Cerpen Chudori Sukra
(Prosaik dan kritikus sastra, pengasuh Ponpes Riyadlul Fikar, Banten, menulis cerpen dan artikel sastra di berbagai harian nasional, cetak dan daring)
chudorisukra@gmail.com
SELALU saja Agus yang menjadi bahan omongan. Sebentar-sebentar Agus. Lagi-lagi Agus. Kata ibu saya, dia itu begini-lah begitu-lah. Katanya dia anak rajin, cekatan, dari dulu selalu ranking teratas di sekolahnya. Sekarang dia sudah kerja, pulang bawa uang membantu ibu dan adik-adiknya. Dan sekarang dia baru membeli motor baru dari kantongnya sendiri. Pokoknya, selalu saja nama Agus yang disebut-sebut.
Saya dan Agus memang tinggal sekampung, dan sejak bocah ingusan kami selalu bermain bersama. Ibu-ibu kami juga saling berteman. Kami berdua tumbuh dalam lingkungan yang sama. Ibu saya sibuk menilai saya sebagai anak muda yang gemar kelayapan dan pemalas. Sementara Agus dinilainya sebagai anak rajin dan tekun.
Padahal terus terang saja, si Agus itu orangnya brengsek, nakal dan menyebalkan. Dan kadang-kadang dia juga licik dan sombong. Tapi apa artinya omongan saya di hadapan Ibu. Dia tidak bakal mau mendengar, jangankan lagi percaya.
Tentu saja saya merasa jengkel pada Agus, tapi hubungan pertemanan kami terus berjalan baik. Kalau berjumpa, kami masih saling menyapa dan bertukar kabar. Meski perlu saya akui, sebenarnya hubungan kami laiknya perang dingin yang menanti-nanti kesempatan untuk mencari kesalahan sekecil apapun, kalau perlu saling menjatuhkan.
Suatu hari, ketika perusahaan tempat kerja saya mengalami penyusutan tenaga kerja, saya termasuk salah satu di antara karyawan yang mengalami pemecatan. Dan bisa dibayangkan, apa kata ibu saya: “Contoh si Agus tuh… dia selalu mendengar apa kata ibunya… dia selalu terampil dan giat, bahkan minggu lalu dia naik jabatan lagi di perusahaannya….”
Sore hari, saya berpapasan dengannya di perempatan jalan dan saya pun menghentikan langkahnya, “Gus, benar kamu itu orang suci… orang yang nggak punya salah sama sekali…”
“Ada apa, nih?” katanya agak kaget.
BACA JUGA: Akibat Merampok Restoran Padang
“Benar kamu itu orang bersih, yang nggak pernah melakukan kesalahan? Benar kamu itu orang sempurna?”
“Terus terang, saya nggak ngerti, Fren….”
Kalau seandainya orang lain yang berada pada posisi Agus saat itu, pastilah ia akan marah. Namun dia, dengan wajahnya yang lugu dan menjengkelkan, justru menepuk-nepuk pundak saya dengan sok akrabnya, “Sep, mungkin kamu perlu mencontoh cara-cara saya. Insya Allah kita sama-sama akan berhasil.”
Saya pun menjawab dengan kesal, “He, saya ini ngajak ngomong sama kamu, bukan minta nasihat dari kamu…”
“Ya, tapi ada soal apa, nih?”
Saya pun menunjuk batang hidungya sambil menghardik, “Mulai sekarang, jauhi Nadia! Jangan coba-coba kamu mendekati dia lagi… sebentar lagi saya mau bertunangan sama dia…”
“Mau bertunangan?”
“Pokoknya, dia itu pacar saya, titik… dan jangan ganggu dia lagi, mengerti?”
“Emang apa salahnya kalau saya…”
“Cukup, cukup, pokoknya sekarang sudah saya kasih peringatan!”
***
Saya bilang begitu ke Agus, walaupun sebenarnya saya sedang mengincar untuk berdekatan dengan Nadia. Dia seorang gadis yang cantik dan menarik, posturnya semampai, dan pinggulnya menawan. Dia tinggal tak begitu jauh dari rumah Agus, jadi masih satu kampung dengan saya. Ia adalah anak satu-satunya yang tinggal bersama ibunya, yang dengan senang hati dipanggil Mama Nita.
