SUATU saat wabah penyakit merajalela. Keranda-keranda mengangkuti mayat-mayat yang harus dikuburkan di liang lahat. Orang-orang menangis di pekuburan, ditinggalkan dan meninggalkan mereka yang dicintainya. Setiap yang terlahir ke dunia mesti harus berpulang ke pangkuan-Nya. Setiap yang datang mesti harus pergi kembali.
Hidup hanyalah persinggahan sementara, bagaikan minum seteguk air yang kemudian harus bersiap-siap berangkat ke persinggahan berikutnya. Kehidupan dunia bagaikan ilusi yang fana dan sekejap saja, sampai kemudian kita semua harus pulang ke negeri akhirat yang abadi dan sejati.
Tak ada yang bisa dibawa mati kecuali hanya selembar kain kafan, dan hanya dibutuhkan tanah seukuran satu kali dua meter persegi, untuk menguburkan jasad-jasad kita. Kalau tidak percaya, Anda boleh datang menghadiri acara pemakaman setelah membaca artikel ini, lalu buktikan sendiri secara faktual dan ilmiah.
Tak ada yang menjadi bekal kepulangan kita kecuali karya dan amal kebaikan selama hidup di dunia, karena kehidupan kita hanyalah ladang amal untuk dipetik buahnya di alam akhirat nanti. Apa-apa yang kita bangun dan perjuangkan dari kesuksesan dan keberhasilan kita, baik harta kekayaan, pangkat dan jabatan, berikut segala prestise dan kebanggaan diri, semuanya harus ditinggal pergi, lenyap dalam kesendirian.
Investasi yang harus kita persiapkan tak lain kecuali amal-amal jariyah, anak-anak baik dan saleh, serta ilmu yang bermanfaat bagi memori orang-orang yang kita tinggalkan. Segala yang kita bangun pada hakikatnya hanyalah titipan dan amanat, yang kelak akan dipertanyakan kemanfaatannya selama hidup di dunia ini.
BACA JUGA: Rezeki, Cukuplah dari Allah Saja
Sebagaimana kedatangan seorang laki-laki dengan wajah pucat, bertandang di kediaman sahabat Nabi yang bersikap tenang dan sabar. Sahabat Nabi yang santun itu bernama Abu Dzar Al-Ghifari. Dan ia pun membiarkan laki-laki itu masuk dan bertanya dengan wajah tegang, “Wahai Abu Dzar, kenapa kebanyakan kami ini merasa takut mati?”
Dengan suara pelan dan lembut, Abu Dzar menjawab, “Karena kalian begitu mencintai indahnya bangunan dunia, serta meruntuhkan bangunan negeri akhirat. Bagaimana mungkin kalian akan senang untuk berpindah dari bangunan megah kepada bangunan runtuh dan keropos?”
Laki-laki itu memandang Abu Dzar dengan tatapan berkaca-kaca. “Jadi, bagaimana pandanganmu tentang pertemuan kita dengan Allah nanti?”
Abu Dzar menghela nafas, seraya menjawab tenang, “Kalau kita banyak berbuat baik di dunia, maka pertemuan kita ibarat orang yang hilang lalu kembali ke pangkuan keluarganya. Sedangkan, orang yang banyak berbuat buruk, bagaikan seorang budak yang kabur dari rumah majikannya, kemudian diseret dan dipertemukan kembali ke rumah sang majikan.”
Lelaki itu merasa belum puas, dan katanya lagi, “Lalu, bagaimana pendapatmu tentang nasib kita di sisi Allah nanti?”
Abu Dzar menjawab, “Periksalah amal dan perbuatan kalian sesuai dengan tuntunan Alquran, sebab Allah pernah berfirman, sesungguhnya orang-orang yang taat dan berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, sedangkan orang-orang yang menentang dan ingkar (berbuat buruk), kelak ia akan berada di dalam neraka.” (Al-Infithar: 13-14).
“Kalau begitu, di manakah letak kasih sayang Allah?” protes lelaki itu.
“Sesungguhnya kasih-sayang Allah sangat dekat dengan orang-orang baik.” (al-A’raf: 56).
Memperhatikan percakapan seorang lelaki dengan Sahabat Abu Dzar Al-Ghifari, selayaknya kita muhasabah dan bercermin diri, seberapa besar kecintaan kita pada bangunan negeri akhirat, sehingga kita berusaha untuk senantiasa merawat dan memperbaikinya selagi hidup di dunia ini. Jika kita masih direpotkan oleh urusan persaingan, sibuk bermegah-megahan dalam merancang bangunan duniawi, akankah bangunan itu dapat dibawa mati hingga ke liang lahat?
BACA JUGA: Ada Apa dengan Shalat Kita?
