Oleh: Enzen Okta Rifai, Lc.
Alumnus International University of Africa, Republik Sudan.
enzenoktarifai@gmail.com
MENGAWALI tulisan ini, saya masih ingat salah satu artikel sahabat saya, Ren Muhammad , ketika ia melaporkan perjalanan spiritualnya bersama seorang karib di atas puncak Gunung Gede, Jawa Barat. Di ketinggian gunung yang puncaknya mencapai sekitar 3000 meter di atas permukaan laut, Ren tercenung menyaksikan sahabatnya yang menatap hamparan pemandangan kota dan pedesaan, seakan ribuan manusia di sana sedang memanjatkan doa-doa, memohon pada Tuhan agar permintaannya dikabulkan.
Gunung dan bebatuan seakan mengandung makna spiritual yang magis, elok dan estetis. Ia mengingatkan kita pada perjalanan Rasulullah saat menerima wahyu pertama (iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq) di Gua Hira. Hal lainnya yang berkaitan dengan gunung, ketika Rasulullah bersama sahabat Abu Bakar berlindung dari kejaran kaum musyrik Qurays di Gua Tsur yang lebih tinggi dari Gua Hira. Konon, jika manusia memiliki itikad dan niat-niat baik, pegunungan dan segala koleganya akan menyambut apa-apa yang dikehendaki oleh manusia, yang barangkali terkait pula dengan makna ketinggiannya dari permukaan bumi.
Namun, apa yang dikatakan sahabat karib Ren Muhammad dari ketinggian puncak Gunung Gede itu, “Dalam penglihatan saya, begitu banyak doa-doa dipanjatkan di sekitar dusun hingga perkotaan sana, namun sedikit sekali doa yang menembus ketinggian, hingga sanggup mengetuk pintu langit.”
BACA JUGA: Perihal Orang Takut Mati
Kisah Orang Banten Berdoa, Gelombang Elektromagnetik
Doa-doa yang beterbangan itu laksana gelombang elektromagnetik, menjurus vertikal bagaikan saluran-saluran sibernetik di era digital ini. Seketika itu, penulis kawakan yang ratusan artikelnya sarat nuansa spiritual itu, sontak terkenang doa-doa berjamaah, yang pernah dipanjatkan para ulama di Makkah al-Mukarramah di paruh akhir abad ke-19 lalu.
Saat itu, jazirah Arab dilanda kekeringan teramat panjang. Demi mengatasi masalah ini, Raja Hijaz mengumpulkan dan membawa para ulama Makkah dan Madinah. Mereka diminta memanjatkan doa kepada Allah di areal Ka’bah, agar hujan segera diturunkan. Berhari-hari kemudian, hujan tidak kunjung turun, hingga sebagian penduduk Arab menyangsikan kualitas doa yang dipanjatkan para ulama itu. Lalu, siapa lagi yang layak dimintakan doanya kalau para ulama di level terkemuka saja, seakan tertolak dan tidak mencapai ketinggian pintu langit.
Raja Hijaz akhirnya memutuskan untuk mengundang seorang pemuda berperawakan kecil dan pendek, dengan kulit sawo matang. Penampilan pemuda itu nampaknya berbeda dengan kebanyakan orang Arab yang berkulit putih, hidung mancung dan mata agak belo. Maka, menghadaplah pemuda yang dikenal alim dan fasih berbahasa Arab tersebut.
Segenap penduduk Makkah tercenung. Si pemuda bergabung untuk berdoa bersama-sama di sekitar Ka’bah. Namun, doa yang dipanjatkan justru menimbulkan tanda-tanya hingga para ulama terheran-heran. Bahasa apakah yang dipakai si pemuda asing tersebut? Mengapa bukan bahasa Arab yang diucapkan dari mulutnya, padahal sebagian penduduk Makkah mengetahui kemahiran dan kefasihannya dalam berbahasa Arab?
Kisah Orang Banten Berdoa, dalam Bahasa Jawa
Tapi, pemuda itu justru berdoa minta hujan dengan menggunakan bahasa Jawa. “Ya Allah, sampun dangu mboten jawah. Kawulo nyuwun jawah.” Para ulama Makkah yang berdiri di belakang, menadahkan tangan sambil mengucap, “Amin, amin ya rabbal alamin….”
Tak lama kemudian, hujan rintik-rintik pun datanglah. Disusul oleh langit mendung berawan hingga hujan deras pun turun dengan lebatnya. Seketika menjadi perbincangan di kalangan ulama mengenai bahasa aneh yang dituturkan pemuda itu. Bahasa Jawa itu dari daerah mana di permukaan bumi ini?
Kenapa doa-doa yang telah dipanjatkan bersama dengan menggunakan bahasa Arab justru tak terkabul, seakan-akan “dicuekin” oleh Tuhan Yang Maha Kuasa menurunkan hujan dan rizki apapun bagi setiap hamba yang dicintai-Nya. Tapi, mengapa yang dicintai justru si pemuda asing yang berperawakan pendek dan kecil, hidung tak mancung, dan warna kulit tidak seputih Arab yang merupakan keturunan para Nabi, sahabat, tabi’in dan para habaib dan waliullah?