Pekerjaan ibunya agak aneh dan langka. Dia suka menebak-nebak watak dan karakteristik orang melalui garis tangan dan tulisan yang digoreskan pada secarik kertas putih. Mungkin usianya sekitar 55-an tahun, wajahnya putih, jalannya pelan karena sering sakit-sakitan. Sorotan matanya tajam, dan kerutan-kerutan di keningnya menunjukkan ia sebagai wanita yang mulai beranjak lansia.
Konon, dulunya ia pernah menjadi kaya-raya. Orang tuanya banyak membantu keluarga tapol (tahanan politik) yang dipenjarakan pemerintah Orde Baru tanpa proses pengadilan. Di tahun 1980-an hidupnya tersisihkan oleh sebagian masyarakat, dan keluarganya pun ikut dituduh sebagai komunis.
Sekarang Mama Nita terus menjalani profesi dan keahliannya dalam membaca rajah tangan. Ia menyuruh pasiennya membubuhkan tandatangan di atas kertas putih, lalu menebak-nebak sifat dan karakteristiknya, termasuk dengan tipikal macam apa seseorang layak mendapatkan jodohnya.
Beberapa tetangga saya yang menjalani hidup dengan gaya modern sekalipun, masih sempat-sempatnya mendatangi rumahnya. Bagi mereka, Mama Nita cukup ahli dalam soal begituan. Karenanya setiap hari ia kerap dikunjungi para pasien, baik yang masih lajang maupun yang sudah berumah-tangga.
Sedangkan Nadia, ia sangat berbeda dengan ibunya. Badannya selalu sehat dan segar bugar, tak pernah sakit-sakitan. Dia selalu ceria dan ekspresif, murah senyum, dan bibirnya yang berwarna ungu muda sungguh luar biasa. Ketika ia tersenyum, nampak gigi‑giginya yang indah dan rapi bagaikan jagung muda yang baru dikupas. Ia bekerja di kantor kelurahan sebagai sekretaris, dan kelihatannya dia memang cocok dengan pekerjaan mengetik dan menulis surat-surat.
Kalau ibunya sedang melayani pasien, ia duduk-duduk manis di meja ruang tengah, mengetik di depan komputer atau membaca buku dan novel. Dan seperti saya katakan tadi, dia memang kalem dan tenang. Meskipun ia banyak berbeda dengan ibunya, sepertinya ia sangat menghormati orang tuanya itu.
Bisa dikatakan bahwa pembawaannya yang kalem itu bagaikan air bening yang tenang dan menghanyutkan. Pada hari itu, saya ceritakan bahwa saya baru saja ketemu Agus di perempatan jalan, kemudian mendampratnya.
BACA JUGA: Ucok, Abang Kami
“Ah, masak iya sih kamu cemburu sama orang yang namanya Agus?”
“Maklumlah, karena dia kan laki-laki?”
“Tentu aja dia laki-laki, tapi dia laki-laki kayak apa tuh?”
Senang sekali saya mendengar nada yang meremehkan dari mulut Nadia. Kemudian dia tertawa dengan genit dan kekanak-kanakan, dan katanya lagi, “Saya juga kurang ngerti sama si Agus itu. Dulu sih saya menganggapnya kayak Ariel Peter Pan, tapi lama kelamaan entahlah, sepertinya dia hanya memikirkan dunianya sendiri. Dia memang pintar dan berprestasi di sekolah, tapi dia egois dan sibuk dengan urusannya sendiri. Mungkin menurut dia, kaum wanita itu harus menjadi istri yang baik di rumahnya, pintar memasak atau mengasuh anak. Sepertinya, dia juga membatasi diri bergaul dengan orang-orang, termasuk dengan saudaranya sendiri…”
“Selain itu, kamu tahu nggak?” kata saya berbisik. “Kakek dia itu dulunya ikut aktif dalam Barisan Tani Indonesia, yaitu organisasi yang didukung PKI…”
“Berarti dia keturunan PKI?”
