SALAH satu syarat ijtihad, yang sering disebutkan para ulama dalam kitab-kitab ushul fiqih, adalah mengetahui perkara ijma’ dan khilaf di kalangan ulama.
Bagi orang yang ingin berijtihad dalam satu persoalan, dia perlu mengetahui hal-hal yang disepakati ulama (ijma’) dalam persoalan tersebut dan hal-hal yang diperselisihkan, agar dia tidak berijtihad dan berfatwa yang menyelisihi kesepakatan ulama.
Hal ini mengikuti kesepakatan hampir seluruh ulama, bahwa ijma’ adalah dalil syar’i dan tidak boleh diselisihi, dengan perincian bahasan yang berbeda di kalangan mereka.
Karena ijma’ tidak boleh diselisihi, maka seorang mujtahid harus mengetahui hal-hal yang menjadi ijma’ di kalangan ulama, terutama pada persoalan yang ingin dia teliti dan fatwakan.
BACA JUGA: Pengertian Ijma dalam Islam
Untuk Apa Mengetahui Perkara Ijma dan Khilaf di Kalangan Ulama?
Karena itu, da’i yang menyatakan bahwa fardhu wudhu hanya ada dua, yaitu membasuh wajah dan kedua tangan, telah menyelisihi ijma’, sekaligus menyelisihi ayat Al-Qur’an yang sangat jelas, dan terindikasi bicara tanpa ilmu.
Para ulama menyatakan, fardhu wudhu yang disepakati ulama ada empat, yaitu membasuh wajah, membasuh dua tangan, mengusap kepala dan membasuh dua kaki, dengan perincian yang berbeda antar ulama, berdasarkan nash Al-Qur’an dalam Surah Al-Maidah ayat 6. Sedangkan sisanya, seperti niat, tertib, muwalah, dan lainnya, diperselisihkan di kalangan ulama.
Kembali ke “mengetahui perkara ijma’ dan khilaf”. Dengan mengetahui ijma’, seorang ulama bisa terhindar dari mengeluarkan pendapat yang menyelisihi ijma’. Dan dengan mengetahui perkara yang diperselisihkan ulama (khilaf), kita bisa bersikap toleran terhadap perkara yang diperselisihkan tersebut.
Memang benar, dalam ranah ilmiah, bagi yang mampu, meski itu perkara khilaf, dia tetap wajib mencari pendapat yang paling kuat dari sisi dalil dan mengamalkannya. Dan banyak ulama yang menyatakan, khilaf ulama bukan hujjah atas bolehnya perkara yang diperselisihkan tersebut.
Artinya, jika dalam satu persoalan, ada ulama yang menyatakan hukumnya boleh, dan ada ulama yang menyatakan haram, kita tidak boleh berargumen bahwa ia boleh, hanya karena ada ulama yang membolehkannya.
Kita, jika mampu, tetap perlu menelitinya secara ilmiah, jika hasil penelitian kita menyatakan ia boleh, kita ambil itu, dan jika hasil penelitian menyatakan haram, kita tinggalkan perkara tersebut.
Itu bagi yang mampu melakukan penelitian, dan itu perlu seperangkat ilmu yang harus dikuasai dengan sangat baik. Jika tidak mampu, tugasnya adalah taqlid pada ulama yang dia percaya. Dan taqlid ini, bagi orang awam, wajib hukumnya, sebagaimana dinyatakan mayoritas ulama.
Lalu, toleran terhadap khilaf ulama di sini, maksudnya apa? Maksudnya adalah, kita tidak mengingkari perkara tersebut seperti kita mengingkari perkara munkar dan haram yang disepakati ulama.
Sebagai contoh, jika ada orang yang akan berzina di hadapan kita, kita wajib menghentikannya semampu kita, berlaku nahi munkar dalam hal ini, karena haramnya zina tidak diperselisihkan ulama.
Contoh sebaliknya, jika ada yang memperingati maulid Nabi, dan anda mengikuti pendapat yang mengharamkan, anda perlu bersikap toleran dan tidak melakukan nahi munkar atasnya, karena peringatan maulid Nabi hukumnya diperselisihkan ulama, dan ulama Syafi’iyyah rata-rata membolehkannya.
BACA JUGA: Khilaf Ulama Tentang Ijma’ Sukuti
Untuk Apa Mengetahui Perkara Ijma dan Khilaf di Kalangan Ulama?
Kecuali jika pada peringatan tersebut terdapat perkara yang jelas-jelas munkar, semisal ada dangdutan dengan penyanyi perempuan yang buka aurat, dan hal-hal semisalnya.
Dengan mengetahui perkara ijma’ dan khilaf di kalangan ulama, kita bisa menempatkan diri dalam ranah ilmiah secara tepat. Tidak ifrath dan tidak tafrith. Tidak ghuluw dan tidak taqshir.
Ada kelompok yang toleran terhadap apapun, bahkan terhadap perkara yang jelas-jelas menyelisihi ijma’. Ada juga kelompok yang terlalu kaku, tak bisa toleran terhadap khilaf ulama yang mu’tabar. Dua kelompok ini telah salah dalam bersikap. Dan kekeruhan hubungan antar umat Islam, banyak disebabkan oleh dua kelompok ini.
Oleh: Muhammad Abduh Negara