Kisah Orang Banten Berdoa, Dihayati dan Dijiwai
Hakikat doa memang tidak sebatas ucapan di mulut, melainkan soal penghayatan dan penjiwaan. Jika kita meminta pada Allah, selayaknya disampaikan dengan serius, memakai bahasa yang benar dan penuh penjiwaan. Lalu, apakah yang dimaksud bahasa yang benar itu? Bagaimana jika kita berdoa menggunakan bahasa asing, hanya komat-kamit di mulut, sementara tidak paham maksud dan tujuannya? Bukankah Allah itu Maha Dekat di dalam diri kita, bahkan lebih dekat dari urat nadi?
BACA JUGA: Kecerdasan Orang Bertakwa
Jika pun kita minta sesuatu pada orang tua, sedangkan bahasa sehari-hari yang kita pergunakan adalah bahasa Jawa, Sunda atau Madura, apakah ada kedekatan dan keakraban dengan jiwa mereka, jika kita meminta dalam bahasa Inggris, Arab, atau bahasa Indonesia sekalipun?
Bila kita mendalami ilmu forensik emosi, ekspresi wajah kita akan terbaca dengan jelas, jika kita meminta sesuatu kepada orang tua, bahwa saat ini kita memang sedang dalam kondisi butuh, dan terdesak.
Sebagai contoh konkret. Jika Anda seorang mahasiswa, meminta dengan santun dalam bahasa ibu, bahwa Anda butuh uang untuk bayaran semester akhir, atau untuk membeli buku. Orang tua Anda nampaknya akan menimbang dengan penuh perhitungan, jika memberi uang untuk membeli buku, sementara Anda bukan seorang pemuda yang tekun menuntut ilmu. Atau momentum saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bayaran semester akhir.
Kejujuran bahwa Anda butuh, dan Anda layak diberi, itu adalah hal terpenting. Apalagi, sikap jujur kita di hadapan Tuhan Yang Maha mengetahui isi kalbu kita.
Kisah Orang Banten Berdoa, Doa di Ka’bah
Sudah pasti Tuhan menyaksikan ratusan ulama yang berdoa di sekitar Ka’bah, bahkan sebelum pemuda asing itu bergabung dengan para jamaah. Tuhan tahu apa-apa yang ada di daratan dan di lautan. Tuhan tahu setiap helai daun yang gugur di permukaan bumi. Bahkan, Tuhan Maha menyaksikan sebutir biji yang jatuh di kegelapan malam, baik yang basah maupun yang kering (al-Anam: 59). Tuhan juga Maha Kuasa menjadikan sesuatu itu terjadi, tetapi Dia pun Maha Kuasa mengubah sesuatu hingga dapat berubah (ar-Ra’d: 39).
Sebagai seorang anggota keluarga langit yang beranak pinak di muka bumi, menjadi wajar bila kita bertanya-tanya, tentang segala peristiwa yang penuh misteri di jagat makro ini. Mengapa seorang Syekh Barsisha yang ahli ibadah selama 70 tahun, kemudian terjerumus dalam kesesatan dan mati dalam keadaan su’ul khatimah. Namun di sisi lain, mengapa pula seorang wanita tunasusila yang menolong dan menyelamatkan anjing dari kematian, justru berhak menjadi ahli surga (husnul khatimah)?
Terkait dengan itu, bahkan Rasulullah sendiri pernah berdoa: “Ya Allah, agunegahkan aku hakikat dari segala sesuatu.” Di sini menunjukkan adanya hak prerogatif Allah, Yang Maha Memiliki kehendak atas segala sesuatu. Bagaimanapun, kita harus ber-husnudzan bahwa Dia adalah Pencipta dan Pengatur rancangan terbaik, di mana kita sangat terbatas untuk mengetahui dan memahami segala maksud dan rahasia-Nya. Kadang kita berhasil menyingkap satu selubung kegaiban atas izin-Nya, namun seringkali kita menghadapi situasi, bahwa yang terbaik menurut kita, boleh jadi bukanlah yang terbaik menurut Allah.
BACA JUGA: Kisah-kisah Karomah Kiai Banten
Kisah Orang Banten Berdoa, Bukti Penghambaan
Doa yang kita panjatkan adalah bukti penghambaan kita kepada Sang Khalik yang Berkuasa dan mengatur segalanya. Meskipun, hakikatnya Tuhan Maha Kaya dan Maha Memberi pertolongan bagi setiap hamba dan makhluk ciptaan-Nya. Perkiraan dan pandangan manusia seringkali terkecoh oleh tampilan luar, aksesoris dan segala kedudukan duniawi, seolah-olah ratusan ulama yang berjubah dan bersorban mentereng, berbangsa dan berbahasa Arab itu adalah layak untuk dikabulkan doanya di hadapan Ka’bah.
Namun, ternyata justru Allah mengabulkan permintaan seorang pemuda sederhana yang bukan merupakan ras Arab. Juga berdoa dengan tidak memakai bahasa Arab. Pemuda itu seakan tak diperhitungkan, berbadan kecil dan pendek dengan kulit berwarna kecokelatan atau sawo matang. Pemuda sederhana itu berdoa dengan penuh penghayatan, menggunakan bahasa ibunya, yakni bahasa Jawa. Sampai kemudian, segenap penduduk Makkah mengenal pemuda itu bernama Nawawi bin Umar Tanara al-Bantani al-Jawi.
Beliau semakin dikenal luas dengan nama Syekh Nawawi Al-Bantani, sebagai penulis karya 40 judul buku, juga sebagai satu-satunya orang Nusantara yang diangkat menjadi imam besar Masjidil Haram, di Makkah al-Mukarramah. []