“Tepat sekali.”
“Iih, amit-amit deh saya kawin sama orang macam itu….”
Ketika Nadia menunjukkan rasa benci pada Agus, saya justru diliputi perasaan tenang dan gembira, bagaikan melayang di angkasa. Keesokannya, saya biarkan dia ketemu dengan Agus. Biarkan saja, sesering mungkin. Karena bagaimanapun, saya telah berhasil membalas dendam pada apa yang sering diomongkan ibu saya perihal Agus sebagai model. Ibu selalu memuji-mujinya, sedangkan Nadia justru sebaliknya.
***
“Kemarin saya kesel banget sama Agus. Saya diajak naik motor menuju jembatan yang sedang diperbaiki, karena sudah berminggu-minggu jembatan itu miring dan reot. Di sana dia marah-marah sama petukang, lagaknya kayak kumpeni Belanda yang menindas jajahannya. Waktu pulangnya juga begitu. Dia bilang saya ini cantik-cantik kok dandanannya kampungan amat, bajunya norak amat, tidak sesuai dengan warna kulit saya yang putih langsat. Saya bilang, apa urusannya dengan kamu? Suami saya juga bukan?”
Nadia berkali-kali merendahkan Agus, sehingga pada suatu saat telah sampai pada titik di mana saya perlu membela sahabat saya itu. “Tapi dia itu orangnya baik juga lho?”
“Ah, baik apaan?” sahut Nadia.
“Dia itu sering membantu ibunya dengan mengiriminya uang.”
“Ah, dia itu pelit kok? Walaupun banyak, tapi uangnya itu disimpan di bank.”
“Tapi dia itu pekerja keras lho?”
“Ah, siapa bilang, dia juga tukang keluyuran? Kalau menyuruh-nyuruh orang lain, siapa saja juga bisa.”
Pada titik ini, saya merasa yakin pada pendirian Nadia. Sehingga saya tegaskan, bahwa sudah saatnya kami punya kejelasan hubungan untuk mempercepat bertunangan secara resmi. Dan dia pun seketika menjawab, “Saya juga sedang berpikir ke situ… walaupun ini nggak mudah, dan harus ada komitmen dengan jelas dan serius. Tentu saja kamu harus mengawali ini dengan mendatangi ibu saya, dan membicarakannya dengan baik-baik.”
Maka kami pun sepakat. Saya akan mendatangi ibunya sore itu juga, sementara Nadia berangkat menemui Agus, sosok yang amat sangat menyebalkan itu. Saya mengizinkan dia pergi ke rumah Agus, bukan berarti saya merasa tega memperlakukan dia semaunya, walaupun saya tidak mengharapkan hubungan kami sebagai sahabat karib, akan berakhir sampai di situ.
Sekitar Pk. 17.00 sore, saya sampai di depan pintu rumah Nadia yang kelihatan setengah terbuka. Saya mengucap salam, kemudian mendengar suara dari dalam menyuruh saya masuk. Di ruang depan saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu-ibu ber-make up tebal, sedang menunggu anaknya atau adiknya yang sedang berkonsultasi dengan Mama Nita di ruang tengah.
BACA JUGA: Pesan Pendek Anas
Wah, menurut saya ini momentum yang tepat. Mama Nita sedang dalam situasi yang bagus, dan tentu saja menghasilkan rezeki yang tidak sedikit. Saya menunggu beberapa saat, hingga ibu-ibu itu mengantar sang pasien dan pamit meninggalkan Mama Nita sambil mengucap terimakasih dan mencium pipinya.
Sekarang Mama Nita, atau lebih tepatnya ibu dari kekasih saya Nadia, menyambut kedatangan saya dengan ramah. Ia mengenakan setelan sejenis kimono sutera hitam dengan bordiran gambar naga berwarna‑warni. Ia menatap saya dengan seksama, kemudian katanya, “Asep, ayo masuk ke dalam.”
