedakan eksistensi masjid yang dibangun oleh pemerintah atau badan yang well-established dengan masjid yang dibangun oleh perorangan atau badan yang belum mapan. Tidak perlulah diilustrasikan detail disini. Semua bisa dengan mudah menilai.
Tak salah memang. Siapapun pasti ingin memiliki “istana di surga”. Namun jika masjid didirikan dengan tanpa konsep dan perencanaan pengembangan yang matang, sepertinya harus dipikir ulang. Khawatirnya, malah trend membangun masjid dan musholla ini justru sebagai “pengalihan”. Naudzubillah. Kita tentu tidak berpikiran demikian. Tapi justru terlalu banyak jumlah masjid dan mushalla itu malah membuatnya makin tidak terurus. Inilah yang digambarkan dengan kata dilema diawal tulisan ini. Jumlah banyak, namun tidak ada penataan letak yang terukur, tidak ada semacam studi feasibility, tidak ada fondasi finansial yang layak, tidak ada pengurus yang komit bahkan lebih mirisnya lagi, justru saking banyaknya pengurus yang “cerdas” akhirnya yang terbangun adalah konflik “intelektual” di organisasi pengurus DKM (kalau mengikuti bahasa kawan, banyak pengurus masjid yang tidak akur). Mana lagi gaji imam dan marbot tidak berstandar sehingga tak seorangpun yang memiliki cita-cita menjadi marbot selain jadi dokter pilot dst.
BACA JUGA: Berikut 7 Ayat Al-Quran tentang Masjid
Yang ingin diangkat disini sebenarnya adalah bagaimana memfungsikan masjid itu sebagaimana khittah sebenarnya. Lagi-lagi kita harus kembali kepada zaman dulu. Selain dakwah, ibadah dan pendidikan ummat, masjid merupakan wadah untuk pengembangan sumber daya ekonomi umat. Kenapa ekonomi? Karena ekonomi merupakan salah satu elemen penting untuk berkuasa, menguasa dan jadi luar biasa.
Nabi SAW sadar betul hal itu, betapa perjuangan beliau harus didukung oleh financial support yang kuat. Oleh karenanya, didirikanlah masjid di Madinah, bukan “istana presiden” atau komplek pemerintahan, tapi masjid. Disitulah lahir segala hal yang sifatnya membangun. Membangun iman, membangun akidah, membangun sosial, membangun peradaban, membangun keilmuan, hingga membangun sumber daya ekonomi umat. Artinya, masjid adalah a place to produce productive things. Ibaratnya sebuah manufaktur, masjid adalah pabrik yang menghasilkan produk keislaman, yang produktif in character.
Inilah yang dilakukan dan dicontohkan oleh Nabi ﷺ. Sejak zaman Beliau, Masjid Nabawi adalah jantung kota Madinah. Segala aktifitas dibangun disitu. Politik, perencanaan kota, pengaturan strategi perang, diplomasi dan aktifitas pemerintah lainnya. Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Dalmeri, beliau mencatat ada 6 peran dan fungsi masjid yang dimanaj sedemikian rupa oleh Nabi ﷺ:
1) pusat peribadatan; 2) pusat pendidikan dan pengajaran; 3) pusat penyelesaian problematika umat dalam aspek hukum (peradilan); 4) pusat pemberdayaan ekonomi umat melalui ZISWAF; 5) pusat informasi Islam; 6) bahkan sebagai pusat pelatihan militer dan urusan-urusan pemerintahan. Singkatnya, masjid dijadikan sebagai pusat peradaban.
Tidak hanya itu, sebagai bentuk penanganan masalah sosial kemasyarakatan, area sekitaran masjid dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara bagi orang-orang ibnu sabil, homeless, fakir dan miskin untuk kemudian dibina hingga mandiri untuk menghidupi diri sendiri.
Lain lagi jika merujuk kepada hasil penelitian Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Menurut beliau, paling sedikit ada 10 fungsi masjid Nabawi yang tercatat dalam sejarah dan mesti diteladani secara kontekstual oleh setiap muslim, pengurus masjid, pemerintah dan pemimpin umat; 1) tempat ibadah; 2) konsultasi dan komunikasi masalah sosial, ekonomi dan budaya; 3) pendidikan; 4) santunan sosial; 5) latihan dan persiapan militer; 6) kesehatan; 7) mahkamah; 8) penerima tamu; 9) menawan tahanan; 10) pusat pembelaan dan penerangan agama.
Berdasarkan penjabaran di atas, dan jika kita kaitkan dengan konsep teknologi manajemen yang sedang berkembang di dunia saat ini, maka bisa disimpulkan bahwa, PERTAMA, masjid haruslah megah, besar, luas dan berdiri kokoh melambangkan keagungan Allah SWT dan kebenaran Islam. Sehingga masjid harus berdiri di lahan yang luas. Siapa yang memiliki kemampuan itu? Pemerintah. Mana mungkin masjid bisa berfungsi sebagai rumah ibadah sekaligus sebagai tempat pendidikan, mahkamah dan sebagainya seperti tersebut diatas jika dibangun diatas area yang terbatas?
