Oleh: Lensa Rosdiana Safitri, S.Stat.
Mahasiswa Pascasarjana FST Unair
lensa.rosdiana.safitri-2022@fst.unair.ac.id
BARU-baru ini, viral seorang content creator youtube yang isi kontennya adalah social experiment mengajak berhijab pada perempuan yang baru di kenalnya. Dalam kontennya, youtuber tersebut mendatangi target yang dalam hal ini dia sebut sebagai “cewek sexy” dan mengajak target untuk memakai hijab syar’i selama lima menit.
Sebelum mengajak berhijab, pada awal pertemuan dia menanyakan hal-hal yang cukup sensitif pada targetnya, seperti menanyakan agama, kebiasaan beribadah,perasaan mereka ketika memakai pakaian terbuka dan lain sebagainya.
Tak lupa ia juga memberikan teguran sekaligus renungan kepada target yang baru ia kenalnya itu, mengenai kewajiban berhijab dan menutup aurat bagi seorang muslimah.
BACA JUGA: Kisah Berhijabnya Yousra Imran, Penulis Buku Hijab and Red Lipstick
Fenomena tersebut tentu saja menuai pro-kontra di jagat sosial media. Ada sebagian netizen dengan tegas mengkritik, menolak, menstigmatisasi dan bahkan menyebutnya bagian dari radikalisme.
Salah satu yang paling vokal mengkritik konten tersebut adalah para pegiat feminis muslim. Dengan menghiraukan niatnya, mereka menyebut bahwa sosok content creator tersebut sebagai muslim yang konservatif yang merasa dirinya paling suci dan sangat tidak menghormati hak orang lain.
Wajar jika pegiat feminis mengkritiknya, karena apa yang dilakukan oleh content creator tersebut sangat bertentangan dengan ide kebebasan bagi perempuan yang massif diperjuangkan oleh feminis.
Sebagian netizen lain yang berkomentar bahwa “pemaksaan berhijab” ala content creator itu sudah benar secara niat yaitu untuk berdakwah atau mengajak orang kepada kebaikan, tetapi caranya memang kurang benar.
Ibarat dakwah laksana makanan, sedangkan target adalah orang yang kelaparan, content creator adalah orang yang punya makanan lezat, yang akan diberikan kepada target yang kelaparan. Namun sayang, content creator ini memberikan makanan tersebut dengan cara dilempar atau dijatuhkan (read;cara kurang baik), sementara sang target pun dalam posisi belum merasa butuh dan juga tidak tahu tentang makanan lezat yang ditawarkan sang content creator.
Akhirnya secara otomatis yang terjadi adalah peremehan dan penolakan, sehingga menganggap sebagai bentuk pemaksaan. Sedangkan kelompok feminis beranggapan bahwa tidak perlu ada yang menawarkan tapi lebih baik membiarkan target yang kelaparan itu untuk tetap kelaparan atau dia akan memilih makanannya sendiri, tanpa harus ditawarkan atau dipaksa oleh siapapun.
Namun jika kita mengikuti logika kaum feminis ini, pertanyaanya adalah : Bukankah membiarkan orang yang kelaparan tetap dalam keadaan lapar selamanya adalah bentuk kelalaian? Bagaimana sang target akan merasa butuh atau menemukan makanan yang dia butuhkan jika orang tidak ada yang menawarkan?
Bukankah orang yang punya makanan memang sudah seharusnya menawarkan kepada orang yang membutuhkan dan memberikannya dengan cara yang benar dan tidak ada unsur pemaksaan?
Berangkat dari hal tersebut, kita sebagai muslim harus bijak dalam mensikapi sekaligus menilainya. Kita tidak boleh serta-merta membenarkan secara langsung baik dari sisi content creator, ataupun dari kaca mata feminis. Kita harus melihat ini secara utuh dari sudut pandang dan cara berfikir kita sebagai muslim. Dalam islam, niat baik harus diiringi dengan cara yang benar dan sesuai syariat.
Niat baik yang direalisasikan secara tidak baik, tidak membuat konteks dakwahnya yang disalahkan seperti yang dilakukan pegiat feminis. Namun meskipun niatnya baik, tapi jika caranya tidak sesuai , maka tetap hal ini tidak bisa juga dibenarkan. Dengan mengajak seseorang memakai hijab, tanpa membenahi terlebih dahulu pola pikir bahwa ini kebutuhan sekaligus kewajibannya, maka tentu tak akan berdampak dan menjadi percuma saja.