Dari nada bicaranya, sepertinya ia belum tahu maksud kedatangan saya. Seketika saya menemukan gagasan jitu agar dia meramal masa depan saya melalui garis tangan, atau melalui tandatangan yang saya bubuhkan di atas kertas. Barulah setelah itu, saya akan jujur mengemukakan maksud utama kedatangan saya.
Setelah masuk ke dalam, ternyata ruang tengah itu sempit. Ada sebuah ranjang besar yang ditutupi seprai berwarna kuning kehijauan. Saya tak bisa membayangkan bahwa Nadia tidur di ranjang itu bersama ibunya. Sedangkan di jendela terdapat gorden dengan bordiran bunga dan burung‑burung merpati. Seluruh ruangan itu dipenuhi dengan benda‑benda kecil, perhiasan kecil, foto‑foto dengan tanda‑tangan dari para pasien penting. Beberapa piagam dan sertifikat terpampang jelas di salah satu dinding.
Tanpa banyak bicara, Mama Nita duduk di atas karpet, menghadap meja pendek dan menyuruh saya duduk di hadapannya. Pertama kali yang ia lakukan adalah mengambil korek api, menyalakannya lalu membakar selembar kertas hitam kecil, yang kemudian mengeluarkan asap putih yang wangi.
“Ini terbuat dari dedaunan yang berasal dari Congo, daratan Afrika. Sudah tercium aromanya?” ujarnya.
Saya mengangguk. Meski ingin sekali melontarkan gugatan, kok jauh amat dari Congo. Ngapain juga bisa sampai ke sini? Tetapi, saya memilih bungkam.
“Baik Asep, sekarang apa yang bisa saya bantu?”
Saya menjawab bahwa saya ingin diramal. Ia melihat keseriusan saya, kemudian memejamkan mata dalam waktu yang cukup lama. Ia menyuruh saya menadahkan telapak tangan dan menyodorkannya ke atas meja. Lalu, ia mengambil kaca pembesar dan memeriksa telapak tangan saya, kiri dan kanan. Setelah itu, ia mengambil secarik kertas dan pulpen, lalu menyuruh saya membubuhkan tandatangan di atas kertas tersebut.
Dalam waktu yang cukup lama kami saling diam, kemudian dengan suara serak dan parau ia berkata, “Dengan lelaki bujangan macam apa saya ini sedang bicara.”
“Maksudnya?” tanya saya keget. “Emang kenapa?”
“Ya, karena ini telapak tangan laki-laki yang rakus…”
“Rakus apanya?” kata saya sinis.
“Rakus dalam soal perempuan.”
“Apa salahnya? Saya ini kan laki-laki?” bela saya ngotot.
“Ya, tapi harus ada batasnya. Sedangkan kamu seperti seekor kucing hitam yang tak pernah kenyang walaupun sudah melahap banyak kepala ikan.”
“Wah, kalau Mama Nita bilang begitu, berarti…”
“Bukan saya yang bilang, tapi telapak tangan dan goresan pada tulisan Anda.”
“Ah sudahlah, nggak usah dilebih-lebihkan. Lalu, soal yang lain bagaimana?”
“Yang lainnya? Ada sedikit keberuntungan dalam usaha. Karakter yang cukup kuat, serius, ambisius, meskipun bukan pekerja keras… dan ada sedikit rasa tanggungjawab.”
Saya pun menarik tangan dengan kesal, “Ah, Mama Nita nggak menemukan apa-apa di tangan saya kecuali hal-hal negatif saja.”
“Bukan hal-hal negatif tapi karakteristik,” katanya meyakinkan. “Ini serius. Dan seandainya saya seorang ibu, saya tidak bakal membiarkan anak perempuan saya menikah dengan laki-laki bujangan seperti Anda.”
Kontan saya terkejut dan merasa terpukul. Sambil berusaha mengendalikan emosi, saya menyodorkan telapak tangan lagi, dan bertanya, “Coba tolong periksa, apakah ada garis pernikahan?”