Oleh karena itu, perlu penerapan teknologi manajemen yang terarah. Setidaknya peran pemerintah lebih dilibatkan dalam hal ini. Jika ada suatu badan atau individu yang ingin “mendapatkan istana di surga”, sebaikanya bekerjasama dengan pemerintah. Jika badan dan atau individu tersebut tidak memiliki supporting financial yang kuat untuk mantaining operasional masjid dalam waktu yang panjang, maka anjurkan saja untuk membuat kantor cabang (baca: mushalla) yang fungsinya dibatasi tidak seperti fungsi masjd yang ideal. Namun secara manajerial dasn finansial tetap terikat kepada kantor pusatnya (Masjid utama tadi). InsyaAllah dapat istana juga di surga, asal dananya halal dan niatnya lurus serta tidak ada unsur “manipulatif” lain. Dengan ini, diharapkan terbangun network yang kuat antara masjid dan mushalla yang jumlahnya terbanyak di dunia ini. Masjid hidup dan marbotnya juga makmur. Sebagai contoh, silahkan lihat berapa gaji marbot masjid di malaysia, subhanallah… rajanya yang totalitas mendukung …
BACA JUGA: Masjid Nabawi, Dilindungi oleh Allah SWT
Kesimpulan yang KEDUA. Bahwa masjid harus memproduksi, melahirkan segala yang diperlukan umat dan bersifat produktif, tidak fokus mengarahkan kepada hal yang konsumtif. Apa yang diperlukan oleh umat saat ini? Fondasi ekonomi yang kuat. Oleh karena itu, masjid berikut dengan mushollanya harus mampu merumuskan metode yang jitu dalam rangka transfer sumber daya ekonomi umat.
Abdul Hasan Sadeq, dalam bukunya Economic Development in Islam, mengemukakan bahwa ada dua cara vital untuk membangun ekonomi umat. Pertama, secara komersil yaitu melalui akifitas ekonomi real. Kedua, secara sosial dalam bentuk zakat, infaq, sedekah dan wakaf.
Seharusnya, dalam konsep teknologi manajemen masjid, domain ini yang digarap lebih intens oleh masjid beserta “kantor cabangnya” mushalla itu. Memang, anjuran Nabi SAW sangat jelas bagi kita untuk bersedekah di hari Jumat. Namun, antusiasme dan semangat ini agak kebablasan. Berlomba-lomba orang menyiapkan nasi bungkus untuk dibagi-bagikan bada shalat Jumat. Salahkah? Tentu tidak. Baikkah? Jelaslah. Namun agak sedikit keliru.
Pahami lagi konsep sedekah. Kepada siapa sedekah lebih utama diberikan? Bersedekah kepada keluarga, kerabat dan sanak saudara sendiri adalah yang paling utama. Disebutkan dalam sebuah hadits Imam Muslim, Rasulullah SAW menjelaskan:
“Ada empat macam dinar (harta dan penggunaannya). Satu dinar engkau berikan kepada orang miskin, satu dinar engkau belanjakan untuk membebaskan hamba sahaya, satu dinar engkau infakkan di jalan Allah, dan satu dinar lagi engkau nafkahkan kepada keluargamu. Yang paling utama dari keempatnya adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.”.
Coba lihat yang mengambil nasi bungkus bada jumat itu. Benar orang miskin kah? Kebanyakan malah para pekerja yang memiliki gaji perbulan, motor pribadi, mobil pribadi bahkan jam tangangnya saja bermerek. Lihat saja hape yang mereka letakkan disamping nasi bungkus itu. Hamba sahayakah? Sudah pasti tidak, wong sekarang tidak ada lagi perbudakan. Lantas?
Begini, silahkan saja bersedekah dengan nasi bungkus, bagus dan sungguh perbuatan yang mulai. Namun jika saja pengurus masjid responsif, sebaiknya dana yang terkumpul dari ummat itu tidak semuanya dihabiskan untuk nasi bungkus namun disisihkan sebagian untuk dikelola dalam bentuk ZISWAF. Bagaimana mengelolanya? Sangat mudah, toh pengurus masjid sudah pada kreatif, hanya kurang responsif saja. Apalagi masjid yang terletak di perumahan-perumahan elit. Penghuninya pasti para pebisnis, orang berduit, berpangkat dan berkedudukan sosial tinggi. Sayang sekali jika akses, channel dan link yang ada pada mereka tidak dimanfaatkan untuk mengelola dana umat ini secara produktif.
BACA JUGA: Cara Menghormati Masjid yang Jarang Diketahui
Bayangkan, jika saja setiap masjid memiliki dana yang dapat disimpan-pinjamkan untuk usaha produktif umat, jika saja setiap masjid memiliki dana social network security untuk membantu umat yang kesulitan membayar SPP anak, jika saja setiap masjid memiliki dana yang dapat dicairkan sebagai bentuk beasiswa dan sebagainya. Tentu lebih jauh bermanfaat dibandingkan dengan sekedar membungkus nasi, memakannya dan kemudian bada ashar sudah lapar lagi. Semua hal ini masuk dalam definisi sedekah, jangan khawatir. Tinggal diatur dan dipilah-pilah saja, tidak rumit.
Dari pengelolaan dana yang terkumpul di masjid ke dalam bentuk ZISWAF dengan konsep teknologi manajemen modern, sangat diyakinkan akan terbangun kekuatan ekonomi yang luar biasa untuk umat sebagaimana catatan tinta emas tentang itu terdahulu. Inilah yang sesuai dengan konsep manajemen masjid ala Nabi SAW, membangun peradaban dengan konsep yang produktif, bukan dengan konsep yang konsumtif. Wallahu A’lam bi al-Showab. []