Lebih lanjut, hal ini justru akan berimplikasi pada pemberian stigma negatif masyarakat terhadap Islam sebagai agama yang suka “memaksakan” kehendak, Ini juga akan semakin menguatkan islamophobia ditengah masyarakat. Padahal Islam tentu tidak mengajarkan dakwah dengan cara demikian.
Lalu bagaimana seharusnya dakwah dilakukan? Cukuplah Rasulullah SAW kita jadikan sebagai teladan. Rasulullah memberikan kita contoh saat beliau mengubah masyarakat jahiliyah arab menjadi masyarakat Islam.
Hal pertama yang Rasulullah lakukan adalah dengan mengubah pemikiran masyarakat, dari pemikiran non Islam menjadi pemikiran Islam, sehingga darinya akan terwujud prilaku Islami. Demikian pula yang harus kita lakukan saat ini, yakni kita harus berdakwah dengan mengubah pemikiran umat menjadi pemikiran yang Islami.
BACA JUGA: 5 Tips Istiqamah Berhijab di Cuaca Panas
Karena hal ini secara tidak langsung akan memicu umat berprilaku Islam atas dasar kesadarannya sendiri dan bukan karena keterpaksaan. Mereka akan berubah menjadi lebih baik karena tuntutan aqidah dan keyakinan mereka, bukan karena doktrin semata. Allah SWT berfirman di dalam al-Quran:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu. Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesal dari jalan-Nya. dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS An-Nahl: 125
Berdasarkan ayat tersebut, terdapat 3 poin mengenai cara berdakwah. Pertama, dengan hikmah (bil hikmah), artinya Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar menyeru manusia untuk menyembah Allah dengan cara yang bijaksana.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang diserukan kepada manusia adalah wahyu yang diturunkan kepadanya berupa Al-Qur’an, As Sunnah, dan pelajaran yang baik; yakni semua yang terkandung di dalamnya berupa larangan-larangan dan kejadian-kejadian yang menimpa manusia (di masa lalu). Terkait kewajiban memakai khimar dan jilbab, kita harus berdakwah dengan menjelaskan landasan dalilnya, ketentuan bentuknya, serta batasan-batasannya. Bukan dengan mengajak mereka atas asas manfaat seperti agar kelihatan cantik, anggun, elegan dan sebagainya.
Poin kedua, yakni dengan pelajaran yang baik (mauidhatil hasanah) untuk dijadikan peringatan bagi mereka akan pembalasan Allah SWT. (terhadap mereka yang durhaka). Dalam hal ini, kita sebagai muslim diseru untuk mengingatkan mereka yang belum memakai khimar dan jilbab tentang pahala jika menjalankan dan dosa ketika melalaikannya.
BACA JUGA: 4 Tips Mengatasi Rambut Hijaber
Penting juga untuk menyentuh akal dan hati mereka hingga membuat mereka merasa butuh dan termotivasi untuk menjalankannya secara sukarela dan bersegera memenuhi kewajibanya tersebut.
Yang terakhir, dengan membantah mereka dengan cara yang baik, (mujadalah) yaitu terhadap orang-orang yang dalam rangka menyeru mereka diperlukan untuk digunakan dan bantahan.
Hendaklah hal ini dilakukan dengan cara yang baik, yaitu dengan lemah lembut, tutur kata yang baik, serta cara yang bijak. Allah SWT. melarang untuk debat kusir yakni debat yang tidak disertai argumentasi rasional atau masuk akal, ataupun debat yang tidak berguna atau tidak berujung pada kesimpulan akhir dan tidak juga memecahkan masalah yang diperdebatkan.
Dakwah adalah kewajiban, namun tugas pengemban dakwah adalah hanya menyampaikan, sementara hasilnya adalah murni hak prerogatif Allah SWT.. Sehingga sudah jelas disini bahwa dalam dakwah tidak boleh ada pemaksaan terhadap target atau objek dakwahnya. Allah SWT. berfirman, artinya, “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 272), Wallahu a’lam bishowab []