Dengan sangat cermat ia memutar‑mutar telapak tangan saya ke segala arah, kemudian katanya, “Hanya petualangan cinta yang sia-sia. Tak ada pernikahan.”
“Mama Nita,” saya menarik nafas panjang. “Sebenarnya saya datang ke sini mau mengatakan sesuatu yang serius mengenai Nadia. Dan saya tidak ada urusan dengan membaca rajah tangan maupun menggores ini-itu di atas kertas. Saya datang ke sini mau memutuskan bertunangan…”
BACA JUGA: Ia yang Duduk di Sebelah
“Bertunangan dengan siapa?” sahutnya dengan tak acuh.
“Ya siapa lagi kalau bukan Nadia?”
“Nadia?”
“Iya, Nadia, anak Anda!” kata saya ketus.
Mendengar kata‑kata ini, dengan tenangnya ia meletakkan kertas dan kaca pembesar, kemudian katanya, “Jadi begini Sep,” ia pun menggeser duduknya, “Ibu merasa kasihan sama kamu…”
“Apa?”
“Kasihan. Ibu kasihan sama kamu. Sebenarnya dari telapak tangan sudah menunjukkan bahwa kamu tidak akan menikah…”
“Tidak akan menikah?” kata saya jengkel.
“Ya, setidaknya dalam waktu dekat ini.”
“Kenapa? Bukankah saya dan Nadia saling cinta, dan sudah ada kesepakatan?”
“Kesepakatan apa, Nak Asep? Kasihan sekali kamu ini… kamu pikir, kamu sudah ada kesepakatan dengan Nadia, tetapi Nadia belum ada kesepakatan dengan kamu.”
“Siapa yang bilang begitu?”
“Saya yang bilang. Sebab, kenyataannya Nadia baru saja bertunangan dengan laki-laki yang baik dan pekerja keras…”
“Laki-laki siapa?”
“Agus.” Ia menggeser posisi duduknya, menatap saya dengan tenang, dan lanjutnya, “Nadia sudah bertunangan dengan Agus beberapa hari lalu. Ia tidak punya keberanian untuk mengatakannya pada Anda, karena dia gadis pemalu. Sementara Agus orangnya cukup jantan, pemberani, dan juga pekerja keras. Satu hal yang menarik pada diri Agus adalah, anak muda itu tak suka membicarakan aib dan kejelekan orang. Dia tak suka menuduh-nuduh orang sebagai PKI atau komunis. Sedangkan kamu? Laki-laki macam apa kamu ini? Apa bedanya kamu dengan Tohir dalam novel Perasaan Orang Banten itu?”
Saya tercengang, dan benar-benar merasa terpukul. Saya mengeluarkan uang seratus ribu dari kantong, lalu membanting uang itu di depan meja, kemudian dia berkata dengan tenangnya, “Benar, apa yang saya katakan pada Nadia, bahwa Agus lebih kalem dan menyejukkan, ketimbang karakteristik Anda yang emosional dan temperamental.”
***
Saya keluar dari rumah Mama Nita dengan berjalan sempoyongan. Di tengah pikiran yang serba kalut, saya berhasil menghimpun kesimpulan bahwa Mama Nita sebenarnya bukan membaca rajah tangan, tapi ingin membongkar sifat dan watak saya yang sebenarnya.
BACA JUGA: Ikhwan Memesona itu Haram
Jadi, ketika saya menikmati bagaimana Nadia melecehkan dan menjelek-jelekkan nama Agus, di lain pihak ia pun memancing-mancing Agus agar melecehkan dan menjelek-jelekkan diri saya. Tetapi Agus, memang tidak tertarik menjelek-jelekkan orang lain, apalagi sahabatnya sendiri. Dengan begitu, Nadia berhasil membandingkan saya dan Agus dengan cermat, Dan tidak ada jalan lain, selain saya harus ikhlas dan berpasrah merestui dia menjadi istri Agus.
Akhirnya, saya pun bertekad hadir pada acara resepsi pernikahan mereka, melangkah sendirian, dan sebagai sahabat karib, Agus langsung menghambur dan memeluk saya sambil meneteskan air matanya. []