TES DNA seringkali diperbincangkan terkait pengakuan identitas seorang anak. Bagaimana pandangan tentang tes DNA dalam Islam?
Sebelumnya, perlu diketahui, menurut kamus Microsoft Bookshelf (1996-97 Edition), DNA adalah asam deoksiribonukleat yang membawa informasi genetik di dalam sel dan yang mampu mereplikasi diri dan mensintesis RNA atau asam ribonukleat.
DNA terdiri dari dua rantai panjang nukleotida yang dipilin menjadi heliks ganda dan dihubungkan oleh ikatan hidrogen antara basa komplementer adenin dan timin atau sitosin dan guanin. Urutan nukleotida menentukan karakteristik herediter individu.
BACA JUGA: Masya Allah, Bukti Kekuasaan Allah atas Penciptaan DNA
Pendapat ulama tentang tes DNA dalam Islam
Berikut ini adalah pendapat para ulama mengenai tes DNA:
Pendapat Sheikh Abdul-Majeed Subh
Ulama Azharite terkemuka Sheikh Abdul-Majeed Subh , menyatakan:
DNA serta cetakan herediter tidak lebih dari bukti pendukung. Dengan kata lain, mereka tidak dapat dianggap sebagai alat bukti hukum yang berdiri sendiri.
Oleh karena itu, jika kita menganggap DNA sebagai alat bukti yang dimaksudkan untuk menetapkan paternitas atau membuktikan suatu kejahatan seperti Zina , maka harus didukung oleh bukti-bukti hukum yang jelas seperti saksi atau pengakuan.
Pendapat Sheikh Muhammad Iqbal Nadvi
Sheikh Muhammad Iqbal Nadvi, Imam Masjid Calgary, Kanada, dan Mantan Profesor di King Saud Univ., Arab Saudi, menambahkan:
Tes DNA tersebut dapat digunakan di Pengadilan Agama sebagai alat bukti pendukung dengan tidak adanya empat orang saksi yang adil. Namun, itu tidak bisa menjadi satu-satunya bukti untuk membuktikan kejahatan besar seperti Zina yang memerlukan hukuman berat bagi pelakunya.
Alasan untuk tidak menerima DNA sebagai satu-satunya dan bukti yang lengkap adalah bahwa tes DNA tidak dapat memberi tahu kita apakah orang yang melakukan perzinahan melakukannya dengan sukarela atau tidak, baik itu pria atau wanita.
Pendapat Syekh ‘Abdul-Khaleq Hasan Ash-Shareef
Ulama dan Da’iyah Muslim terkemuka, Syekh `Abdul-Khaleq Hasan Ash-Shareef, menyimpulkan:
Kejahatan zina dibuktikan dengan salah satu dari dua cara, yaitu kesaksian empat orang saksi yang dapat dipercaya, atau pengakuan pezinanya itu sendiri.
Sementara hal-hal lain seperti kehamilan dan sejenisnya hanyalah tanda atau indikasi dan tidak cukup memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Sebab, kehamilan di luar nikah tidak menunjukkan penyebab kehamilan tersebut, apakah tindakan semacam rudapaksa yang dilakukan pelaku kejahatan atau memang perzinaan yang dilakukan secara sukarela. Oleh karena itu, tes DNA tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti untuk membuktikan kejahatan tersebut.
Soal tes DNA, jika dibuktikan oleh dokter dan ahli terpercaya bahwa kepastiannya menjadi bukti hukum yang sah, maka peran ulama memutuskan bagaimana menghadapinya.
BACA JUGA: Menasabkan Anak kepada Ayahnya, Bagaimana?
Hukum Islam sangat berhati-hati dalam hal-hal yang berkaitan dengan nasab, terutama ayah kandung yang erat kaitannya dengan perwalian dan hak waris anak.
Belakangan tes DNA digunakan untuk pembuktian anak kandung, marak terjadi. Apalagi terhadap anak yang dilahirkan dari hubungan yang tidak sah atau di luar nikah. Namun, pemalsuan juga mungkin dapat terjadi lewat hasil tes DNA ini. Lantas, bagaimana pula hukum atas hasil tes DNA yang salah atau informasi yang dipalsukan tersebut?
Dar Al-Ifta Al-Misriyyah menjelaskan, hukum Islam sangat berhati-hati dalam hal-hal yang berkaitan dengan ayah. Akibatnya, pengujian identitas ayah-anak melalui tes DNA hanya dapat diterima setelah adanya tindakan yang sangat ketat untuk mencegah kesalahan sekaligus melindungi kehormatan keduanya.
Majelis Fiqh Islam Liga Muslim Dunia mengeluarkan dalam sesi keenam yang diadakan dari 22-26/10/1422 H (5-10/1/2002 M) resolusi sebagai berikut:
“Tes DNA untuk melacak garis keturunan harus ditangani dengan sangat hati-hati dan kerahasiaan. Tidak halal mendahulukan maksim dan dalil-dalil dari syariat Islam .”
Oleh karena itu, hasil tes DNA paternitas yang salah harus segera dikoreksi dan anak harus dilacak kepada ayahnya yang sah. Anak menjadi orang asing karena genetik jika terbukti hasil DNA ayah yang salah. []
SUMBER: ABOUT ISLAM