Mari kita koreksi dan berbenah diri, sampai kapan kita bersusah-payah memakmurkan kehidupan dunia dan mengabaikan kehidupan akhirat? Sampai kapan kita sibuk merancang bangunan dan mengejar target demi untuk mencapai popularitas dan pengakuan publik, hingga kita melupakan tempat tinggal yang abadi di negeri akhirat kelak?
Bukankah semuanya itu hanya titipan belaka? Bahwa harta dan anak-anak kita, prestasi dan pujian hingga kedudukan kita, bahkan kesalehan dan ketekunan ibadah kita, pada hakikatnya dikarenakan Allah memberikan tenaga dan kesempatan bagi kita untuk meraih dan mencapainya. Bukankah Yang Maha Suci yang layak mendapat pujian hanyalah Allah semata? Bukankah kemuliaan dan nama baik kita, pada hakikatnya lantaran Allah begitu sayang kepada hamba-Nya, hingga menutupi segala aib dan kesalahan kita?
Bahkan, berkat rahmat dan kasih sayang Allah, Nabi Muhammad sanggup bersikap sabar dan lemah-lembut kepada musuh-musuhnya? Jikalau Rasul bersikap kasar dalam menyampaikan syiar dan dakwahnya, tentu mereka akan menjauh dan berpaling ke belakang (Ali Imran: 159).
Jadi, bukanlah kita yang berjuang keras dan mati-matian untuk mencapai derajat mulia di sisi Allah, melainkan karena rahmat Allah-lah yang menjadikan kita mendekat dan akrab dengan-Nya. Kalaupun kita termasuk hamba yang cinta ibadah, rajin tahajud dan berpuasa terus-menerus, itu pun lantaran Allah memberikan tenaga dan kekuatan, bahkan rasa cinta terhadap Ilahi Rabbi, yang semuanya itu bukanlah semata-meta hasil jerih-payah diri kita sendiri.
Lalu, apa yang harus kita sombongkan dengan sibuk menumpuk harta, dan berambisi untuk terus mengejar kemegahan bangunan duniawi, sampai-sampai lupa bahwa semuanya itu hanya titipan yang pasti akan ditinggalkan? Sampai kapan kita terus menyibukkan diri membangun rumah megah di dunia ini, sambil melupakan tempat tinggal yang abadi di negeri akhirat?
Bukankah jika kita memiliki banyak ilmu dan anak-anak yang baik dan saleh, semuanya itu akan menjaga dan membawa ketenangan batin kita. Akan tetapi, jika hanya kedudukan dan harta kekayaan yang kita andalkan, justru semuanya itu membuat kita capek dan lelah, karena kita akan selalu disibukkan untuk menjaganya?
Ketahuilah, kepindahan kita ke negeri akhirat adalah suatu keniscayaan, sebagaimana berpindahnya kita dari alam rahim ke alam dunia ini? Kita semua sedang menunggu giliran, sementara ribuan dan jutaan manusia di seluruh dunia telah berpulang mendahului kita, karena berbagai macam penyakit, tenggelam, kecelakaan, bencana alam, terlebih jutaan yang terdampak virus corona dan pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir ini. Lalu, apa lagi yang harus kita banggakan?
Bukankah selayaknya kita membalik logika bersama-sama, agar hendaknya memakmurkan bangunan rumah akhirat, dengan tidak melupakan kehidupan dunia ini? Bukankah sebaiknya kita mengutamakan rumah abadi, dengan menanam sebaik-baiknya amal dan perbuatan bagi kemanfaatan banyak orang, bagi seluas-luasnya wilayah, serta memberikan pengaruh selama-lamanya dalam kenangan dan memori umat?
Mulailah kita membangun rumah abadi dengan kebaikan dan ibadah. Jadikan rumah kita di sana lebih makmur, dengan tidak melupakan bangunan rumah kita di dunia ini.
BACA JUGA: Sebuah Kisah tentang Yusuf
Untuk itu, kita akan sanggup menjawab pertanyaan krusial yang sedang dipersoalkan miliaran umat manusia akhir-akhir ini: kenapa kebanyakan kita takut mati? Bukankah datangnya kematian adalah suatu kepastian, sebagaimana pastinya kita keluar dari perut ibu, dan lahir di permukaan bumi ini?
Apakah kepulangan kita seperti yang digambarkan Sahabat Abu Dzar, bagaikan seseorang yang ingin bertemu dengan keluarganya, serta melepas rasa rindu setelah sekian lama tak berjumpa? Ataukah akan bernasib malang seperti seorang budak yang kabur, lalu dikembalikan secara paksa ke rumah majikannya?
Marilah kita menyambut kematian dengan senyum manis nan menawan, menerima dengan ridho dan penuh kepasrahan diri, di saat-saat menghadapi momentum terindah berjumpa dengan Ilahi Rabbi…. []
Hafis Azhari, Penulis buku Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten